SAMARINDA – Proses pembenahan aktivitas pertambangan di Kaltim terus dilakukan. Terutama setelah kewenangan pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) dilimpahkan dari kabupaten/kota ke provinsi. Dari peralihan itu, ada 1.404 IUP yang masuk meja Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim.
Data diperoleh Kaltim Post di Dinas ESDM Kaltim, sebanyak 456 IUP yang sudah dinyatakan clean and clear (CnC). Sementara yang non-CnC sebanyak 418 IUP.
Kepala Seksi (Kasi) Pengusahaan Dinas ESDM Kaltim Afkar menerangkan, dari 1.404 IUP yang dilimpahkan pemerintah kabupaten/kota, sebanyak 874 IUP di antaranya masuk target pencabutan, pengakhiran, dan penyerahan.
Realisasi data IUP itu dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, IUP yang diakhiri gubernur, bupati, dan wali kota, sebanyak 645 IUP. Adapun yang khusus diakhiri bupati dan wali kota sebanyak 166 IUP. Dari situ, sebanyak 123 IUP telah dinyatakan CnC dan 43 masuk kategori non-CnC.
Sementara yang diakhiri gubernur sebanyak 479 IUP. Sesuai data itu, sebanyak 136 IUP di antaranya sudah CnC dan sebanyak 343 masuk kategori non-CnC. Kedua, yang masuk tahap evaluasi dokumen ada sebanyak 188 IUP dan semuanya dinyatakan sudah CnC.
Ketiga, IUP bermasalah; 41. Sembilan di antaranya telah dinyatakan CnC dan 32 lainnya non-CnC.
“Untuk yang non-CnC enggak jadi masalah. Kalau perizinannya masih hidup, masih tetap dapat melangsungkan kegiatan pertambangan,” kata dia, Rabu (20/2).
IUP sebuah perusahaan pertambangan dinyatakan CnC ketika legalitas yang mereka miliki tidak tumpang-tindih dengan IUP lain. Dari sisi administrasi, baik lokasi dan administrasi perizinan tidak memiliki perbedaan.
“Misalnya, IUP perusahaan berada di Kutim. Maka secara administrasi juga dikeluarkan di Kutim. Overlapping IUP tidak tumpang-tindih sesama batu bara. Apabila ada yang seperti itu, maka jelas non-CnC,” jelasnya.
Namun, apabila di dalam sertifikat hak guna usaha (HGU) terdapat kegiatan pertambangan, maka secara komoditas sudah berbeda. CnC sendiri sifatnya clean and clear sesama IUP. Tidak dengan perkebunan.
“Kalau pemilik IUP yakin CnC, ya, enggak usah mengurus. Dari sisi lokasi benar dan perizinannya yang dikeluarkan juga sama, ya aman,” ujarnya.
Pelaksanaan CnC dan non-CnC dimulai dengan penutupan masa berlaku IUP di perusahaan terkait. Penghentian penerbitan IUP sendiri telah mulai sejak 2009 lalu. Apabila IUP dinyatakan non-CnC, maka saat masa kontrak kerja IUP sudah berakhir, pengajuan perpanjangan perizinan tidak akan diberikan lagi. “Sejauh ini, IUP yang sudah habis dan mengajukan perpanjangan belum ada,” ucapnya.
Di bawah 2009, penerbitan IUP dapat dilakukan tanpa proses lelang terlebih dahulu. Namun sekarang, proses itu sudah tidak diberlakukan lagi. Masa kontrak kerja IUP pada pengajuan pertama hanya diberikan selama 20 tahun. Sedangkan proses perpanjangan dapat dilakukan selama dua kali. Dengan masing-masing waktu perpanjangan 10 tahun.
“Kalau dihitung dari 2009, maka rata-rata IUP baru akan berakhir 2029. Ditambah dua kali masa perpanjangan, berarti baru berakhir tahun 2049,” jelas Afkar.
Lanjut dia, dari 874 IUP yang masuk target pencabutan, sebagian besar di antaranya telah mendapatkan surat keputusan (SK) gubernur. Sementara sebagian lagi masih berproses.
“Itu progres terakhir. SK pencabutan IUP dilakukan bertahap. Sebagian dari berkasnya masih terus kami cek untuk memastikan tidak ada masalah,” katanya.
Beberapa dari pemilik IUP yang masuk daftar pencabutan mengajukan keberatan dengan membawa masalah itu ke lembaga Ombudsman. Penyelesaian melalui kabupaten/kota sudah tidak dilayani lagi. Terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Sedangkan untuk 41 IUP yang masuk kategori bermasalah, Dinas ESDM Kaltim banyak mendapati adanya perbedaan nama pemilik di lembar satu dan kedua dokumen IUP. Masalah itu banyak karena faktor teknis baik dari pemohon IUP maupun dari instansi terkait di kabupaten/kota.
“Itu yang jadi masalah. Kita cukup kerepotan, karena di bupati dan wali wota sudah enggak melayani lagi. Kami juga enggak tahu mau bawa ke mana,” ujar Afkar.
Sementara untuk 81 perusahaan yang dihentikan sementara waktu kegiatan pertambangannya dan enam perusahaan yang IUP-nya telah dicabut karena tidak menempatkan jaminan reklamasi. Afkar mengaku, tidak mengetahui secara persis nama-nama perusahaan dimaksud.
“Untuk perusahaan mana saja itu, saya kurang tahu detailnya. Tapi yang pasti, saat ini upaya penyelesaian dari semua perusahaan itu sedang berproses,” tuturnya.
Lebih lanjut, Afkar menyebutkan, kebanyakan dari penghentian kegiatan pertambangan atau IUP dinyatakan non-CnC karena cacat administrasi. Baik dari sisi IUP maupun bermasalah dengan lingkungan dan kegiatan produksi.
Selain itu, ada yang karena bermasalah dengan perizinan dan penyelesaian kewajiban. “Untuk mempercepat itu semua, kesadaran dari perusahaan atau kewajiban dari pemilik IUP sangat kami harapkan,” imbuhnya.
Kewajiban pemilik IUP antara lain menyampaikan laporan kegiatan perusahaan secara berkala. Mulai laporan bulanan, triwulan, dan tahunan. Sejauh ini, penyampaian laporan tersebut dianggap tidak terlaksana dengan baik. Atas alasan itu, beberapa perusahaan dimasukkan kategori non-CnC. Sebab dari sisi data, IUP perusahaan terkait tidak muncul dalam laporan sehingga dianggap menghilang.
Namun, ada beberapa pemilik IUP yang setelah dinyatakan non-CnC dan direkomendasikan untuk dicabut perizinannya, baru muncul. Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa berkas pengajuan perpanjangan perizinan dan sebagainya telah diajukan sebelumnya melalui pemerintah kabupaten/kota.
“Itu yang biasa terjadi. Setelah kami mau cabut, baru mereka muncul. Dari situ, kami tanyakan bukti-bukti dokumen perizinannya. Sebab, penyelesaian masalah sudah tidak dilakukan secara reguler,” katanya.
Adapun kegiatan reklamasi pascatambang, lanjut Afkar, hampir semua perusahaan sudah melaksanakan. Pasalnya, semua perusahaan yang aktif dan punya izin operasional berkewajiban menyampaikan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Laporan tersebut akan dipantau kebenarannya oleh tim bentukan Dinas ESDM Kaltim. Jika didapati pemilik IUP tidak melaksanakan sebagaimana yang tertuang dalam RKAB, maka Dinas ESDM tidak akan mengeluarkan rekomendasi kegiatan produksi.
Selain itu, sesuai undang-undang, setiap perusahaan berkewajiban melaksanakan program reklamasi pascatambang. Salah satunya dengan mengeluarkan jaminan reklamasi dari perusahaan terkait.
“Laporan kegiatan reklamasi dari perusahaan dan dikontrol oleh tim kami. Yang aktif saat ini ada sekitar 150 IUP yang produksi dan menghasilkan. Perusahaan juga berkewajiban membayar royalti,” sebutnya.
Ditambahkan, untuk proses penutupan 371 lubang tambang yang tersebar di tujuh kabupaten/kota di Kaltim, secara berkala sedang dilakukan setiap perusahaan. Namun, ada beberapa di antara pemilik IUP diketahui sengaja belum menutup lubang bekas tambang, dengan pertimbangan masih akan melakukan kegiatan pertambangan lanjutan.
“Penutupan lubang tambang tetap jadi kewajiban sesuai dokumen amdal (analisis masalah dampak lingkungan) perusahaan. Tapi untuk pembiaran lubang tambang wajib dipasang papan peringatan atau imbauan. Sebab, wilayah tambang itu tertutup untuk umum,” tandasnya.
PERAN DEWAN MINIM
Kondisi pertambangan di Kaltim menyisakan debat. Dari beralihnya kewenangan pengelolaan dan pengawasannya lewat UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) hingga kontrol agar setelah pengerukan lingkungan dapat direvitalisasi.
Legislatif nyatanya tak memiliki taji untuk urusan ini. Panitia khusus (Pansus) pertambangan sempat dibentuk para penghuni Karang Paci, sebutan DPRD Kaltim. Namun, hasil pansus parsial menyentuh polemik pertambangan di Kaltim.
“Memang peran kita kecil untuk urusan pertambangan karena semua murni kebijakan eksekutif (pemerintah),” sebut Syafruddin, anggota Komisi III DPRD Kaltim ketika dikonfirmasi media ini, Rabu (20/2).
Menurut dia, sejak hadirnya UU Pemda yang mengalihkan penanganan pertambangan dari kabupaten/kota ke provinsi, pengawasan menjadi milik Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat. Sementara dewan, aku dia, hanya berkutat pada masalah yang menguap ke publik.
Longsor di Sangasanga, Kutai Kertanegara, atau tewasnya 32 anak di lubang bekas galian tambang yang sempat menggegerkan Kaltim beberapa waktu lalu menjadi contoh kasus yang bisa membuat DPRD masuk dalam urusan energi dan sumber daya alam ini.
“Hanya kasuistik, ketika ada masalah baru bisa turun mengawasi, itu hanya berupa rekomendasi membenahi masalah yang ada,” sambungnya.
Soal penetapan CnC perizinan pertambangan tak pernah sampai ke telinga para wakil rakyat. Alasannya, urusan sertifikasi pertambangan yang bersih dalam konsep itu menjadi urusan ESDM, gubernur, dan pemerintah pusat.
Itu baru urusan izin usaha pertambangan (IUP), belum lagi soal jaminan reklamasi (jamrek). Menurut dia, jamrek tak boleh masuk dalam nomenklatur tubuh APBD yang dibahas badan anggaran dan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) sejak diimplementasikannya UU Pemda.
“Itu (Jamrek) tak boleh masuk kas daerah dan APBD, ke mana simpannya saja kami tak tahu,” sebutnya.
Ketika penanganan beralih, pemprov memang tak pernah terbuka. Ini, kata dia, sudah terjadi pada kepemimpinan Awang Faroek Ishak sebagai gubernur. “Karena enggak mungkin kan peralihan itu hanya kewenangannya saja, tak menyertakan ini,” tukasnya. (*/drh/*/ryu/dwi/k15)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: