Oleh: Dahlan Iskan
Baru sekali ini. Saya ke Universitas Bung Karno. Yang kampusnya dua. Berdekatan. Di Jalan Cikini. Dan di Jalan Kimia itu.
Ada acara haul di situ. Di perpustakaanya. Haul Kim Jong-Il. Yang mereka sebut sebagai pemimpin besar PRDK. Korea Utara. Yang meninggal dunia mendadak pada 2011.
Ia adalah ayah Kim Jong-Un. Pemimpin besar Korut saat ini. Atau anak Kim Il-Sung. Pemimpin besar mereka yang pertama. Yang memerdekakan Korea dari penjajahan Jepang. Teman karib Bung Karno. Yang waktu itu juga bergelar Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.
Jabatan pemimpin besar terdengar aneh saat ini. Apalagi untuk generasi baru. Tapi itulah dulu. Di Indonesia. Dan sampai sekarang. Di Korea Utara.
Bedanya: di Korut beda. Jabatan pemimpin besar (supreme leader) itu terpisah. Dari jabatan presiden. Atau perdana menteri.
Korut punya presiden sendiri. Entah siapa itu. Juga punya perdana menteri. Yang saya juga lupa namanya. Carilah sendiri di Google. Bagi tugas.
Saat menulis ini saya tidak bisa buka catatan. Tertinggal di Pyongyang. Ini saya lagi di atas pesawat. Tidak ada wifi. Dalam penerbangan ke Doha (Qatar). Dan masih akan terus ke Lebanon.
Di zaman Bung Karno dulu jabatan pemimpin besar bukan jabatan. Itu gelar. Resmi. Diputuskan lembaga tertinggi negara: MPR. Sebentar. Saya lupa. Itu jabatan atau gelar?
Tolonglah. Ada yang pergi ke Universitas Bung Karno. Tanyakan itu. Bagi tugas. Saya lupa menanyakannya. Saat ke UBK kemarin saya masih yakin: pemimpin besar revolusi itu gelar. Bukan jabatan.
Kini saya dihinggapi keraguan. Tapi sudah terlanjur di atas pesawat. Yang jelas saat itu semua dirangkap Bung Karno: Proklamator, Pemimpin Agung, Pemimpin Besar Revolusi, Presiden, Perdana Menteri. Dan jangan lupa. Masih ada satu gelar lagi untuk Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.
Di Korut, jabatan presiden ditentukan oleh pemimpin besar. Hanya resminya dipilih oleh dewan rakyat. Pemimpin besar tidak pernah hadir di forum seperti APEC. Presiden lah yang hadir. Urusan pemerintahan di dalam negeri perdana menterilah yang memimpin.
Presiden dan perdana menteri hanyalah petugas partai. Harus tunduk pada misi partai. Yang dipimpin oleh pemimpin besar.
Itulah sebabnya partai penguasa di sana bisa langgeng. Di Tiongkok juga. Di Vietnam juga. Tapi di Uni Soviet bubar juga.
Bung Karno sebenarnya bisa langgeng. Sudah hampir langgeng. Sudah bisa 22 tahun jadi presiden. 1945-1967. Bahkan sudah ada putusan MPR ini: Bung Karno harus jadi presiden seumur hidup.
Masalahnya: Bung Karno sakit. Atau ada isu Bung Karno sakit. Dokter ahli ginjal dari Tiongkok didatangkan. Elit politik mendengar itu. Rumor kian kuat: Bung Karno tidak akan berumur panjang. Rakyat tidak tahu.
Mulailah beredar spekulasi: siapa yang akan menggantikan Bung Karno. Pemimpin besar kita itu belum menyiapkan putra mahkota. Megawati masih baru kuliah. Anak yang lain juga belum ada yang dipromosikan. Atau didukung-dukung. Atau dipaksa ditampil-tampilkan.
Sistem penggantian pemimpin nasional juga belum disiapkan. MPR hanya stempel. Demikian juga DPR. Bung Karno sepenuhnya mengendalikan DPR dan MPR. Apalagi saat itu. DPR belum dipisah dari MPR. Masih ditulis begini: DPR/MPR. Ketuanya pun sama.
Tapi Bung Karno ternyata belum pemimpin besar seperti di Korut. Atau Tiongkok. Bung Karno tidak mau mematikan demokrasi sepenuhnya. Tahun 1955 diadakan Pemilu. Terluber dalam sejarah. Luber: langsung, umum, bebas, rahasia.
Semua TV no signal. Karena belum ada TV. Pemilu pertama kita itu melahirkan kenyataan ini: pemenangnya PNI (Partai Nasional Indonesia). Partainya Bung Karno. Urutan berikutnya: Masyumi (Islam modernis) , NU (Islam tradisional) dan PKI (Komunis).
Partai-partai lainnya kecil-kecil. Pun kalau 30-an partai kecil itu disatukan. Belum besar juga. Apalagi partai-partai itu tidak mungkin disatukan. Pokoknya ruwet.
Dalam perjalanannya Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno. Bersama PSI. Kekuatan politik besar tinggal tiga: nasionalis (PNI), Islam (NU) dan PKI (Komunis).
Itulah yang ingin disatukan oleh Bung Karno. Lewat Nasakom (Nasionis, Agama, Komunis). Saya masih ingat lagunya: Nasakom Bersatu. Tapi tidak hafal lagi.
Dinyanyikan di pawai-pawai peringatan hari apa saja. Sampai ke desa-desa. Barisan pawai pun selalu terdiri tiga kelompok.
Paling depan regu PNI. Dengan spanduk-spanduknya. Yang terbuat dari lembaran karung goni. Kain mahal. Untuk pakaian saja kurang.
Di desa saya selalu saja: regu PKI-nya paling panjang. Juga paling heboh. Pasti ada reog Ponorogonya. Ada jathilannya. Ada teriakan-teriakan yelnya: Nasakom, hidup! Ganyang tujuh setan desa!
Tahun-tahun itu memang tahun perebutan pengaruh. Saling mengambil hati Bung Karno. Saling ingin paling dipercaya. Saling ingin terasa paling dekat.
Apalagi ketika Bung Karno mulai sakit. Perebutan pengaruh itu memuncak. PKI pintar ambil perhatian Bung Karno. Dengan rapat-rapat raksasanya. Belum ada istilah rapat akbar saat itu.
Bung Karno pandai pidato – – suka pidato. Bisa tiga jam. Dengan tetap memikat. Bung Karno terbius dengan panggung-panggung besar seperti itu.
Kesannya: Bung Karno kian dekat PKI. Atau memang begitu. Hanya Bung Karno sendiri yang tahu.
Hanya tentara. Yang mengkhawatirkan kedekatan itu. Khususnya angkatan darat. Maka terjadilah: G-30-S/PKI. Pada tanggal 30 September 1965. Angkatan darat pun tampil. Jadi penguasa baru di republik ini.
Era berganti. Muncul orde baru. Otomatis Bung Karno disebut orde lama. Bung Karno dijauhi. Dihujat. Dikutuk. Ekonomi Indonesia memang sangat sulit pada akhir kekuasaan Bung Karno.
Pak Harto membawa ideologi baru: pembangunan ekonomi. Istilah Nasakom Bersatu seperti barang haram. Trisakti, Nawacita, Jas Merah, Manipol, Usdek, Jarek, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Pemimpin Agung, dan sebangsa itu lenyap. Bahkan seperti lepra: harus dijauhi.
Diganti kosakata baru: Golkar, penyederhanaan partai, bimas inmas, SD inpres, guru Inpres, KB, 2 anak cukup, komando jihad, padi IR, tebu TRI, irigasi, Liem Soe Liong, Bob Hasan dan banyak lagi.
Mantra ekonomi sukses. Pada tahun-tahun itu. Mantra ekonomi runtuh. Pada 1998. Terjadilah reformasi. Nama Bung Karno hidup lagi.
Sukarnoisme bernafas lagi. Bersama isme-isme apa pun: HTI-isme, Wahabisme, Kebatinanisme, dan “aku bangga jadi anak PKI”.
Sukarnois mendirikan Universitas Bung Karno. Dipelopori putri Bung Karno: Rachmawati. Yang selalu tidak rukun dengan Megawati.
Saat saya ke UBK kemarin Rachma tidak hadir. Sakit. Tapi rektor dan wakil rektornya lengkap. “Kami ini kalah dengan Universitas Muhammadiyah,” ujar Ristoyanto, Ketua Lembaga Ajaran Bung Karno, UBK. Yang juga pengajar utama mata kuliah ajaran Bung Karno.
“Kalah” yang dimaksud adalah dalam menanamkan ideologi. “Di Unmuh, Ketua BEM-nya pasti ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,” kata Ristiyanto. Yang mantan Ketua GMNI Purwokerto.
Jadi, katanya, ideologi kemuhammadiyahan bisa lebih ditanamkan. Dibanding ideologi Sukarnoisme.
Apalagi di UBK mata kuliah ajaran Sukarno juga terus dikurangi. Dulu 12 SKS. Turun jadi 10 SKS. “Kini tinggal 8 SKS,” ujar Ristiyanto.
Maafkan. Saya baru tahu sekarang ini. Ada mata kuliah “ajaran Bung Karno”. Maka saya pun minta buku-bukunya. Buku teksnya. Yang diajarkan selama empat semester itu.
Sayangnya UBK tidak semaju keinginan Rachma. Padahal itu satu-satunya. Terlalu panjang kalau harus menulis “mengapanya”. (Dahlan Iskan)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: