Pungutan tidak berdasar dalam izin prinsip di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menyasar hingga proyek vital nasional. Pelaksana Tugas Sekkab mengklaim sesuai arahan Bupati Abdul Gafur Mas’ud (AGM).
bontangpost.id – Pembangunan batching plant dan asphalt mix plant di Lawe-lawe, Penajam Paser Utara (PPU), merupakan megaproyek yang ditangani PT Petronesia Benimel, anak usaha PT Hutama Karya. Proyek penunjang kilang minyak serta pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) itu didapat PT Aubrey True Energi (ATE) sebagai sub-rekanan. Proyek yang kini sepenuhnya terbengkalai lantaran izin yang digantung pemerintah daerah tanpa kejelasan.
Plt Sekkab PPU Muliadi menyanggah keterangan Anderiy soal dirinya yang mengadang dan membuat izin itu tak terbit. Alasannya rekanan sub tak boleh mengurus izin prinsip. “Harus rekanan utama yang ajukan permohonan. Bukan sub,” akunya saat dimintai pendapat atas keterangan saksi di Pengadilan Tipikor Samarinda dalam persidangan, Jumat (15/7) lalu. Sebelumnya, pemilik PT ATE Anderiy bersaksi jika dirinya merugi miliran rupiah lantaran izin prinsip pembangunan dua proyek itu disegel Desember 2021. Izin prinsip yang dimohonkan ke Pemkab PPU sejak Januari 2021, tak juga terbit.
Ada tiga kali upayanya mempertanyakan mengapa izin itu tak jelas juntrungannya. Permohonan pertama di Januari 2021, lalu Juni 2021, hingga akhirnya disegel Satpol PP PPU akhir tahun. “Ternyata soal followup yang diminta sekkab itu kami abaikan,” ungkapnya bersaksi di depan majelis hakim yang dipimpin Jemmy Tanjung Utama bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim. Setidaknya, dua kali dia merogoh kocek mengamini permintaan sekkab. Semua terjadi pada Januari 2022. Pertama ditransfernya langsung ke rekening Bendahara DPC Demokrat Balikpapan Nur Afifah Balgis senilai Rp 500 juta.
Lalu, uang tunai Rp 300 juta diantar Ary, staf Anderiy di PT ATE ke PNS Bagian Ekonomi Setkab PPU Heri Nurdiansyah di Graha NU Balikpapan. “Enggak pernah konfirmasi apakah uang ini benar sampai ke AGM seperti yang dikatakan Muliadi, untuk bupati,” jelasnya menguraikan.
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU KPK pada 8 Juni 2022 disebutkan, uang Rp 300 juta ini diberikan Muliadi ke Supriadi alias Yusuf alias Ucup (sopir bupati PPU) untuk diantar ke AGM di Jakarta. Jumlahnya hanya Rp 200 juta. Sisanya, diduga dinikmati Muliadi. Ketika Ucup diperiksa pada 6 Juli 2022, membenarkan dirinya hanya menerima uang Rp 200 juta. Uang itu diambilnya ketika bertemu Muliadi di Platinum Hotel Balikpapan dan langsung diserahkannya ke Nis Puhadi, rekan AGM untuk dibawa ke bosnya di Jakarta
Izin prinsip batching plant dan asphalt mix plant di Lawe-lawe baru terbit dua hari sebelum operasi tangkap tangan KPK pada 13 Januari 2022. Namun semua sudah menjadi arang. Pekerjaan itu dianulir karena PT ATE tak memungkinkan lagi untuk mengerjakan lantaran ongkos yang sudah terlalu bengkak. “Saya mengundurkan diri mengerjakan itu. Berani jadi subkontraktor karena tahu itu proyek vital nasional dan pekerjaan bisa berjalan sembari mengurus izin. Tapi ternyata enggak,” singkatnya.
Keberatan lain yang dilayangkan Muliadi soal keterangan Anderiy itu soal penyegelan bangunan di akhir 2021. Semua itu disebutnya karena perintah AGM selaku bupati PPU. “Bupati (AGM) sempat tanya ke saya bangunan itu sudah ada izin belum. Saya bilang belum. Terus dia bilang tegakkan aturan makanya saya perintahkan Satpol PP segel,” kilahnya. Selain Anderiy ada saksi lain yang dihadikan. Mereka berkelindan soal pemberian fee proyek yang ditampung Jusman, kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) PPU. Mereka, tiga orang dari CV Karya Sejati Utama (KSU), Usriani, Usman, dan Husaini. Lalu, dua orang dari PT Serumpun Mutiara Petung (SMP), Damis Haq dan Ahmad.
Di persidangan, para saksi dari CV KSU menerangkan, sepanjang 2019–2020, menangani enam proyek pembangunan sekolah dari Disdikpora dengan nilai mencapai Rp 10 miliar. “Dua proyek di 2019 itu SMP 17 PPU, dan SD 009 PPU. Dari dua itu saya setor sekitar 3 persen. Rp 51 juta dari proyek SMP 17 dan Rp 27 juta dari SD 009,” ungkap Husaini. Pada 2020, empat proyek yang dihandel SD 024 PPU, SD 009 Waru, SD 010 Babulu, dan SD 014 Sepaku. Pemberian fee berkisar 8 persen dari nilai kontrak. “Rp 112 juta di SD 024 PPU, Rp 72 juta di SD 009 Waru, Rp 195 juta di SD 010 Babulu, dan Rp 160 juta di SD 014 Sepaku,” rincinya.
Uang fee itu disetorkannya ke Jusman. Soal ke mana saja uang itu dia dan dua saksi lain dari CV KSU tak tahu-menahu lantaran Jusman hanya berujar. “Untuk yang di atas,” kata ketiganya kompak menirukan omongan Jusman saat ditanya ihwal uang itu. Hal senada terjadi dengan Damis Haq. Khususnya dalam proyek pembangunan SMP 26 PPU yang dikerjakan PT SMP. Medio November 2021, dia sempat menagih pembayaran progres 70 persen pekerjaan. Kala itu, Jusman selaku kuasa pengguna anggaran mengingatkannya. “Katanya jangan lupa kewajiban 10 persen,” tuturnya.
Penasaran, dia pun bertanya peruntukan uang itu. Jawaban Jusman kala itu hanya menunjukan gestur tangan telunjuk yang mengarah ke atas. Maksud Jusman itu dipahaminya dengan baik. Terlebih, banyak kabar burung beredar jika Jusman salah satu orang dekat AGM. Selepas proyek beres dan dibayar penuh pada Januari 2022, dia menyisihkan 10 persen tersebut atau sebesar Rp 175 juta. Saat hendak memberikan fee itu, Jusman berujar beri semampunya saja dan dia hanya menyetorkan uang sebesar Rp 150 juta. Disinggung JPU soal mengapa mau memberi uang itu, Damis mengaku takut jika proyek lain yang dikerjakannya terhambat pembayarannya. “Ini aja ada yang belum terbayar, Pak. Pemkab (PPU) defisit,” tutupnya.
Selepas para saksi diperiksa, persidangan bakal kembali bergulir lusa (20/7) dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan yang dihadirkan JPU KPK. (riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: