Ketika Backpacker Inggris dan Rusia Singgah di Kota Tepian
Persahabatan para penjelajah backpacker tidak mengenal batas negara. Itulah yang mempertemukan pasangan backpacker asing, Lee Stoneey dengan Veronika. Meski berasal dari dua negeri berbeda, keduanya melakukan perjalanan bersama yang membawa hingga tiba di bumi etam.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
EKSOTISME Indonesia yang kaya budaya menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara. Festival Erau di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) salah satunya. Lee (34) dan Veronika (28) merupakan dua di antara para turis asing yang datang ke Kalimantan untuk mencari tahu festival budaya tahunan di Kota Raja tersebut.
“Kami dari Tenggarong. Karena sudah di Kalimantan, kami ingin berkeliling melihat-lihat,” kata Lee dengan bahasa Inggris yang kental, Sabtu (29/7) lalu.
Secara tidak sengaja, wartawan Metro Samarinda bertemu Lee dan Veronika di Grand Kartika Hotel, Samarinda. Rupanya, dua pelancong ini tengah beristirahat sembari menyusun rencana perjalanan berikutnya. Di Kota Tepian, keduanya disambut Alfiq Sofyan, backpacker lokal yang memandu dengan informasi-informasi yang dibutuhkan.
Kata Lee, masyarakat Kaltim yang ditemui sedari Balikpapan merupakan pribadi yang jujur dan ramah. Hal ini membuat mereka merasa nyaman berada di Kaltim. Untuk itu, Lee dan Veronika merencanakan serangkaian jadwal kunjungan ke daerah-daerah di Kaltim. Pulau Derawan di Berau dan Taman Nasional Kutai (TNK) di Kutai Timur (Kutim) masuk dalam radar mereka.
“Kami ingin ke Sangatta untuk melihat orangutan. Kami sudah menghubungi TNK untuk itu. Apa kamu pernah bertemu orangutan?” ucap Lee.
Kabar pembunuhan orangutan rupanya telah sampai ke tengah Lee dan Veronika. Hal ini membuat mereka sedih. Apalagi keberadaan orangutan di hutan dianggap mengganggu wilayah manusia. Padahal, sebagai satwa yang dilindungi, sudah sepatutnya orangutan dilindungi. Inilah yang membuat mereka berdua ingin melihat orangutan secara langsung.
Tapi bukan hanya budaya dan keindahan alam yang membawa dua backpacker ini ke Indonesia. Kabar manis tentang kelezatan kuliner nusantara turut menggugah rasa ingin tahu mengenai negeri seribu pulau ini. Lee mengungkap, dia penasaran ingin mencicipi rendang. Pasalnya dalam sebuah majalah yang dia baca di Amerika Serikat, makanan khas Padang ini berada di peringkat wahid daftar makanan paling nikmat di dunia.
“Kemarin kami sempat makan (rendang). Tapi sepertinya kami sedang tidak beruntung karena rasanya tidak seperti yang kami bayangkan. Mungkin kami dapat rendang yang tidak enak,” beber pria jangkung ini.
Alih-alih rendang, keduanya justru menyukai masakan sop buntut. Menurut Lee, cita rasa makanan nusantara memang begitu khas. Selain sop buntut, Lee dan Veronika juga sempat mencicipi makanan khas Indonesia lainnya. Seperti nasi goreng dan gado-gado. Pun begitu, keduanya sempat mencicipi nasi kuning sebagai menu sarapan.
“Ah iya, yellow rice. Tapi sepertinya Veronika tidak terlalu suka,” jawab Lee saat disinggung tentang menu andalan Samarinda tersebut.
Diakui Lee, kendala bahasa menjadi persoalan tersendiri saat mereka berkeliling Indonesia. Karena tidak semua orang di Indonesia mengerti bahasa Inggris. Keduanya sempat kaget ketika datang di beberapa daerah di Indonesia. Apalagi masing-masing daerah punya bahasa daerah yang berbeda-beda satu sama lain.
“Kami kira semua orang Indonesia bisa berbicara bahasa Inggris. Karena itulah yang kami temukan saat kami berada di Bali,” terangnya.
Meski begitu, keanekaragaman bahasa itu justru yang membuat keduanya semakin tertarik dengan Indonesia. Lee dan Veronika pun tak malu mencoba beberapa frasa Indonesia. Khususnya Veronika yang mengaku suka mempelajari bahasa asing. Misalnya saat ditanya tentang umur, perempuan yang karib dipanggil Nika ini menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
“Tunggu sebentar, biarkan saya menjawabnya dengan bahasa (Indonesia). Dua delapan,” kata Nika mengeja usianya.
Melihat ketertarikan Veronika, wartawan media ini tak tahan untuk ikut berbagi pengetahuan. Ketika media ini mengajarkan frasa khas surabaya “bondo nekat” alias bonek, dia tampak begitu antusias dan bertanya bagaimana mengucapkannya. Kata ini sengaja dipilih Metro Samarinda karena cukup mewakili backpacker yang perlu kenekatan dalam melakukan perjalanan.
Sebagai gantinya, Nika mengajarkan kata Rusia, “Spasibo”. Kata ini punya arti “terima kasih” dalam bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia punya kesamaan dengan bahasa Rusia. Pengucapannya sesuai dengan yang tertulis,” jelasnya.
Kisah Lee dan Veronika menjadi seorang backpacker sendiri terbilang unik. Awalnya mereka berdua adalah pekerja di bidangnya masing-masing. Lee bekerja di perusahaan pengiriman di Inggris, sementara Veronika bekerja sebagai agen biro wisata di Rusia.
Meski sudah memperoleh pekerjaan yang mapan, bukan lantas membuat mereka merasa nyaman. Dua insan ini justru menemukan dunianya lewat berkeliling dunia dengan hanya berbekal ransel di punggung. Alhasil, pekerjaan tersebut mereka tinggalkan demi menjadi seorang backpacker.
“Di Inggris, saya bekerja apa saja untuk mengumpulkan uang. Tidak ada pekerjaan tetap. Sehingga saya bisa mengumpulkan uang untuk keperluan saya bepergian,” kisah Lee.
Thailand menjadi destinasi pertama Lee dalam “karier” backpacker. Kata dia, saat awal menjadi backpacker bukanlah hal yang mudah. Malahan Lee sempat kesulitan dengan perbedaan budaya dan bahasa yang ada. Dari situlah perlahan Lee belajar hingga kini terbiasa melakoni perjalanan ke berbagai negara. “Saat berada di Thailand, saya sempat bekerja sebagai analis,” tambahnya.
Pun dengan Veronika. Meski menjadi agen wisata, dia lebih banyak bekerja di dalam ruangan. Merasa terkungkung, Veronika lantas berhenti bekerja dan mulai bepergian ke berbagai tempat yang dia inginkan. Senada dengan Lee, Nika juga melakoni berbagai jenis pekerjaan paruh waktu demi mengisi bekal di ranselnya. “Sekarang saya merasa bebas,” tandas Nika. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post