PRESIDEN Joko Widodo memberikan berbagai kemudahan kepada sejumlah sektor usaha dan masyarakat yang terkena dampak dari wabah virus corona (Covid-19). Bagi para tukang ojek, sopir taksi, maupun nelayan yang saat ini memiliki cicilan kredit, Jokowi memutuskan pembayaran bunga atau angsuran akan diberikan kelonggaran selama 1 tahun ke depan.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim Made Yoga Sudharma mengatakan, sebagaimana arahan presiden, OJK sudah menyampaikan dan menerbitkan POJK yang berkaitan dengan stimulus perekonomian nasional dengan kebijakan countercyclical, dampak penyebaran covid-19. Isi regulasi ini mencakup beberapa hal baik perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Untuk perbankan, OJK mengemasnya dalam kerangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan.
“Secara umum, restrukturisasi diprioritaskan terutama untuk masyarakat yang terdampak Covid-19, terutama untuk kredit-kredit dan leasing yang dilakukan oleh UMKM dengan penghasilan harian, seperti pekerja informal, KPR dengan tipe tertentu dan pengemudi daring,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, terkait pidato presiden soal rakyat kecil diberikan kelonggaran 1 tahun, rakyat kecil yang dimaksud bapak presiden adalah bagi pekerja-pekerja informal. Jadi misalkan pekerja informal memiliki tagihan kepemilikan rumah, itu menjadi perhatian. Atau pengusaha warung, warungnya harus tutup karena ada kebijakan work from home. Hal seperti itulah yang menjadi perhatian. Jadi memang diprioritaskan seperti ini.
“Tidak kemudian, misalkan atau belum sampai dengan, pegawai yang berpenghasilan tetap tetapi punya KPR, dan KPRnya tidak termasuk dalam yang saat ini direstrukturisasi,” tuturnya.
Akan dilihat case by case oleh perbankan, sehingga masyarakat diminta juga untuk memahami dan mengukur apakah memang permohonan restrukturisasi bisa dilakukan oleh perbankan, atau leasing. Penundaan atau kelonggaran sesuai pidato presiden merupakan bahasa yang mudah dicerna masyarakat umum. Coba bayangkan kalau presiden menggunakan istilah restrukturisasi kredit. Sasaran dari POJK stimulus adalah masyarakat menengah ke bawah. Dikhawatirkan mereka tidak mengerti dengan istilah restrukturisasi kredit.
“Kelonggaran tidak menghilangkan kewajiban untuk melakukan pembayaran, tapi diberikan kemudahan,” ungkapnya.
Misalnya, pada kondisi biasa, debitur mempunyai kewajiban sebesar Rp1 juta per bulan. Karena pengaruh Covid-19, usaha menurun. Setelah dilakukan perhitungan ulang, debitur hanya mampu membayar Rp 500 rb per bulan. Kurang lebih demikian perumpamaannya. Terkait masa resktruturisasi selama 1 tahun, itu adalah jangka waktu maksimal. Jangka waktu restrukturisasi diserahkan kepada penilaian bank. Bisa dalam jangka waktu 3,6 dan 9 bulan tapi maksimal 1 tahun.
“Adapun bagi debitur yang tidak terdampak, atau masih dapat menjalankan usahanya dan masih memiliki kemampuan keuangan untuk mengangsur, diharapkan untuk tetap dapat memenuhi kewajibannya,” tegas Made.
Bagaimana melakukan restrukturisasi ini? Made menjelaskan, setiap bank tentu memiliki assessment terhadap debiturnya masing-masing, untuk bisa melakukan restrukturisasi karena tidak semua debitur akan mendapatkan restrukturisasi. Ini yang akan menjadi perhatian dari bank. Bank harus memiliki pedoman untuk menjelaskan kriteria debitur, yang ditetapkan terkena dampak Covid-19 dan akan menentukan restrukturisasi seperti apa yang bisa diberikan. “Perlu kami jelaskan bahwa usaha perbankan merupakan usaha intermediasi,” jelasnya.
Made mengatakan, bagi yang kelebihan dana, menempatkan dana nya dalam bentuk simpanan di bank. Bagi yang kekurangan dana, meminjam melalui bank dalam bentuk kredit. Bank memperoleh bunga dari kredit yang disalurkan dan selanjutnya memberikan bunga bagi yang menempatkan simpanan di bank tersebut. Likuiditas perbankan secara sederhana dapat dijelaskan demikian.
Dengan penjelasan sederhana tersebut, harus sama-sama disadari bahwa, kredit yang diberikan oleh lembaga jasa keuangan (LJK) kepada debitur berasal dari dana masyarakat, yang juga harus dikembalikan. Apabila LJK tidak bisa mengembalikan dana masyarakat maka kepercayaan masyakat terjadap LJK, akan runtuh dan dapat menyebabkan masalah yg lebih besar lagi.
“POJK yang dikeluarkan hanya untuk perbankan, sedangkan aturan untuk perusahaan pembiayaan masih dalam prosea. Saat ini OJK sedanh mengodok aturan untuk industri jasa keuangan non bank,” pungkasnya. (ctr/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: