“Gerakan politik itu tidak hanya lewat partai politik. Menggalang aksi-aksi penolakan UU MD3 juga gerakan politik. Tetapi gerakan itu harus terorganisir dan meluas,” Herdiansyah Hamzah.
SAMARINDA – Gerakan Mahasiswa Pejuang Demokrasi (GMPD) Kaltim akan menggalang dukungan publik. Hal itu dilakukan untuk mendukung langkah pengajuan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Salah satu aktor GMPD Kaltim, Muhammad Rizky mengungkapkan, pada Jumat (16/3) malam, pihaknya akan melakukan konsolidasi. Langkah tersebut diambil untuk menentukan penggalangan dukungan publik. Tujuannya untuk meraih dukungan publik terhadap langkah judicial reiview UU MD3 yang dinilai tak sejalan dengan konstitusi 1945.
“Malam ini (kemarin, Red.) kami akan konsolidasi. Selanjutkan akan kami infokan (bagaimana bentuk gerakan pengalangan dukungannya),” kata Rizky.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaltim, Farida A Hadi mengaku, terkait judicial review UU MD3, pihaknya menyerahkan sepenuhnya pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI.
“Kami enggak menggalang dukungan publik. Semua kita serahkan pada tim hukum DPP PSI, Jangkar Solidaritas bersama 122 pengacara muda,” ungkapnya.
Diketahui, saat ini DPP PSI satu-satunya partai politik yang menggandeng ratusan pengacara untuk mengajukan judicial review UU MD3 di MK.
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menegaskan, gerakan politik yang digalakkan mahasiswa sangat diperlukan untuk menolak UU MD3. “Justru mahasiswa yang harus menjadi pelopornya. Mereka harus jadi barisan terdepan yang harus menolak UU MD3,” katanya.
Karena itu, pengajar di Fakultas Hukum Unmul itu berpendapat, pengesahan UU MD3 harus jadi momentum memompa semangat mahasiswa dan masyarakat sipil agar secara serentak menolak UU yang tidak mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo itu.
“Pengesahan UU MD3 ini seharusnya mampu dijadikan momentum bagi masyarakat sipil untuk bersatu. Jadi konsolidasi mesti dilakukan, dan gerakan harus meluas dari pusat hingga ke daerah,” tegasnya.
Perjuangan melalui judicial review, kata akademisi yang biasa disapa Castro itu, perlu mendapat dukungan publik melalui protes dari berbagai kalangan. “Jadi harus disatukan antara advokasi hukum dan gerakan politik. Advokasi hukum melalui judicial review. Sementara gerakan politiknya melalui aksi-kasi protes yang terpimpin dan terorganisir,” sarannya.
Dikatakan, gerakan politik menolak UU MD3 perlu dijadikan momentum untuk mengevaluasi kinerja wakil rakyat. Kritikan tersebut mestinya dilakukan secara masif oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Gerakan politik itu tidak hanya lewat partai politik. Menggalang aksi-aksi penolakan UU MD3 juga gerakan politik. Tetapi gerakan itu harus terorganisir dan meluas,” katanya.
Bila langkah tersebut dipadukan, ia optimistis uji materi UU MD3 akan dikabulkan MK. “Karena pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan keputusan MK terdahulu. Berikutnya, pasal 122 jelas inkonstitusional. Sangat bertentangan dengan kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin UUD 1945,” ujarnya.
Terakhir, kata dia, judicial review akan mendapat legitimasi MK karena UU tersebut memuat pasal yang melangkahi kewenangan DPR yang bukan lembaga penegak hukum. “Khususnya pemanggilan paksa di pasal 73 melangkahi wewenang (DPR) dalam urusan yang sifatnya pro justitia,” pungkasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: