Ini Kisah Para Petani Padi di Tengah Industri

SIMPAN POTENSI: Di tengah geliat industri perusahaan migas dan batu bara, hijaunya sawah di Nyerakat Kiri ini mampu bertahan dalam produksi padi. (Fahmi Fajri/Bontang Post)

Bontang bukan kota pertanian. Kota seluas 497,6 kilometer persegi ini lebih dikenal sebagai kota industri. Pengolahan gas alam serta produksi pupuk kimia sudah menjadi ciri khas jauh sebelum kota ini berdiri mandiri. Siapa sangka di tengah industri-industri tersebut, terdapat para petani yang mencoba menghasilkan bulir-bulir padinya.

LUKMAN MAULANA, Bontang

Dari sebuah gubuk kecil, Muhammad Tahir Sayuti berdiri menatap hamparan hijau sawah padi di depannya. Gubuknya sederhana, namun kokoh melindungi dari tetesan hujan dan teriknya surya. Tangan kasarnya tak henti menggerakkan benang berhiaskan untaian plastik, terbentang dari gubuk hingga belasan meter ke tengah sawah. Sementara pandangan Tahir tak lepas dari burung-burung yang berterbangan mendekati tanaman padi.

“Yang paling menganggu itu ya hama burung pipit ini. Makanya saya bikin tarik-tarikan ini,” tuturnya sembari terkekeh.

Senja itu, Kamis (25/2) seperti biasa, pria berkumis dan berjanggut ini memeriksa sawah seluas dua hektare yang berada tak jauh dari rumahnya di Jalan Satya Lencana, RT 9 Bontang Lestari. Bersama dengan RT 10 Bontang Lestari, kawasan ini lebih dikenal dengan nama Nyerakat Kiri.

Untuk mencapainya, mesti melewati jalan beraspal kasar yang menjadi jalur kendaraan salah satu perusahaan tambang batu bara. Ketika menemukan papan bertuliskan Nyerakat Kiri, hamparan serba hijau bakal langsung menyapa siapa saja yang memasuki perkampungan ini. Sawah-sawah inilah yang menjadi mata pencaharian bagi kelompok-kelompok tani yang ada di sana.

Salah satu kelompok tani itu adalah Sabar Menanti yang diketuai Tahir. Sebanyak 19 orang menggarap lahan seluas 21 hektare hasil pencetakan sawah bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian (Kementan) RI pada 2012 silam. Namun jauh sebelum itu, Tahir dan warga lainnya sudah aktif bertanam padi di daerah tersebut.

“Kami menanam sejak orang tua kami datang ke sini. Cuma dulu berpindah-pindah, mencari lokasi yang strategis,” kisah Tahir.

TAK JERA: Baharuddin bersama traktor miliknya. Meski kerap gagal panen, dia tetap berusaha menanami sawahnya dengan padi. (Lukman/Bontang Post)

Pria kelahiran Pinrang, 52 tahun lalu itu bertutur, riwayat pertanian masyarakat Nyerakat Kiri sama tuanya dengan sejarah industri di Kota Taman itu. Ayah Tahir konon merupakan orang yang membuka kawasan Nyerakat di tahun 1977, tahun yang sama Pertamina memulai dua proyek lepas pantai yang menjadi cikal bakal berdirinya Pupuk Kaltim.

“Dulunya di sini rawa-rawa,” ungkapnya. Sedangkan kelompok tani Sabar Menanti, diklaim Tahir telah eksis sejak masa ayahnya dulu. “Saya ini generasi ketiga,” tambah Tahir.

Dia mengaku telah bertanam padi sejak 1992. Padi dipilih karena merupakan bagian tradisi orang Sulawesi. Pun begitu, Tahir melihat betapa orang-orang Sulawesi yang sejahtera berasal dari sektor pertanian. Sekalipun kala itu usaha tambang sedang merangkak naik, Tahir tetap memilih menjadi petani dengan berpindah-pindah lahan.

Lantas sejak pencetakan lahan sawah seluas 25 hektare dari pemerintah dilakukan di 2012, kelompok Sabar Menanti tak lagi berpindah-pindah. Pencetakan lahan ini menurut Tahir bukanlah hal yang mudah. Kelompok tani yang ada di sana harus terlebih dulu meyakinkan Pemkot Bontang akan adanya potensi pertanian di sana.

“Dari lahan setengah hektare yang kami garap waktu itu, kami jadikan contoh kepada pemerintah. Bahwa lahan di sini potensial untuk dicetak sawah karena ada sungai,” beber ayah tiga anak ini.

Kelompok Sabar Menanti lantas memulai musim tanam perdananya. Hasilnya kala itu cukup memuaskan, dan untuk kali pertama panen raya pada hamparan lahan ini dilakukan di masa kepemimpinan Adi Darma-Isro Umarghani.

Tahir menyatakan, dalam setahun pihaknya bisa dua kali melakukan penanaman. Yaitu dimulai setiap bulan Mei atau Juni, dengan perkiraan panen di bulan Oktober. Musim tanam kedua dimulai setiap bulan November atau Desember dengan perkiraan panen di bulan Maret. “Rata-rata masa tanam hingga panen membutuhkan waktu sekira tiga bulan,” terangnya.

Lebih lanjut Tahir mengurai, dalam sekali panen, per hektare lahan bisa memproduksi hingga 4 ton padi. Rata-ratanya, 3 ton yang dihasilkan per hektare. Sehingga bila lahan yang digarap seluas 21 hektare, dalam sekali tanam bisa menghasilkan sekira 63 ton padi.

Namun begitu, Tahir menyebut hasil tersebut masih belum maksimal. Hal ini dikarenakan permasalahan hama yang bisa membuat kualitas produksi menurun. Pun begitu, masih ada 4 hektare lahan dari 25 hektare yang belum dimaksimalkan.

“Empat hektare yang belum dikerjakan itu karena minat warga untuk bertani masih kurang, selain itu mereka juga dia masih ada pekerjaan lain. Ya mungkin mereka bisa mengolahnya, tapi untuk menjaganya juga perlu waktu, misalnya menjaga dari hama burung pipit,” papar Tahir.

Selain permasalahan hama, kondisi cuaca yang tidak menentu ikut berdampak pada kualitas serta kuantitas produksi nantinya. Dalam musim tanam tahun 2015 misalnya, kelompok tani ini mesti menelan pil pahit. Kemarau panjang yang menyapa Kota Taman di tahun tersebut membuat lahan mengalami kekeringan. Sehingga padi yang ditanam menjadi gagal panen.

“Kalau kemarau selama 4 sampai 5 bulan, air ya jadi kering. Kalau kemarau sepanjang itu bisa dipastikan gagal panen. Karena kami hanya mengandalkan pengairan dengan menampung air hujan,” jelas dia.

Bila gagal panen begitu, maka petani jelas merugi. Tahir menghitung, proses pengolahan sampai penanaman membutuhkan biaya hampir Rp 3 juta per hektare untuk sekali tanam. Modal itu akan sia-sia ketika padi tak bisa dipanen. Angka kerugiannya malahan bisa mencapai sekira Rp 6 juta dengan menghitung pengeluaran di luar modal seperti pemupukan dan tenaga kerja.

Namun dengan tren cuaca yang terbilang baik, tak menyurutkan semangat para petani untuk tetap menanam. Malahan Tahir mengatakan, kondisi Bontang yang dalam setahun bisa terus diguyur hujan memberikan peluang bagi pertanian untuk bisa hidup lama. Apalagi kini telah dibuatkan sistem irigasi dari bantuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim.

“Irigasi baru kami fungsikan pada musim tanam ini. Setelah ada irigasi, air menjadi lancar, bukan lagi sekadar kami tampung seperti dulu,” ungkap Tahir. Di satu sisi, apabila hujan turun deras dengan intensitas yang tinggi, bisa menenggelamkan lahan.

“Kalau kelebihan air kan jadinya banjir. Kemarin kami sempat kebanjiran. Rencananya tahun ini pintu air akan direalisasikan,” sambungnya.

Pengairan yang lancar ini turut mengurangi kadar keasaman tanah yang membuat pertanian menjadi sulit. Pasalnya, tingkat keasaman tanah di Bontang yang tinggi membuatnya mesti direkayasa terlebih dulu dengan memberikan kapur pertanian.

Meski turut menambah biaya pertanian yang dikeluarkan, namun bagi Tahir hal tersebut tidak menjadi masalah. Karena sebagian di antara kebutuhan tersebut dibantu oleh pemerintah, baik di tingkat kota, provinsi, hingga pusat.

“Alhamdulillah bantuan dari pemerintah lancar saja. Kemarin kami dibantu dengan pupuk dan terpal. Untuk bibitnya, sejauh ini juga selalu mendapat bantuan. Karena itu menurut saya, bertani di Bontang itu sudah paling enak. Artinya, petani sebenarnya hanya modal tenaga saja,” ujar Tahir.

Sayangnya, sedikit yang berminat menjadi petani di Bontang, khususnya petani padi. Padahal bila dihitung-hitung, menjadi petani bisa lebih menguntungkan dibandingkan bekerja di perusahaan. Terlebih bila melihat kebutuhan masyarakat akan beras serta aspek historis sebagai negara agraris. Namun kenyataannya pekerjaan ini mulai ditinggalkan.

“Sekarang hanya dilihat dari penampilan fisik saja. Tapi kan petani tidak pernah pakai baju bersih saat di sawah,” Tahir berkelakar.

Menurut dia, menjadi petani bisa tetap mendapatkan kesejahteraan yang layak. Buktinya Tahir sendiri, yang bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Sehingga pandangan orang yang menganggap menjadi petani berarti hidup susah sejatinya tidak tepat. Malahan dengan menjadi petani, Tahir mengaku bisa mengatur waktu kerjanya sendiri.

Namun memang di tengah kondisi ekonomi saat ini, tidak bisa hanya menggantungkan pada satu subsektor semata. Perlu juga ditopang dengan usaha-usaha pertanian lainnya, semisal menanam kelapa sawit sebagaimana dilakukan Tahir. “Tapi saya lebih senang dan lebih fokus bertanam padi. Karena bertanam padi lebih ringan,” bebernya.

Tahir mengungkap, keuntungan yang didapatkan petani di kelompoknya dalam sekali panen bisa mencapai 60 persen dari modal yang dikeluarkan. Keuntungan ini didapatkan dari penjualan beras pada tengkulak. Sejauh ini beras yang dihasilkan sebagian besar diedarkan untuk konsumsi daerah Nyerakat Kiri dan sekitar Bontang Lestari.

“Tapi kami juga menjual sampai ke pasar di Berbas. Harganya Rp 10 ribu per kilogram. Yang kami bawa ke kota bisa mencapai 4 kuintal setiap bulannya,” tutur Tahir.

Menurut dia, sekira 90 persen kebutuhan beras masyarakat Nyerakat Kiri sudah terpenuhi dari produksi sawah di daerah tersebut. Sehingga tidak lagi terlalu mengandalkan pasokan dari luar. Walaupun diakui, dengan asumsi kebutuhan per kepala keluarga mencapai 25 kilogram beras per bulannya, sementara jumlah kepala keluarga di Nyerakat Kiri mencapai 70, hasil panen yang ada masih belum mencukupi.

“Seandainya kami tidak bawa ke Bontang (kota, Red.) ya mungkin kami bisa swasembada sepenuhnya untuk di Nyerakat Kiri,” ungkap dia.

Karena menurut Tahir, banyak yang mencari beras lokal produksi Nyerakat Kiri. Khususnya oleh para pekerja di perusahaan yang selalu mencari beras berkualitas tinggi. Meski tidak berani bersaing dengan beras-beras nasional macam merek Rojolele, Tahir berani mengklaim beras yang diproduksi kelompoknya bersih dari zat kimia berbahaya.

“Beras lokal itu bila bertahan sampai 15 hari, biasanya sudah berkutu. Sementara beras dari luar itu dalam dua sampai tiga bulan belum tentu berkutu,” sebut Tahir.

Dengan kualitas yang dimiliki tersebut, dia mengatakan kelompok taninya tidak terlalu mempermasalahkan beras impor. Karena kelompok tani Sabar Menanti siap bersaing dalam hal kualitas. Namun begitu, dia mengakui bila harga beli dari pemerintah terbilang terlalu murah. Yaitu Rp 3.500 kilogram gabah per kilogramnya.

Sementara tengkulak di Marang Kayu, Kutai Kartanegara (Kukar), bisa membeli dengan harga 4.800 per kilogram. “Harapannya pemerintah bisa membeli dengan harga di atas tengkulak,” kata dia yang menyebut harga tertinggi dari pemerintah masih belum cukup menyejahterakan petani.

Tahir beranggapan, pemerintah perlu menunjukkan kepada masyarakat bahwa menjadi petani bisa menghasilkan kesejahteraan yang menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Ini bertujuan untuk menarik minat masyarakat menjadi petani. Menurutnya akan percuma bila pemerintah mencetak banyak lahan sawah bila tidak ada yang menggarap.

“Kalau kita hanya membuka lahan seperti yang kemarin 25 hektare, tapi nyatanya terbengkalai karena kurang pembinaan. Sehingga ketika dilihat hasilnya tidak seberapa, masyarakat jadi enggan bertani,” tegasnya.

BERTAHAN SENDIRI, GAGAL PANEN TAK BIKIN KAPOK

Pencetakan sawah yang dilakukan Kementan RI pada 2012 silam memberikan harapan baru bagi para petani padi di Bontang Lestari. Selain di Nyerakat Kiri, pencetakan sawah ini juga dilakukan di Kampung Segendis, di RT 12 Bontang Lestari. Luas lahannya sama, 25 hektare yang berbentuk huruf L bila dilihat dari atas.

Senada dengan Nyerakat Kiri, untuk mencapai lahan ini mesti melewati jalur kendaraan perusahaan tambang batu bara. Bedanya, mesti melewati hutan dan kebun kelapa sawit terlebih dulu dengan jalanan tanah yang rusak ketika hujan tiba. Kendaraan roda empat tak mampu masuk ke dalamnya.

Namun tak seperti di Nyerakat Kiri,  lahan di Segendis bernasib kurang baik. Kelompok tani Tunas Inti Baru yang menggarapnya kini meninggalkan lahan tersebut. Persoalan pengairan yang berujung gagal panen beruntun membuat satu per satu anggotanya pergi.

Baharuddin Daeng Mabela, merupakan petani terakhir yang memutuskan tetap bertahan bertanam padi di sana. Sementara para petani lainnya ada yang beralih ke tanaman kelapa sawit, ada pula yang pindah ke Marang Kayu, Kutai Kartanegara (Kukar), yang berbatasan langsung dengan Segendis.

“Awalnya kelompok Tunas Inti Baru punya 15 anggota, termasuk saya. Tapi satu per satu mulai meninggalkan lahan ini. Karena banyak dari mereka yang menggarap lahan yang statusnya pinjam pakai. Kalau saya kan tanah milik sendiri,” kenang Baharuddin.

Memorinya kembali ke tahun 2012, ketika sawah baru selesai dicetak. Kala itu kelompok Tunas Inti Baru mulai bertanam padi di sana. Awalnya kelompok ini sempat merasakan dua sampai tiga kali panen padi dalam setahun. Dari dua hektare yang digarapnya saja, Baharuddin bisa mendapatkan 3 sampai 4 ton gabah. Untuk ukuran Segendis, jumlah tersebut terbilang banyak.

“Kalau tidak terganggu buahnya bisa segitu. Itu termasuk banyak karena kalau di sini terkendala curah hujannya dan banyak penyakitnya,” dia bercerita.

Hasil panen berupa gabah tersebut lantas dijual kepada tengkulak dari Marang Kayu yang mendatanginya. Dari harga jual Rp 2.800 per kilogram, para petani bisa mendapat untung hingga separuh dari modal yang dikeluarkan. Dalam permodalan sendiri, Baharuddin menyebut banyak mendapat bantuan dari Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Pertanian (DKP3) Bontang.

“Ada bantuan untuk pupuk dan obat-obatan. Di luar itu modal sendiri, untuk kekurangan pupuk dan obat-obatan. Modalnya bisa sekira Rp 2 jutaan untuk sekali tanam. Itu di luar biaya untuk mempekerjakan orang,” urai Baharuddin.

Namun seiring berjalannya waktu, para petani ini terus mendapat ujian. Beragam kendala menerpa mulai dari pengairan yang terhambat, kemarau panjang, hingga kemunculan hama.

“Jadinya banyak pengeluaran dari pada pemasukan. Keuntungannya jadi berkurang. Sementara para petani di sini kebanyakan pendatang, yang menggarap lahan pinjam pakai. Kalau panennya lancar sih bukan masalah,” tutur ayah delapan anak ini.

Hasil panen yang tidak seperti harapan membuat Tunas Inti Baru terpecah. Sebagian besar anggotanya, termasuk sang ketua, pindah ke Marangkayu untuk pertanian yang lebih baik. Lahan 25 hektare pun mulai terabaikan. Para pemilik lahan ada yang menjualnya ke perusahaan, ada pula yang mengalihfungsikannya untuk bertanam kelapa sawit. Hanya Baharuddin yang tetap bertahan dengan sawah padi.

“Orang-orang bertanya ke saya kenapa tidak tanam sawit. Saya bilang (lahan) ini kan sawah, masa sawah ditanami sawit? Saya masih butuh tanam padi,” ungkapnya.

Pria kelahiran Bone, 51 tahun lalu ini menjelaskan, setelah sebagian ditanami kelapa sawit dan ada yang dibeli perusahaan, kini tersisa 11 hektare lahan yang bisa dimanfaatkan untuk bersawah. Namun dari 11 hektare tersebut, hanya dua hektare saja yang aktif ditanami, yaitu lahan milik Baharuddin. Memutuskan bertahan, dia lantas membentuk lagi kelompok tani yang diberi nama Padaidi.

SIMPAN POTENSI: Di tengah geliat industri perusahaan migas dan batu bara, hijaunya sawah di Nyerakat Kiri ini mampu bertahan dalam produksi padi. (Fahmi Fajri/Bontang Post)

“Saya buat lagi satu kelompok supaya lahan di sini tidak mati. Lokasinya tetap. Anggotanya 12 orang, tapi yang aktif saat ini hanya lima orang,” terang pria yang akrab dipanggil dengan sapaan Kamar oleh orang-orang Santan, Kukar ini.

Kelompok baru bukan lantas mengubah hasil pertanian menjadi lebih baik. Baharuddin mengungkap, sawah padi di tempatnya menemui beberapa kendala untuk bisa maju. Mulai dari sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, pengairan yang tidak lancar, air asam yang tertahan, juga hama tikus dan burung. Praktis kegagalan panen harus rela dia terima.

“Hamanya banyak. Hama serangga masih bisa dibasmi, tapi kalau tikus dan burung itu susah,” lanjut Baharuddin. “Mulai dari 2015, dua kali tanam tidak pernah berhasil. Tahun lalu juga gagal panen, dua hektare yang saya tanam semuanya diserang burung dan tikus. Betul-betul tidak panen,” bebernya.

Dia mencatat, panen terakhir terjadi di 2014 sebanyak 3 ton. Setelahnya selama dua tahun, yaitu 2015-2016, selalu mengalami kegagalan panen. Kondisi padi saat ini pun disebut tidak mendukung panen. Kata Baharuddin, padi di masa dulu bisa bertahan lama. Yaitu padi yang ditanam tahun ini, di tahun depan masih bagus. Sementara padi di masa sekarang tidak begitu.

“Kalau sekarang tidak. Padi yang ditanam di tahun ini, di tahun depan ketika akan digiling itu sudah berubah merah,” tambah Baharuddin.

Faktor tenaga kerja turut mempengaruhi. Pasalnya, selama ini dia bekerja sendiri. Sehingga hasilnya tidak bisa maksimal. Pun begitu dengan pengairan yang masih sebatas mengandalkan air cucuran hujan. Sistem irigasi dari mata air ke sawah yang masih belum terhubung dengan baik ikut memperparah kondisi pertanian di Segendis.

“Irigasinya tertutup tanaman liar. Lantas melewati perkebunan kelapa sawit. Sehingga air sulit turun ke bawah. Ketika airnya ditampung, tanaman kelapa sawitnya tenggelam,” sebut Baharuddin. “Sebenarnya kemarin itu kami sudah membuat parit tambahan, tapi belum sampai ke sawah karena keterbatasan biaya,” sambungnya.

Kegagalan panen tentu membuat Baharuddin merugi. Walaupun ada bantuan dari pemerintah, namun tetap saja ada modal yang dikeluarkan. Di antaranya modal tenaga, solar, pupuk, hingga obat rumput. Memang dia turut menggunakan obat rumput untuk tanaman padinya. Harga satu botol obat rumput bisa mencapai Rp 250 ribu.

“Saya pakai tiga botol untuk dua hektare. Ya modalnya hilang begitu saja,” kata Baharuddin yang mengaku sudah menjadi petani sejak usia 25 tahun ini.

Namun begitu dia tetap bertekad untuk terus menamani lahannya dengan padi. Sempat dua tahun tak ditanami, dia bakal mulai kembali bertanam padi pada Maret mendatang. Bagaimana pun hasilnya nanti, yang terpenting dia sudah berusaha. Baginya, kegagalan panen tidak membuat menyerah untuk tetap melanjutkan bertanam padi. Bantuan dari pemerintah turut menjadi motivasinya untuk tidak berhenti.

Kekhawatiran gagal panen, menurut Baharuddin, pastilah ada. Namun gagal atau berhasil, itu urusan belakang. Yang terpenting harus berusaha terlebih dulu. Karena bagi dia, risiko dalam berusaha tidak ada yang tahu.

“Saya dulu garap sendiri saja bisa dapat 3 ton. Makanya saya tidak kapok, walaupun keluar modal tapi tidak seberapa. Soal sawah, saya tidak bisa berhenti selagi masih mampu. Kalau ada hasilnya ya disyukuri. Kalau betul-betul sudah keluar modal tapi tidak ada hasilnya, ya saya tidak pernah menyerah,” tutur Baharuddin.

Diakui, bila hanya mengharapkan bertanam padi, dirinya tidak akan mampu bertahan. Khususnya untuk menghidupi keluarganya. Makanya Baharuddin turut menanam komoditas lain seperti jagung dan cabai di lahan keringnya yang seluas dua hektare. Dalam kesehariannya pun, Baharuddin bekerja di workshop salah satu perusahaan tambang yang tak jauh dari kediamannya.

“Tidak bisa mengandalkan sawah saja, harus ada usaha lain. Termasuk tidak bisa hanya menanam padi, bisa juga menanam sayur-sayuran lainnya. Saya juga kalau malam bekerja di perusahaan. Ya harus pintar-pintar membagi waktu,” ucapnya.

Adapun yang dia harapkan di lahannya saat ini yaitu sumur bor dan pengairan yang lancar. Apabila dua hal tersebut ada, bisa jadi akan membuat orang tertarik untuk bersawah menanam padi. Karena menurutnya, apabila suatu pertanian berhasil, maka orang akan tertarik untuk ikut menggelutinya. Sementara bila terus merugikan, orang pun akan enggan.

“Tapi kalau irigasinya bagus dan ada sumur bor, bisa jadi nilai tawar. Kalau saya sekarang ini kadang kelebihan air, kadang kekurangan air. Kalau kelebihan air jadi banjir, tidak bisa turun ke sawah. Kalau kekurangan air jadi kekeringan, tanah sampai terbelah-belah,” tandas Baharuddin.

BERHARAP ANAK IKUTI JEJAK

Usia tak lagi muda, namun keinginan Tahir dan Baharuddin untuk terus menghidupkan tradisi keluarga dalam bertani tetap ada. Makanya mereka berharap anak-anak mereka kelak dapat melanjutkan usaha pertanian yang digarap saat ini. Tahir misalnya, mengaku telah memberikan rangsangan kepada generasi muda bahwa bertani lebih memililki keleluasaan waktu.

“Artinya kita tidak diatur oleh orang. Kalau kita bekerja di perusahaan kan otomatis diatur oleh waktu. Kalau petani tidak,” ujar Tahir.

Dia juga menunjukkan bahwa kebutuhan pokok masyarakat adalah beras. Sehingga pekerjaan petani padi sangatlah dibutuhkan. Memang bila dibandingkan dengan kelapa sawit, keuntungan bertanam padi terbilang lebih rendah. Namun padi merupakan jenis pertanian yang memililki dampak jauh ke depan bahkan sampai beratus-ratus tahun kemudian.

“Usaha pertanian ini ingin saya turunkan kepada anak. Tapi harapannya bisa lebih modern. Untuk sekarang, anak saya ikut membantu di sawah di luar waktu sekolah,” sebutnya.

Sejauh ini, rata-rata anggota kelompok taninya terdiri dari orang-orang tua. Tahir sengaja mengajak mereka yang berasal dari ekonomi tidak mampu dan tidak memiliki pekerjaan untuk ikut memakmurkan lahan pertanian. Yang paling tua di kelompoknya, ungkap Tahir, ada yang berumur 65 tahun.

SIMPAN POTENSI: Di tengah geliat industri perusahaan migas dan batu bara, hijaunya sawah di Nyerakat Kiri ini mampu bertahan dalam produksi padi. (Fahmi Fajri/Bontang Post)

“Daripada mereka cari kerja di luar dan di perusahaan, sementara usia sudah tua, lebih baik saya ajak bertani di sini,” tuturnya.

Sementara Baharuddin juga berharap anaknya bisa menjadi petani seperti dirinya. Walaupun nantinya tidak fokus berkutat di sawah, setidaknya bisa menjadikan pertanian sebagai tambahan penghasilan. Dengan rumah yang berada di kawasan pertanian, setidaknya sudah memberikan pengalaman petani kepada anak-anaknya sejak usia dini.

“Anak saya walaupun masih sekolah dasar, tapi sudah giat membantu di sawah. Bahkan yang perempuan sangat bersemangat setiap kali ke sawah. Buah sawit bisa dibawanya sendiri,” kisah Baharuddin berbinar.

Lebih lanjut dia mengungkap, keputusannya tetap bertani di usianya yang sudah lima dekade tak lain demi masa depan anak-anaknya. Yaitu demi bisa memberikan contoh bahwa sang ayah dulunya seorang petani.

Memang diakui, regenerasi petani di lingkungannya terbilang sangat minim bahkan nihil. Anak-anak zaman sekarang lebih memilih bekerja di perusahaan. Di satu sisi orang tua juga tidak mengajarkan anaknya untuk menjadi petani. Padahal pertanian selain menyimpan beragam potensi, juga merupakan tradisi bangsa.

“Saya pertahankan sawah saya ini untuk masa depan anak saya. Kalaupun nantinya tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah, setidaknya anak-anak saya bisa mengerjakannya karena lahannya ada di samping rumah,” urainya. (luk)

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version
https://www.bethhavenbaptistchurch.com/ anakslot https://torontocivics.com/ http://sultansawerlogin.com slot gacor arya88 slot gacor slot raffi ahmad slot raffi ahmad 77 https://attanwirmetro.or.id/ https://attanwirmetro.or.id/dolph/asd/ https://idtrack.co.id/ https://autoglass.co.id/ slot raffi ahmad 77 https://dabindonesia.co.id/ slot gacor https://tesiskita.com/ slot raffi ahmad https://bontangpost.id/ slot raffi ahmad 77 Anakslot https://karyakreatif.co.id/ slot raffi ahmad 88 Anakslot arya88 kicautoto kicautoto slot thailand https://www.ajlagourmet.com/ kicautoto situs raffi ahmad gacor slot raffi ahmad 88 situs scatter hitam situs scatter hitam slot toto Link Gacor Hari Ini Slot Bca Situs deposit 25 ribu https://cdn.sena.co.th/ toto 4d https://www.ajlagourmet.com/-/ daftar slot gacor