JAKARTA – Rencana pemindahan ibu kota mulai konkret. Pemerintah telah memutuskan bahwa lokasi baru pengganti Jakarta itu akan berada di Kalimantan. Namun, lokasi pastinya masih dalam kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan instansi lain.
Presiden Joko Widodo mengatakan, pemilihan Kalimantan sebagai lokasi ibu kota baru sudah diputuskan sejak beberapa waktu lalu. “Kalimantan-nya mana nanti kita sampaikan,” ujarnya di sela-sela kunjungan kerja di Sumatera Utara (30/7/2019).
Kalimantan dipilih setelah Presiden meninjau langsung alternatif lokasi yang disiapkan menjadi ibu kota baru pada awal Mei lalu. Yakni, kawasan Bukit Soeharto yang terletak di antara Kota Balikpapan dan Samarinda, Kalimantan Timur. Lalu, wilayah Bukit Nyuling di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Jokowi mengatakan bahwa dirinya masih menunggu hasil kajian yang dilakukan Bappenas. Dia berharap kajian yang disampaikan sudah komprehensif. Bukan hanya soal desain, namun juga berbagai aspek lain. Misalnya, kebencanaan, ketersediaan air, dampak ekonomi, kondisi demografi, sosial politik, hingga isu strategis pertahanan dan keamanan.
Dia mengaku tidak ingin kajian dilakukan setengah-setengah dan tergesa-gesa. Namun, dia juga berharap kajian tidak terlampau lama. Dia berharap hasilnya bisa diketahui pada Agustus mendatang. “Semuanya harus komplet. Kita tak ingin tergesa-gesa tetapi secepatnya diputuskan,” imbuhnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro mengungkapkan bahwa pihaknya memprediksi, untuk tahap awal, ibu kota baru akan menampung 1,5 juta penduduk. Perhitungan tersebut sudah termasuk perkiraan jumlah PNS pusat, pegawai legislatif, yudikatif, legislatif yang diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa. Sementara untuk aparat Polri dan TNI sekitar 25.000 jiwa.
Menurut Bambang, untuk membangun ibukota baru yang rencananya akan seluas 40.000 hektar, pemerintah memerlukan dana hingga Rp 466 triliun. “Jadi memang pemindahan ibu kota ini bukan hal yang baru. Rencana ini juga pernah diangkat Presiden Soekarno dan Soeharto. Presiden Jokowi menginginkan ini bukan hanya wacana, tapi kongkrit,” ujar Bambang.
Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla menjelaskan, setiap pilihan lokasi ibu kota baru memiliki peluang dan risiko. Pemilihan Pulau Kalimantan sebagai lokasi ibu kota, salah satu faktor utamanya adalah lahan yang luas. ’’Kalau di Jawa mendapat lahan besar kan sudah tidak ada lagi,’’ terang JK di kantor wakil presiden kemarin.
Selain tanah yang luas, posisi Kalimantan berada agak ke tengah Indonesia. Daerah yang posisinya tepat di tengah-tengah Indonesia adalah Kota Mamuju, ibu kota Sulawesi Barat. Provinsi tersebut juga menjadi salah satu kandidat ibu kota baru selain Kalimantan Tengah, Timur, dan Selatan.
JK mengingatkan, ada risiko-risiko yang harus diwaspadai dalam pemindahan ibu kota. ’’Di Kalimantan lahan gambut banyak, bisa terbakar,’’ lanjut tokoh kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, itu. Ditambah lagi, ada banyak lubang galian bekas tambang. Khususnya di Provinsi Kalimantan Timur.
Maka, pemilihan ibu kota akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Pembangunannya juga akan memakan tempo yang panjang. Karena itulah, sampai saat ini kajian masih terus dilakukan. Belum ada keputusan final di mana persisnya lokasi ibu kota baru. ’’Kalau (sudah) jelas perencanaannya, baru bisa masuk APBN (2020),’’ tambah mantan Menko Kesra itu.
Di lain pihak, Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna berpendapat bahwa penentuan kawasan untuk dijadikan ibukota baru harus mempertimbangkan beberapa aspek. Seperti diketahui pemerintah berwacana untuk membangun kota di kawasan baru, atau tidak menggunakan kota yang sudah eksisting di pulau Kalimantan.
Menurut Yayat, membangun kota di kawasan baru memang memiliki sejumlah keuntungan. Salah satunya adalah pemerintah bisa menyusun ulang tata kota. ”Kita bisa membuat konsep sesuai dengan kebutuhan kita. Jika ingin membuat kota yang berbasis green city, maka konsep jaringan air bersih, jalan, sampah, dan sebagainya dapat dikonsep secara matang sejak awal,” ujar Yayat, saat dihubungi Jawa Pos.
Namun di sisi lain, lanjut Yayat, pemerintah tetap harus mempertimbangkan sejumlah aspek dalam menentukan kawasan baru. Di antaranya adalah, kawasan tersebut tetap tidak boleh terlalu jauh dari kota eksisting yang nantinya berfungsi sebagai kota pendukung. ”Memang fasilitas seperti rumah sakit, restoran, hotel, itu bisa dibangun. Tapi itu butuh waktu. Nantinya jutaan orang menengah ke atas yang pindah ke ibu kota baru tetap butuh fasilitas tersebut,” tambah Yayat.
Selain itu, demi mengakserasi dengan pesat pertumbuhan ibukota baru, Yayat setuju dengan rencana yang pernah disampaikan Bappenas bahwa pemerintah ingin kawasan baru untuk ibukota dekat dengan akses bandara dan pelabuhan. ”Tentu saja itu sangat penting. Kota sebagai pusat kegiatan harus didukung oleh sistem jaringan pelayanan dan akses transportasi yang strategis,” pungkas Yayat. (far/byu/agf/prokal)
Ibu Kota Negara Baru dalam Angka
Rp 51,1 triliun, estimasi biaya yang perlu dikeluarkan untuk membangun fungsi dan gedung utama di ibu kota baru. Meliputi gedung eksekutif, legislatif, yudikatif, istana negara, dan bangunan strategis lainnya.
Rp 233,7 triliun, perkiraan biaya untuk membangun fungsi pendukung seperti sarana pendidikan, sarana kesehatan, rumah dinas ASN/TNI/Polri, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain.
Rp 173,2 triliun, estimasi biaya yang perlu disiapkan untuk fungsi penunjang seperti sarana prasarana jalan (listrik, jalan, air, telekomunikasi, dan lain-lain) serta ruang terbuka hijau.
Rp 8 triliun, estimasi biaya yang diperlukan untuk kebutuhan pengadaan lahan.
Rp 466 triliun, perkiraan total cost project untuk kebutuhan pemindahan ibukota negara ke tempat baru.
1 juta, Estimasi jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang harus pindah ke ibu kota negara baru.
Sumber: Bappenas
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: