Keterbatasan senjata tidak membuat nyali pejuang ciut dibuatnya. Faktanya, para pejuang Barisan Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) di pos Louis mampu bertahan dari gempuran pasukan beranda tanpa didukung senjata berat.
—
Di Pos Louis, pertahanan pejuang BPRI dipimpin oleh Paidjo, Sapari, Dedemus eks KNIL, dibantu oleh Kepala Kampung, Jaya. Pasukan Louis diperkuat beberapa orang eks Heiho, antara lain Sukayat, Munawar, Badawi R, Kasmin, Sekamat, dan banyak lagi pejuang rakyat lainnya. Tanpa senjata berat, pasukan Louis ini mampu bertahan sebisanya.
“Pasukan Paidjo ini diserang dari berbagai jurusan. Mulai jurusan sepanjang sungai dari kapal LCM dan dari jurusan jalan jalur pipa,” kisah Hamdani, penulis kisah peristiwa heroik Sangasanga dalam buku ‘Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur’.
Sementara itu pasukan tempur BPRI dari front sentral menghadapi pasukan gabungan Belanda yang lebih besar, segar, dan lengkap persenjataannya di sekitar Gudang Hitam dan Jembatan IV. Serangan balasan tersebut dipimpin Kapten KL Reiner dari KNIL yang berasal dari Samarinda. Sementara Pasukan Belanda dari Balikpapan dipimpin Kapten KL Zoesmaker.
“Pertempuran sengit ini berlangsung selama dua jam,” jelas Hamdani yang menyusun kisah ini bersama penulis lainnya, Johansyah Balham.
Sekira pukul 10.00 Wita, front pertahanan Louis dapat direbut oleh pasukan gabungan Belanda. Seorang pejuang bernama Patok menjadi korban dalam serangan ini. Kakinya tertembak hingga patah. Taswid bersama Toekiman Gondo lantas berniat menyelamatkan Patok.
Namun niat itu urung terjadi. Menyadari kekuatan yang tidak seimbang dan untuk menghindari korban lebih banyak, dalam keadaan yang sangat terjepit itu muncul seorang berpakaian preman. Orang itu mengancam mereka lantas menembak mati Patok.
“Karena kekuatan yang tidak seimbnag, seluruh pasukan front Louis ditarik mundur ke front pertahanan Tanjung Periok. Front Louis berhasil dikuasai Belanda,” tutur Hamdani.
Di Front Louis, Pasukan Belanda bertindak biadab. Mereka menangkapi para pejuang lantas melakukan penyiksaan di luar batas kemanusiaan. Pembantaian terhadap para pejuang pun tak terelakkan terjadi. Di antara mereka yang gugur sebagai pahlawan yaitu Selamat, Darmo, Ngatemin, Warso, Rais, dan Wagimin.
“Harta benda rakyat yang berharga juga habis dirampok. Rumah-rumah yang dianggap menjadi markas BPRI dibakar habis,” kisah Hamdani.
Pukul 11.00 Wita, seluruh pasukan pejuang selesai ditarik mundur ke front Tanjung Periok. Di Tanjung Periok dan Gudang Gas Kompres banyak tempat yang strategis untuk dijadikan pos pertahanan. Guna mengadang gerak maju pasukan musuh, maka diadakanlah musyawarah menyusun strategi.
Dalam strategi yang disusun, Toekiman Gondo bertugas bersama anak buahnya mengadang pasukan musuh di puncak gunung yang cukup strategis ketika musuh datang dari jurusan Louis. Sebagai pengintai ditunjuklah Amrin dan Baso.
“Tidak jauh dari tempat pengadangan terdengar suara musuh memberi komando untuk menyerang Louis. Namun pihak pejuang sudah siap apapun risiko yang dihadapi, sekalipun nyawa taruhannya,” sebut Hamdani.
Di luar dugaan, muncul Susilo dengan mengendarai sepeda. Kedatangan Susilo rupanya diiringi sebuah truk bermuatan penuh pemuda pejuang. Mereka datang untuk membantu pertahanan Tanjung Periok. Sayangnya, sebelum sampai ke tujuan, truk tiba-tiba diserang oleh tiga orang Polisi Belanda bersenjatakan 1 pucuk bren dan 2 pucuk owen.
Melihat keadaan yang cukup gawat itu, Toekiman Gondo dan pejuang lain segera bertindak. Mereka melakukan serangan yang menewaskan ketiga polisi Belanda itu. “Salah seorang dari polisi Belanda yang gugur diketahui bernama Pusno, berpangkat komisaris dan senjata mereka dirampas pejuang,” tambah Hamdani.
Setelah matinya tiga orang polisi Belanda tersebut, sekira pukul 11.25 Wita, pihak musuh dengan beringas menyerang pertahanan pejuang. Sehingga banyak pejuang yang menjadi korban, tidak terkecuali di pihak musuh.
Bantuan dari para pemuda pejuang tidak banyak membantu karena situasi di front Tanjung Periok yang semakin terdesak oleh kepungan musuh. Apalagi kekuatannya tidak seimbang. “Namun begitu dengan mengandalkan tekad dan keyakinan demi tanah air tercinta, mereka siap berkorban untuk nusa dan bangsa sekalipun nyawa taruhannya,” sambung Hamdani.
Dalam perjuangan melawan Belanda, para pejuang Sangasanga memang mendapat bantaun dari Herman Runturambi dan kawan-kawannya dari Balikpapan. Namun itupun belum mampu mengimbangi kekuatan personel dan persenjataan Belanda.
Selanjutnya atas perintah Suratin eks Heiho Sangasanga yang sudah berada di Balikpapan, ditunjuklah Asinar Mammoed kembali ke Sangasanga bersama eks Heiho lainnya. “Suratin yang berpangkat Joto Heiho dan Asinar dengan pangkat Itto Heiho sebelumnya memperoleh pendidikan kemiliteran Heiho Sangasanga,” jelas Hamdani.
Sejatinya ada bantuan dari Samarinda. Namun bantuan ini datang sewaktu akan diadakan serangan yang gagal pada tanggal 17 Januari 1947 Kamis malam. Setelah pencana penyerangan Kamis malam itu gagal, para pejuang Samarinda yang menginap di rumah Diman A Rachim kembali ke Samarinda.
Menyadari situasi demikian gawat, pimpinan pertempuran memerintahkan pejuang mundur teratur. Sembari membuat pos-pos pertahanan baru di Distrik IV, V, Simpang Empat dan Sepsep. Pukul 12.00 Wita, kapal pengangkut musuh memasuki sungai dan telah berada di Perairan Kampung Louis dan di muka Gas Kompres.
“Kapal-kapal yang bermuatan tentara KNIL dan KI Belanda ini sudah disiapkan untuk mendarat di pantai,” terang Hamdani.
Dalam keadaan yang sangat menegangkan itu, muncul sebuah pikap bertuliskan Van Nirop. Truk itu melaju dengan kecepatan tinggi melewati seorang pejuang bernama Anton. Tanpa banyak pikir lagi Anton langsung memberondong pikap dengan bren. Berondongan senjata ini sukses membalikkan kendaraan tersebut hingga masuk parit di dekatnya.
Para pejuang lantas mendekati pikap itu dengan maksud merampas senjata yang ada di dalamnya. Namun di luar dugaan dan ketidakwaspadaan pejuang, penumpang di dalam pikap melakukan penembakan tiba-tiba. Jatuhlah korban dari pejuang sebanyak tiga orang yakni Bakri, Kabul, dan Katjo.
“Penumpang atau pengendara pikap tadi di antaranya ada seorang perwira Belanda bernama Letnan Kissberry. Yang sempat melarikan diri dan bersembunyi sewaktu pengepungan tangsi KNIL 27 Januari 1947 yang lalu. Rupanya Kissberry menggabungkan diri dengan tentara Belanda yang melakukan serangan balasan ke Sangasanga,” urai Hamdani.
Pertempuran berjalan terus sekalipun dengan kekuatan yang tidak seimbang. Sektor-sektor yang baru didirikan pun jatuh ke pihak musuh. Dengan serangan frontal yang dilakukan, pihak Belanda mulai memasuki wilayah pejuang.
Pasukan ini terdiri dari kesatuan-kesatuan KNIL dari Balikpapan yang dipimpin Kapten Zuider Huizen menuju telaga Distrik IV. Kompi 115 yang dipimpin KL Zoesmaker dari Sepinggan Balikpapan menuju Gas Kompres. Sedangkan pasukan Algameene Polisi yang dipimpin Kapten KL Reiner menyebar memasuki kampung-kampung.
“Mereka memasuki perkampungan sambil mengadakan pembersihan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam perjuangan rakyat BPRI,” papar Hamdani. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: