bontangpost.id – Kekerasan seksual menghantui jurnalis perempuan di Bontang. Baik fisik maupun verbal. Disengaja maupun tidak. Hingga meninggalkan rasa trauma. Peringatan Hari Perempuan Internasional 2021, besok (8/3/2021), diharap menjadi titik balik untuk melawan kekerasan kepada kuli tinta.
Anggrek — bukan nama sebenarnya– adalah jurnalis media siber di Bontang. Sudah dua tahun dia menjalani profesi ini. Sepanjang kariernya, dia tak bisa menghitung lagi, sudah berapa banyak kekerasan seksual menimpa. Paling banyak, sebutnya, pelecahan verbal. Seperti mengomentari bentuk tubuhnya.
“Kadang ada yang dekat dan langsung bilang, “Wah bodi mbaknya hot. Sukanya aku bodi begini.” Dalam hati, rasa pengin berbuat kasar,” ujarnya ketika berbincang dengan bontangpost.id, Sabtu (6/3/2021) siang.
Ada bentuk kekerasan seksual verbal lain pernah dia terima. Kejadiannya belum lama ini. Awal Maret 2021. Ketika itu, Anggrek bersama beberapa jurnalis perempuan lain, meliput agenda tes urine di salah satu instansi pemerintahan di Bontang. Salah seorang staf, minta ditemani tes urine.
“Ada yang pegang botol. Ada yang pegangkan alat kelamin. Dia menyebut langsung milik dia (alat kelamin). Kata itu diulang-ulang,” kata perempuan berjilbab ini.
Selama mengalami kekerasan seksual, Anggrek mengaku tak pernah langsung melakukan tindakan ofensif. Biasanya dia diam, atau memilih pergi. Ini semua karena dia bingung. Apa mesti dibuat ketika kekerasan seksual itu menimpa dirinya. Belum lagi beban moral menjaga relasi dengan narasumber.
“Aku enggak tahu bubuhan (teman) yang lain bagaimana menyikapi hal ini (kekerasan seksual). Kalau saya sih mulai risih. Kalau pernyataannya (ketika wawancara) sudah keluar konteks, saya memilih menyingkir saja,” bebernya.
Hal lain dialami Mawar, nama samaran. Macam-macam pelecehan seksual diterimanya. Sebagian besar memang verbal. Tapi semua membuat dia terganggu dan marah.
Contohnya, ketika seorang narasumber sengaja mengontak Mawar. Memanggil dia ke kantornya. Dia enggan, tapi narasumber itu masih bersikeras. Mawar dikirimi pesan melalui WhatsApp, dengan alibi akan diberikan isu bahan berita. Ujung dari percakapan itu, si narasumber, memaksa mengajak pacaran. “Gila sih. Kaget lihat dia (narasumber) kayak begitu,” kata perempuan pemilik senyum manis ini.
Tak berhenti di situ. Salah seorang narasumber bahkan pernah mengajak jalan Mawar ke luar kota. Dilengkapi iming-iming akan disewakan apartemen. Ajakan itu langsung ditolaknya. “Ya, kaget saja. Kota sekecil ini ternyata banyak orang-orang seperti itu,” sesalnya.
Mawar mengaku bingung ketika kekerasan seksual itu menimpa dia. Di satu sisi, dia ingin sekali melawan. Tapi merasa tak kuasa. Tak ada daya. Satu sisi, dia mesti menjaga relasi. Karena bagaimanapun, jurnalis juga harus menjaga relasi dengan narasumber, meski tetap ada batasan.
“Jujur saja malu juga mau cerita begini. Saya tidak mau cerita pernah kena kekerasan seksual sama banyak orang. Paling sama orang yang saya percaya saja,” tuturnya.
Terakhir, dialami Lili, bukan nama sebenarnya. Kekerasan seksual verbal dia terima ketika baru menapak karier. Ketika itu, dia bertugas meliput bantuan langsung tunai (BLT) Covid-19 di salah satu kelurahan di Kecamatan Bontang Selatan, pertengahan 2020.
Salah seorang warga dia jadikan narasumber terkait penyaluran BLT. Setelah berita dimuat, dia mengirim tautan berita ke narasumber. Balasan yang diterima Lili membuatnya syok. Narasumber itu justru membalasnya dengan mengirim gambar alat kelamin laki-laki. Lili, yang masih jurnalis baru, bahkan mengaku tak pernah melihat kelamin laki-laki dewasa, seketika kaget. Sempat terdiam barang beberapa waktu, narasumber itu diblokir dari WhatsApp, dan nomornya dihapus dari ponsel.
“Saya kaget, Mbak. Enggak nyangka. Entah itu dia sengaja, atau handphone-nya dibajak atau gimana. Intinya saya trauma,” beber dia.
Cerita soal kekerasan seksual itu jadi rahasia Lili seorang. Tak pernah dia bener dengan siapapun. Dia takut, dia anggap itu aib.
Memasuki Desember 2020, Lili mengikuti seminar trauma healing kekerasan seksual jurnalis perempuan yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Selama sepekan dia ikut seminar daring. Di hadapan peserta lain, yang jumlahnya 20 orang, dan psikolog yang menjadi narasumber, akhirnya Lili cerita pengalaman kelamnya.
“Sejak saat itu mulai hilang traumanya. Karena konsultasi langsung sama psikolog. Mereka pesankan, jangan diam ketika mengalami kekerasan seksual. Ungkapkan dan lawan,” tandasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post