Derita Lakateng, Setahun Hidup dengan Kanker Lidah
Lagi-lagi ketiadaan biaya akomodasi selama berobat di Samarinda menjadi penyebab tidak tertanganinya penyakit yang diderita warga Kota Taman. Lakateng, warga RT 25 Kelurahan Satimpo mesti mengisi hari-harinya dengan derita kanker ganas yang bersarang di lidahnya.
Diam dan membisu, itulah yang terlihat kala Bontang Post membesuknya di kediamannya yang sederhana berdindingkan kayu di Jalan HM Ardans. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, hanya sang istri Nurhidayah yang mengisahkan ihwal bagaimana sang suami mengidap tumor ganas yang berkembang menjadi kanker di lidah tulang punggung keluarganya tersebut.
Awalnya, pria yang sehari-hari menjadi buruh kebun ini mengira rasa sakit yang dialaminya di bagian lidah merupakan seriawan biasa. Karenanya, pria berkulit gelap ini lantas memeriksakannya ke RSUD Taman Husada Bontang. Di sana dia mendapat obat seriawan. Namun, karena tidak sembuh-sembuh, akhirnya di bulan Januari silam dia dirujuk ke RSUD AW Sjahranie Samarinda.
“Di sana baru ketahuan kalau suami saya menderita kanker lidah dan disarankan untuk kemoterapi,” kisah Nurhidayah.
Sejak saat itu mulailah hari-hari pria kelahiran Pinrang 41 tahun ini menjalani pengobatan kemoterapi setiap bulannya. Tercatat di sepanjang tahun, Lakateng menjalani enam kali kemoterapi. Meski biaya kemoterapi dibebankan lewat jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), namun ketiadaan biaya akomodasi selama menjalani kemoterapi di Samarinda membuatnya tak mampu melanjutkan pengobatan.
“Setiap bulan bapak mesti pergi bolak-balik Samarinda untuk kemoterapi. Setiap kali kami kesana mesti menyiapkan uang sekitar Rp 1 juta lebih untuk biaya hidup selama berobat di sana. Sekali kemoterapi bisa sampai satu pekan. Ini yang kami tidak sanggup,” kata sang istri dengan tatapan berkaca-kaca.
Jangankan untuk akomodasi berobat, untuk kehidupan sehari-hari saja penghasilannya tidak mencukupi. Ketiga anaknya saja semuanya putus sekolah. Anak sulung yang sudah menikah berhenti sekolah saat SMA dan kini mengambil paket C. Sementara anak kedua dan si bungsu putus sekolah di bangku SMP dan kini mengambil paket B.
“Selama pengobatan ke Samarinda kemarin itu pun dapat bantuan dari saudara-saudara. Kalau sekarang ini sudah tidak tahu dari mana lagi,” kata Nurhidayah yang termasuk keluarga miskin Bontang ini.
Karenanya kemoterapi rutin yang dilakukan Lakateng terpaksa berhenti sekitar bulan Juni lalu. Diakui, setelah melalui serangkaian kemoterapi kondisi Lakateng berangsur-angsur membaik. Walaupun rambutnya rontok karena efek kemoterapi, namun Lakateng masih bisa bicara walaupun membutuhkan usaha yang keras.
Kini setelah enam bulan tidak melewati kemoterapi, kondisinya semakin hari semakin memburuk. Lidahnya begitu berat dan menempel pada pangkal rongga mulut. Hal ini karena bagian bawah lidahnya membengkak, dengan bentuknya yang sudah tak beraturan dan muncul bercak-bercak putih. Saat wartawan Bontang Post ingin melihat bentuk lidahnya, Lakateng mesti berupaya keras mengangkat rongga mulutnya.
Selain tidak bisa berbicara, kanker lidah ini juga membuat Lakateng kesulitan mengunyah makanan. Bahkan bubur biasa tidak bisa ditelannya. Sehingga Nurhidayah mesti membuat bubur dari tepung sehalus mungkin agar bisa dicerna sang suami. “Makannya juga tidak mesti. Kalau Bapak minta saja,” tambahnya.
Lebih lanjut diceritakan Nurhidayah, gara-gara penyakit ini sang suami tidak lagi bisa bekerja. Karena kanker yang dideritanya kerapkali menimbulkan rasa sakit tak tertahankan di kepalanya. Hal ini membuat tubuh Lakateng lemas tak berdaya. Sehingga dalam beberapa bulan terakhir dia hanya bisa berbaring di tempat tidur, tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
Hal ini membuat Nurhidayah terpaksa bekerja untuk bisa menggantikan peran sang suami. Sehari-hari dia bekerja menjadi buruh kebun yang pekerjaannya mencabut atau memanen sayur-mayur di sana. “Selama dua hari bekerja saya dibayar Rp 30 ribu saja. Itupun tidak setiap hari,” ucapnya lemah.
Melihat sang istri membanting tulang membuat Lakateng tidak tega. Meski dalam kondisi sakit, dia tetap mengupayakan untuk bisa bekerja mencari uang. Saat merasa kondisi tubuhnya baik, dia bekerja menjadi kuli bangunan di tempat sanak saudaranya. Beruntung saudaranya tersebut mengerti kondisi kesehatan Lakateng sehingga tidak memintanya bekerja terlalu keras.
“Tapi itu beberapa bulan yang lalu. Itu juga bisa dihitung berapa kali dalam sebulan. Sekarang ini sudah tidak bekerja lagi. Bapak sekarang di rumah saja,” jelas Nurhidayah.
Sementara itu Yanti dari tim penjangkau Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) yang pada Selasa (20/12) mengunjungi Lakateng mengatakan, akan berusaha memfasilitasi untuk mendapatkan bantuan biaya akomodasi selama berobat di Samarinda. Namun, pihaknya tidak bisa menjanjikan karena kondisi keuangan daerah yang sedang minim.
“Tapi LK3 akan tetap mengupayakan dana bantuan untuk biaya hidup selama di Samarinda. Karena memang beliau (Lakateng, Red.) mesti melanjutkan kemoterapinya. Kami akan mengupayakan bantuan dana ini dari mitra-mitra kami,” tegas Yanti. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: