Oleh: Dahlan Iskan
Senin lalu libur. Hari pahlawan di Amerika. Pahlawan yang meninggal dalam perang yang mana saja. Itu berarti libur tiga hari. Karena itu Jumat sore sebelumnya lalu-lintas lebih padat. Penerbangan ke banyak kota penuh. Harga tiketnya naik hampir dua kali. Padahal hari-hari itu saya harus ke Dallas. Di negara bagian Texas.
Tidak ada tiket. Yang mahal sekali pun. Saya tidak tahu kalau Senin itu hari pahlawan. Tahu saya hari pahlawan itu 10 November. Saya cari jurusan yang dekat dengan Dallas. Lalu bisa naik mobil. Houston: penuh. Austin: penuh. San Antonio: penuh.
Yang ada jurusan Laredo. Masih di Texas tapi di selatan sekali. Kota perbatasan dengan Mexico. Itu pun tiketnya tinggal dua. Harganya Rp 9 juta.
Tinggal penerbangan sore sekali. Tiba di Laredo pukul 20.00. Berarti harus bermalam. Ya sudah. Rapopo.
Masih sempat cari masjid. Siapa tahu ada. Bisa berbuka di situ. Sekalian bisa lihat perbatasan. Yang mau dibangun pagar itu. Siapa tahu bisa juga masuk ke Mexico. Sekalian lihat perekonomian perbatasan itu. Lihat juga lalu-lintas utama ekonomi Amerika-Mexico.
Di sinilah adanya: pelabuhan darat terbesar di dunia. Kelak akan ada juga pelabuhan darat sekelas itu. Antara Tiongkok-Eropa. Tapi makan waktu lama.
Tiongkok tidak langsung berbatasan dengan Eropa. Banyak negara memisahkannya. Dan ekonomi negara-negara itu tidak kuat.
Maka mendadak ke Laredo ini saya syukuri juga. Toh mau naik mobil dari St Louis ke Dallas tidak mungkin. Terlalu jauh. Waktunya tidak nutut.
Hahaha… gagal mampir New York malah mampir Mexico. Berarti selama 10 hari ini saya telah dari perbatasan dengan Kanada di utara (Buffalo-Niagara) ke perbatasan dengan Mexico di Selatan.
Laredo ini berpenduduk hampir satu juta kepala. Besar juga. Tapi 95 persen penduduknya keturunan Spanyol. Berbahasa Spanyol. Berada di Laredo seperti tidak di Amerika saja.
Laredo bangga dengan predikatnya: Kota Delapan Bendera. Di Texas pernah berkibar bendera Spanyol, Prancis, Amerika Union, Amerika Konfederasi, Mexico, Republik Texas, dan sekarang Amerika Serikat: tujuh bendera.
Itulah julukan Texas. Tapi Laredo pernah punya bendera sendiri: ketika menjadi ibukota Republik Rio Grande. Abad 15.
Paginya saya naik mobil dari hotel. Keliling kota. Lalu ke luar kota: lihat pelabuhan darat terbesar itu. Sorenya saya parkir mobil di pinggir sungai Rio Grande. Yang legendaris itu. Yang dalam buku-buku cerita Winnetou sungai ini jadi momok besar: hanya kuda-kuda kelas tunggangan Winnetou dan Old Shatterhand yang bisa menyeberanginya.
Saya melongok ke sungai itu. Agak dalam. Tapi biasa saja. Alam berubah banyak. Selama enam abad. Sungai itu tidak lagi ganas. Rasanya kelas saya pun bisa berenang menyeberanginya: ke daratan Mexico itu.
Di sebelah situ itu. Sungai itu milik bersama: Amerika dan Mexico. Batasnya di tengah sungai. Kalau Presiden Trump mau membangun tembok di sepanjang perbatasan di mana? Ya…mestinya dibangun di tengah sungai itu.
Saat ini ada empat jembatan ke Mexico. Di kota Laredo ini saja. Di atas sungai Rio Grande itu. Saya pindah parkir. Menuju pusat kota Laredo. Parkir di depan pusat perbelanjaan terkenal: Laredo Outlet Shop. Lapangan parkirnya di pinggir sungai Rio Grande juga. Dari pertokoan ini bisa lihat kota Laredo yang di wilayah Mexico.
Lebar sungainya hanya selemparan batu. Asal yang melempar: Hulk. Tentu saya ingin nyeberang sebentar. Ke Mexico itu. Lewat jembatan dekat lapangan parkir itu. Bisa pakai mobil. Bisa jalan kaki.
Panjang jembatannya hanya 300-an meter. Saya pilih jalan kaki. Lebih cepat. Kalau pakai mobil antrenya panjang sekali. Dari tempat parkir saya berjalan menuju jembatan nomor 1 itu. Yang sisi kanan-kirinya untuk pejalan kaki.
Jembatan-jembatan lain khusus untuk mobil dan truk. Dan kereta api. Ekspor-impor barang luar biasa besar.
Banyak pabrik sengaja dibangun di Mexico. Agar lebih murah. Padahal pasarnya Amerika. Tidak ada prosedur apa pun masuk ke jembatan perbatasan itu. Tidak ada penjagaan. Tidak ada yang awasi. Tidak ada pemeriksaan. Hanya perlu punya koin satu dolar. Untuk dimasukkan lubang portal. Agar terbuka. Masuklah ke jembatan itu. Melenggang ke kota Laredo.
Di sisi Mexico. Sama dengan pengalaman saya dua tahun lalu: masuk Mexico seperti itu. Di perbatasan Nogales. Di negara bagian Arizona. Yang lebih ke barat. Hanya di Nogales tidak lewat jembatan. Batasnya daratan.
Tapi di Laredo ini lebih ramai. Dari atas jembatan bisa lihat sungai Rio Grande.
Sampai di sisi Mexico saya tolah-toleh. Mau ngapain ya. Tidak ada mobil. Mau naik taksi tidak bisa bahasa Spanyol. Kecuali satu kata: Maria Marcedez. Atau dua kata: Sakhira.
Dan lagi juga mau lihat apa. Ya sudah. Rapopo.
Akhirnya saya putuskan: potong rambut. Untuk kenangan. Saya bayar dengan dolar Amerika. USD 15 dolar.
Soal komunikasi dengan salon saya tiru gaya remaja Jepang. Yang duduk bergerombol di sebelah saya. Saat saya mampir ke Starbucks terbesar di dunia. Di Shanghai itu.
Para remaja putri itu tidak bisa berbahasa Inggris. Saya tidak bisa berbahasa Jepang. Tapi pede sekali: mereka ngajak saya ngobrol.
Caranya: mereka penulis sesuatu di HP mereka. Lalu keluar suara dalam bahasa Inggris. Bertanya apakah saya sudah sering ke Starbucks ini. Saya diminta jawab: gunakan HP saya.
Saya menulis jawaban dalam bahasa Inggris. Lalu suaranya jadi bahasa Jepang. Begitulah kami ngobrol.
Saya kalah: mereka ngetiknya cepet sekali. Seandainya saya bisa secepet mereka kami bisa seperti ngobrol langsung. Cara remaja Jepang itu yang saya tiru. Untuk bisa potong rambut di Mexico.Agar tidak dipotong seperti Ricky Martin.
Kini, tidak bisa bahasa apa pun tidak akan kesasar di negeri asing.
Hanya begitu di Mexico. Lalu balik ke jembatan lagi. Nyeberang ke Amerika lagi. Ke tempat parkir lagi.
Baru baliknya inilah diperiksa: paspor, atau akta kelahiran. Bagi yang lahir di Laredo Mexico boleh ke Laredo Amerika. Zaman Republik Rio Grande dulu kota ini kan satu. Terbelah gara-gara ada negara.
Inilah pelajarannya. Inilah misterinya: hanya dipisahkan sungai kok keadaannya bumi-langit.
Begitu masuk Mexico langsung terasa Via Vallen-nya. Lagu-lagu rumba terdengar bersautan. Kaki lima menjarah trotoar. Tukang ngamen berjoget. Para penganggur duduk-duduk santai. Menikmati kepenganggurannya. Lebih kumuh. Berdesakan. Riuh. Tapi juga terasa happynya.
Beda negara beda manajemennya. Beda pula hasilnya. (dis)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: