Granat lontar yang menewaskan Barok dan Doni sebenarnya sudah berusaha disingkirkan ibunda Barok. Di rumah sakit, Doni masih sempat bergurau dengan nenek dan paman.
SAHRUL YUNIZAR, Bogor
TATAPAN Abdul Majid tak lepas-lepas dari pekarangan persis di samping rumahnya itu. Nanar. Menyiratkan kedukaan yang mendalam.
”Saya seperti masih melihat Barok main di sana,” katanya kemarin siang (15/2) sambil masih tetap menatap pekarangan yang berbatasan dengan kebun di Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu.
Di pekarangan itulah Barok alias Muhammad Ibnu Mubarok, anak Majid, kehilangan nyawa. Tepat setelah granat lontar yang dia jadikan mainan bersama Khoirul Islami meledak pada Kamis lalu (14/2). Akibat ledakan tersebut, Muhammad Doni yang tengah main ukulele sambil duduk di motor juga ikut kena.
”Kemarin (Kamis) masih azan. Setiap waktu (salat) dia azan,” ungkap pria 42 tahun itu tentang siswa kelas IX SMP itu.
Air mata tampak mulai mengalir dari mata Majid. Sekuat apa pun menahan, Majid masih sulit melupakan anaknya yang berusia 11 tahun itu.
Majid dan istrinya, Siti Nurhasanah, memiliki dua putra dan seorang putri. Namun, Barok punya keistimewaan di mata Majid. Dari tiga buah hatinya, hanya dia yang berani azan setiap waktu.
”Kakak-kakaknya nggak berani. Suaranya juga bagus Barok,” tutur Majid.
Dari masjid yang terletak 20 meter di samping rumahnya, suara Barok menggema. Kemarin siang, sehari setelah kepergian Barok, Majid merasa seperti masih mendengar suara sang anak mengumandangkan ajakan salat.
Begitu mendengar suara ledakan pada Kamis nahas lalu itu, Majid tak menyangka sang anak turut menjadi korban. Tapi, begitu keluar rumah, dia melihat tubuh putranya bersimbah darah. ”Anak saya nggak kelihatan wajahnya, ya Allah,” katanya. Air matanya kian deras mengalir.
Saat itu tidak ada yang lain dalam kepala Majid. Hanya Barok seorang. Dia lantas mengambil anaknya. Memangku tubuh mungil Barok. Sadar betul Majid saat itu, buah hatinya terluka berat.
Bukan hanya rupa wajahnya yang tampak jauh dari biasanya, beberapa bagian tubuh Barok juga penuh luka. Tidak ada lagi genggaman tangan yang biasa dia rasakan dari putranya itu. Terkulai lemas tangan Barok sepanjang perjalanan menuju RSUD Leuwiliang.
Begitu tiba di IGD rumah sakit itu, Majid dan keluarga Barok memohon agar petugas medis menyelamatkan anaknya. Bersujud-sujud dia. Namun, apa daya. Barok berpulang.
”Saya nggak kuat,” kata dia lirih.
Apabila tidak terus menguatkan hati, sambung dia, entah apa yang akan dia perbuat. Apalagi melihat Siti, istrinya. Hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Saat granat lontar yang dimainkan putranya meledak, Siti tengah bekerja. Dia mengajar di madrasah tidak jauh dari kampung tempat keluarganya tinggal. Begitu tahu putranya jadi korban ledakan, Siti ambruk.
Perempuan yang biasa dipanggil Nyai oleh tetangga-tetangganya itu masih tampak lemas saat Jawa Pos berkunjung ke rumahnya kemarin. Kepada petugas dan aparat yang datang silih berganti, dia menjelaskan rupa benda yang merenggut nyawa Barok.
Dengan terbata-bata, Nyai berusaha menjelaskan semampunya. ”Baru ini saya lihat itu,” kata dia pelan.
Sambil terus diusap Siti Janatul Lutfiah Sania, anak perempuan satu-satunya, Nyai menjelaskan bahwa dirinya sudah berusaha menjauhkan Barok dari benda itu. Sampai dibuangnya granat lontar tersebut.
Namun, di luar pengetahuannya, Barok kembali menemukan amunisi tersebut. Yang terus dia mainkan sampai berujung kabar duka.
Kini, setiap ingat Barok, Nyai tidak kuasa membendung air mata. Pun demikian ketika sahabat dan kerabat datang ke rumah. Setiap pelukan yang mendarat di tubuhnya dibarengi tangisan.
Beberapa meter dari rumah Majid, suasana duka juga menyelimuti keluarga Arif dan Titi. Mereka berdua adalah kakek dan nenek Doni. Remaja 14 tahun yang akhirnya juga meninggal dunia dalam insiden ledakan granat lontar Kamis lalu.
Kepada Jawa Pos, Arif bertutur, saat ledakan terjadi, dirinya tengah istirahat. Sebab, ulu hatinya sakit bukan kepalang. Itu membuat dia sama sekali tidak mendengar suara ledakan granat lontar yang pada akhirnya membuat Doni kehilangan nyawa.
”Kalau dibilang sakit hati, saya sakit hati. Sama neneknya,” ucap dia.
Perasaan itu terasa menyayat-nyayat hatinya lantaran Titi tidak menyampaikan sejak awal perihal ledakan itu. Saat membawa Doni ke rumah sakit bersama keluarga korban ledakan lainnya, Titi hanya pamit mengantar Nyai.
”Mau ke RSUD sama Nyai,” ucap Arif menirukan ucapan istrinya.
Kejanggalan mulai terasa saat jarum jam menunjuk angka lima. Istrinya tidak kunjung pulang. Begitu keluar rumah, Arif keheranan lantaran sudah banyak kendaraan aparat di dekat tempat tinggalnya.
”Ada mobil desa. Kemudian, teman-teman saya peluk sambil bilang sing sabar, sing sabar (yang sabar, yang sabar),” ujar dia.
Bingung atas ucapan itu, dia akhirnya mengetahui bahwa cucunya jadi korban ledakan granat lontar. Seketika hatinya patah. Antara percaya dan tidak. Sampai Arif pulang. Dalam keadaan meninggal dunia.
Kamis malam itu kali terakhir dia melihat wajah cucunya. Anak laki-laki yang tidak pernah jauh dari dirinya. ”Sejak lahir sama saya dan neneknya,” ucap dia.
Kehidupan rumah tangga ibu dan ayahanda Doni, sambung dia, memang tidak mulus. Ada cobaan yang akhirnya membuat mereka pisah. Doni pun lebih betah tinggal bersama kakek neneknya.
Kali terakhir bertutur dengan Doni, lanjut Arif, pada Rabu malam (13/2). Sebelum cucunya berangkat mengaji. ”Itu kenangan terakhir,” ungkap dia.
Setelahnya, dia tidak bertemu Doni. Sampai cucunya pulang sudah dalam balutan kain kafan. Meski tidak mendengar langsung, dia menyampaikan bahwa cucunya sempat bertahan dari ledakan. Di rumah sakit, Doni bahkan masih sempat bergurau dengan nenek dan pamannya. ”Katanya, minta nasi padang,” tutur Arif.
Permintaan tersebut tidak sempat terpenuhi. Sebab, tidak lama setelah itu, kondisi Doni memburuk. Detak jantungnya tidak stabil. Luka akibat ledakan granat lontar di samping rumah Barok membuat dia kehilangan banyak darah. Hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia. ”Cita-cita dia, nggak mau ngerepotin mbah (kakek dan nenek) lagi,” ungkap Arif.
Saat ini cita-cita itu sudah pergi. Doni yang gemar bermain ukulele sudah tiada. Beberapa bagian tubuhnya rusak. Tidak lebih baik dari kerusakan alat musik kesukaannya. Yang tengah dia mainkan ketika ledakan granat lontar mengempas tumbuhnya. Sampai sebagian besar kakinya rusak. Hingga berakhir duka. Doni dan Barok meninggalkan Khoirul, teman mereka yang sampai kemarin masih dirawat di rumah sakit. Tidak berselang lama setelah mereka bermain bersama. (*/c10/ttg/jpg)
Kronologi Insiden Ledakan Granat Lontar
1. Minggu (10/2) Barok bersama teman-temannya lari pagi ke lokasi latihan tembak milik Korem 061/Suryakancana. Mereka lantas naik sampai ke Bukit Ciampea yang juga masih masuk dalam area latihan menembak tersebut.
2. Dari bukit itu, Barok menemukan sebuah benda yang belakang diketahui adalah granat lontar. Dia lantas membawa pulang granat itu sampai ditemukan oleh ibunda Barok Siti Nurhasanah.
3. Pada Selasa (12/2) Siti yang juga tidak mengetahui granat lontar itu masih aktif membuang amunisi tersebut. Tujuannya tidak lain untuk menjauhkan putranya dari benda asing itu. Namun, Barok kembali menemukan benda itu di pekarangan rumahnya.
4. Kamis (14/2) menjadi hari nahas bagi Barok. Saat Siti masih bekerja, dia bersama Arul memainkan granat lontar itu. Ketika dipukuli dengan bantu seukuran batok kelapa, amunisi itu meledak.
5. Insiden itu terjadi sekitar pukul 14.00 WIB, Barok dan Arul mengalami luka parah. Doni yang juga tengah bermain tidak jauh dari lokasi ledakan turut kena imbas. Akibat insiden tersebut, Barok dan Doni meninggal dunia. Sedangkan Arul harus dirawat secara intensif.
Lapangan Tembak
Letak : Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Pemilik : Korem 061/Suryakancana
Medan : Lapangan dan bukit yang disertai pepohonan lebat
Kondisi : Lahan terbuka
Pemakai : TNI – Polri
Sumber: Diolah Jawa Pos
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post