Menetap di kota industri bukan jaminan pekerjaan lebih mudah didapatkan. Terlebih untuk mereka yang disabilitas.
Lutfi Rahmatunnisa’, Bontang
Nur Wahyuni pulang dengan kepala tertunduk dengan map dokumen dalam genggamannya. Raut wajahnya terlihat tak bersemangat, keringat mengucur dari keningnya.
Siang itu, akhir 2020, untuk kesekian kalinya, Wahyuni gagal memperoleh pekerjaan. Bukan karena kemampuannya. Tapi sebab fisiknya. Karena perempuan berjilbab ini disabilitas.
Bukan dari lahir. Wahyuni menjadi disabilitas daksa sejak usia 3 tahun. Selepas mengalami kecelakaan mobil. Punggungnya membungkuk, tulangnya tak selurus sebelumnya.
Beruntung, Wahyuni dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan sosial yang inklusif dan tidak melihatnya sebagai orang yang berbeda. Ia menamatkan pendidikannya hingga sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Alhamdulillah kalau pendidikan masih bisa mengikuti seperti yang lainnya,” katanya, ditemui di rumahnya, pertengahan Januari 2022.
Mencari kerja di tanah kelahiran masih terbilang sulit bagi Wahyuni. Apalagi beberapa persyaratan bagi tenaga kerja yang tak ia sanggupi. Seperti berpenampilan menarik yang kerap terlampir membuatnya sedikit terusik.
“Sebenarnya tidak minder. Hanya peluang untuk lolosnya itu yang kecil. Terlebih kami bersaing dengan orang normal pada umumnya,” tuturnya.
Wahyuni bercerita, sebagai sarjana sosiologi yang lulus pada 2020, puluhan lamaran telah dilayangkan ke berbagai perusahaan. Namun, ditolak dengan berbagai cara.
“Di panggil untuk interview saja saya tidak pernah. Padahal setiap ada lowongan pekerjaan di website Dinas Ketenagakerjaan Bontang saya selalu memasukan lamaran,” keluh Wahyuni.
Tak ingin berhenti mencoba untuk mendapat sebuah pekerjaan. Wahyuni mencoba peruntungan lain dengan mengikuti perekrutan CPNS Berau yang mana tes di selenggarakan di Balikpapan pada September 2021 lalu. Lagi, dalam tes CPNS tersebut Wahyuni dinyatakan tidak lolos seleksi meski menggunakan jalur disabilitas. “Belum rejeki saja,” ucapnya pasrah.
Tak banyak yang bisa dilakukan oleh wanita yang berdomisili di Kelurahan Berbas Pantai, Bontang Selatan ini. Dirinya kini banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas dalam rumah dan membantu orangtua.
***
Tidak menyerah pada keadaan menjadi tekad Ahmad Akbar Saputra. Salah seorang disabilitas netra low vision yang juga aktif sebagai atlet judo dan terapis.
Dia sempat mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Sebelum perlahan kemampuan matanya semakin berkurang.
Akbar bukan tanpa kemampuan, dia bisa membuat website. Menguasai Microsoft Word dan sejumlah administrasi. Berbagai lowongan pekerjaan telah ia coba dengan melampirkan lamaran yang ia titipkan melalui jasa kantor pos. Jauh dari dugaannya, tak satu pun lamaran yang ia masukan ke berbagai perusahaan lolos seleksi. Mencari kerja di kota industri tak mudah bagi orang sepertinya.
Pria yang juga menajabat sebagai ketua Forum Pemuda Disabilitas Kreatif (FPDK) Bontang itu mengatakan akses untuk memperoleh pekerjaan bagi disabilitas memang sudah jadi persoalan klasik.
Kendalanya, kata dia, pemerintah seperti tak serius menjalankan amanah aturan. Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) 19/2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas)
Selain itu, orang dengan disabilitas juga sulit memperoleh akses informasi terkait lowongan pekerjaan. Dia menduga, kurangnya ketersediaan lowongan kerja bagi difabel lantaran banyak pihak masih menyangsikan kapasitas mereka. “Bisa dihitung lah yang mau terima kami. Makanya kalau aturan itu tegak, jadi ada semacam ketakutan lah kalau itu tidak dijalankan,” tandasnya.
Konvensi tersebut menyepakati bahwa difabel setara dengan masyarakat lainnya. Berdasarkan konvensi itu, disepakati bila difabel memiliki enam hak hidup yang harus dipenuhi oleh negara. Meliputi hak atas penghormatan integritas, tidak dirampas nyawanya, mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Difabel juga bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, pengucilan, ancaman, berbagai bentuk eksploitasi, penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Aturan yang mengatur soal difabel juga tertuang dalam UU 8/2016, dan Perda Kaltim 1/2018 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. “Yang kami minta itu bukan sesuatu yang berlebihan. Karena memang sudah jadi tanggung jawab pemerintah,” tandasnya.
Ketiadaan program pemberdayaan difabel di Bontang menambah sulitnya mereka bekerja. Bahkan semakin merosot, merasa terpuruk, dan terpinggirkan dari masyarakat. Selain itu, ini membuat mereka terus-terusan bergantung dengan orang lain. Sangat sulit bagi orang dengan disabilitas untuk berdikari dan memiliki daya saing, bila pemerintah tak memberi mereka bekal keterampilan.
“Kalau program BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau dikasih sembako bagaimana mau mandiri. Bukannya tidak suka, tapi kami lebih perlu program latihan kerja,” tegasnya tentang program BLT bagi keluarga miskin.
Kata Akbar, bila difabel memiliki keterampilan dan mampu berdikari, ini bisa memperbaiki citra mereka di hadapan publik. Selama ini, akibat dibuat tak berdayanya komunitas difabel, citra mereka terlihat sangat menyedihkan. Dianggap lemah, tak mampu melakukan apapun, bahkan kerap dianggap sebagai beban.
“Asal ada keterampilan, ada akses pekerjaan atau buat lapangan kerja sendiri, kami juga bisa seperti orang-orang,” sebutnya.
Lebih jauh dia mengatakan, bila ingin membuat difabel berdikari, Pemkot Bontang mesti serius menggodok program khusus di bidang pendidikan. Baik formal maupun nonformal. Untuk formal, akses memperoleh pendidikan lanjutan, misal ke perguruan tinggi.
Nonformal, pemberian terapi mental atau membuat balai rehabilitasi sosial. Atau secara spesifik lagi, membangun balai pelatihan kerja khusus difabel. Seperti Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) di Bandung.
“Di sana banyak yang bisa dilakukan. Ada terapi mental, ada pelatihan kerja. Saya dapat ilmu pijat Jepang ya dari sana,” bebernya.
Dikatakan Akbar, berdasarkan PP 60/2020 tentang Unit Layanan Disaabilitas Bidang Ketenagakerjaan (ULDK) pasal 2, pemerintah daerah wajib memiliki ULD Ketenagakerjaan atau Balai Pelatihan Kerja (BLK) khusus difabel. “Tidak usahlah berbicara tentang lowongan pekerjaan. BLK saja dulu yang harus diwujudkan,” tegasnya.
Serupa, Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Bontang Ma’ruf menilai, pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak yang sama bagi difabel Bontang. Khususnya dalam hal penyediaan lapangan tenaga kerja dan pelatihan.
“Beberapa difabel Bontang itu buka usaha mandiri. Itupun bisa di hitung,” ungkapnya.
Dia mendorong pemkot hadir serta memberi dukungan kepada difabel Bontang berupa pelatihan dan lapangan pekerjaa. Guna mencetak daya saing para difabel.
“Kami mendukung sekali visi misi wali kota tahun ini. Tapi, jangan lupa dengan keberadaan teman-teman difabel di Bontang yang memiliki peranan yang sama dalam hal memajukan kota,” seru Ma’ruf.
JAWABAN PEMERINTAH
Menukil data Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Bontang, hanya 8 difabel bekerja di kantor pemerintahan. Persentasenya hanya 0,15 persen dari total pegawai negeri sipil (PNS) dan tenaga kontak daerah (TKD) yang akumulatif mencapai 5.071 orang.
Untuk PNS, 2 disabilitas daksa bekerja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), 1 disabilitas daksa di Kecamatan Bontang Selatan, dan 1 disabilitas daksa di Inspektorat Daerah.
Sementara untuk TKD, 1 rungu di BKPSDM, 1 daksa di Kelurahan Guntung, dan 2 daksa di Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Bontang.
Melihat komposisi ini, maka jumlah difabel yang bekerja di lingkungan Pemkot Bontang tak selaras dengan undang-undang. Sebagaimana amanah UU 8/2018 tentang Penyandang Disabilitas pada bagian keempat mengenai Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi. Di Pasal 53 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen difabel dari jumlah pegawai atau pekerja.
Dengan jumlah ASN mencapai 5.071 orang, maka porsi difabel di Pemkot Bontang hanya 0,15 persen. Bila dikerucutkan lagi, hanya 0,14 persen difabel menjadi PNS dari total 2.798 pegawai.
Sementara, Kepala Bidang Pengantar Kerja Disnaker Bontang Ridwansyah mengakui tidak memiliki data difabel yang telah bekerja. Terlebih program khusus pelatihan tenaga kerja bagi difabel.
Dia juga menyebut bahwa belum ada rekrutmen dari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan khusus bagi difabel.
“Tapi bagi mereka (difabel) yang memasukan lamaran dan sesuai dengan klasifikasi perusahaan kami akan tampung berkasnya. Nah, selanjutnya bagaimana terserah pada perusahaannya,” jelas Ridwan.
Pun, terkait pelatihan pengembangan potensi kepada difabel, Disnaker Bontang mengakui belum ada pelatihan yang fokus terhadap hal tersebut. Namun, pada triwulan kedua atau ketiga pihaknya akan mengupayakan mengadakan sebuah program pelatihan yang melibatkan difabel.
“Untuk sementara waktu dekat ini, pelatihan digelar oleh (pemerintah) provinsi. Tapi sobat difabel juga boleh mendaftar,” ujarnya.
Bilang Ridwan selama ini lowongan yang dibuka perusahan itu kebanyakan pekerjaan kasar. Seperti produksi pupuk, maintenance, dan sebagainya. Jika pun ada yang bisa diisi oleh difabel, adalah desain grafis.
Dikatakan Ridwan, sulit bagi pihaknya untuk membuka pelatihan khusus bagi difabel. Di samping itu, di lingkungan Pemkot Bontang tidak ada integrasi antara sistem pendidikan, dinas terkait dalam hal ini Dinas Sosial dan Pemberdayaan Manusia (Dissos-PM), Disnaker, dan BKPSDM. Selain itu, bisa jadi, sosialisasi kepada mereka pun kurang.
“Iya juga sih, kalau sosialisasi ke perusahaan itu pernah dilaksanakan tapi jarang. Ini jadi masukan bagi kami untuk mengingatkan perusahaan melalui penggalakan sosialisasi lagi,” terang Ridwan.
Disinggung terkait peran pemerintah untuk mendorong perusahaan di Bontang dalam membuka rekrutmen tenaga kerja bagi difabel Bontang, Ridwan menjawab itu merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan wali kota Bontang.
PERUSAHAAN MEMBUKA RUANG
Sebagai kota industri, berbagai jenis perusahaan beroperasi di Bontang. PT Pupuk Kaltim dan Badak LNG merupakan salah dua yang terbilang raksasa. Tak heran jika keduanya menjadi kiblat bagi perusahaan lain.
Di Pupuk Kaltim, manajemen mengklaim telah melakukan perekrutan difabel. Mereka bekerja di berbagai unit kerja, contohnya seperti SDM dan pemasaran.
VP Corporate Communication Pupuk Kaltim Tommy Johan Agusta menyebut, tantangan persaingan tenaga kerja bagi difabel, terutama untuk bekerja di perusahaan manufaktur membutuhkan kemampuan dan dasar pendidikan khusus.
Pupuk Kaltim mengaku telah memberikan edukasi yang dapat memupuk keterampilan dan mendorong semangat entrepreneurship. Agar tercipta kemandirian untuk difabel.
“Untuk mewujudkan komitmen perusahaan dalam mendukung kesetaraan akses dan meningkatkan kesejahteraan rekan-rekan difabel, kami membuat sebuah program pemberdayaan sejak 2017,” kata Tommy dalam keterangan tertulis yang dikirim ke bontangpost.id.
Program tersebut dapat diikuti oleh peserta dari berbagai kecamatan dan desa di Bontang dan sekitarnya. Pelatihan dan pendampingan sebagai bagian dari program ini memungkinkan mereka berkarya untuk menghasilkan kemandirian ekonomi dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pupuk Kaltim juga bekerja sama dengan Inkubator Bisnis Permata Bunda dengan tujuan tercapainya difabel yang mandiri, berdaya dan turut memberdayakan lingkungannya.
Dalam segi pemberdayaan, Inkubator Bisnis Permata Bunda hingga 2021 telah menyentuh penerima manfaat baik langsung maupun tidak langsung sebanyak 6.494 orang di seluruh Indonesia.
Hingga 2021, setidaknya terdapat 54 difabel yang tercatat sebagai peserta program pemberdayaan yang berkegiatan sesuai fase dalam sustainable entrepreneurship program for disability. Yakni pendampingan wirausaha, penempatan kerja, pemagangan, dan pelatihan.
“Ke depan, program ini akan kami dorong untuk dapat berjalan secara mandiri, sehingga lebih banyak individu difabel yang terberdayakan secara berkelanjutan,” terangnya.
Sementara itu, dua perusahaan besar lainnya yang menetap di Bontang seperti LNG Badak dan Indominco Mandiri belum memberikan keterangan resmi terkait jumlah disabilitas yang menerima manfaat lapangan pekerjaan.
“Kami menunggu informasi dari HC. Setelah itu jawaban segera kami informasikan kembali,” ucap Humas LNG Badak, Muhammad Irfan Hidayat.
***
Ahmad Akbar Saputra beranjak dari kursi. Belum selangkah, dia menyenggol segelas kopi. Air berwarna hitam menggenangi meja. “Saya lupa ada gelas di sini,” selorohnya.
“Saya pamit sebentar ganti baju,” sambungnya, di sela wawancara.
Akbar masih menjaga asa untuk bisa bekerja. Namun, lebih dari itu dia tidak ingin hanya berpangku tangan. Istri dan anaknya butuh makan. Kini, dia berusaha mendulang rupiah dari menjual jamu herbal dan membuka terapi. “Saya juga harus tetap hidup,” tegasnya. (edw)
***
Liputan/produksi ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS).
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post