Beberapa seniman muda Indonesia mendapat kehormatan untuk tampil dalam Singapore Art Week 2019. Event yang digelar pada 19–27 Januari lalu itu menunjukkan bahwa karya seni dalam negeri tidak kalah dari negara lain.
EDI SUSILO
Karya seni berbentuk persegi panjang itu berwarna merah darah. Menyelimuti gumpalan-gumpalan tidak berbentuk. Ada serat-serat halus yang menempel di sela gumpalan itu.
Orang awam mungkin sulit memahami karya seni ciptaan Suvi Wahyudianto tersebut. Pemuda asal Bangkalan, Madura, yang karyanya dipamerkan di galeri seni UOB Art Space, Gillman Barracks, Singapura, Rabu (23/1), dalam rangkaian Singapore Art Week 2019.
Karya berjudul Angs’t itu memang bukan sembarangan. Di atas karya seniman berambut gondrong tersebut tercantum tulisan 2018 UOB Southeast Asian Painting of The Year. November lalu karya Suvi menang di tingkat Asia Tenggara. Mengalahkan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, dan tuan rumah Singapura.
Sebelum juara di tingkat Asia Tenggara, Suvi terpilih mewakili Indonesia. Dia berhasil menyisihkan sekitar 800 karya yang ikut dalam kompetisi tersebut. Berkat karyanya itu, Suvi mendapat hadiah Rp 250 juta dari Indonesia. Ada pula tambahan 10 ribu dolar Singapura setelah menang di tingkat Asia Tenggara.
Di balik kegemilangan Angs’t, karya tersebut sebenarnya menyimpan pilu. Dari peristiwa kelam yang menimpa saudaranya. Orang-orang Madura. Korban kerusuhan etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001 silam.
Suvi terinspirasi seorang kawannya yang berhasil menyelamatkan diri kembali ke Pulau Garam setelah kerusuhan. Tangan dan telinga kawannya itu robek akibat sabetan senjata tajam. Kondisi itu membuat hatinya miris. Sedih. Meski sudah belasan tahun berlalu, ingatan tersebut masih mengendap di pikirannya.
Awal 2018, dia menggerakkan tangannya untuk mengingat peristiwa pilu itu. Angs’t pun lahir setelah pemuda kelahiran 26 Februari 1992 tersebut berkutat dengan resin, plastik, cat, dan pewarna.
’’Saya percaya, peristiwa yang berkesan mendalam akan selalu diingat pikiran. Termasuk peristiwa Sampit itu,’’ terang Suvi kepada Jawa Pos.
Melalui karya tersebut, tampaknya, dia ingin mengingatkan bahwa peperangan dan kerusuhan adalah hal sia-sia. Hal itu tergambar dari gumpalan-gumpalan yang, menurut dia, merupakan daging manusia yang tercabik. Potongan daging yang masih terlihat segar dengan darah merahnya. Melumuri setiap potongan daging yang tercecer.
’’Darah dan daging adalah simbol,’’ katanya. Bahwa manusia yang satu dengan yang lain adalah sama. Permasalahan yang selama ini diributkan dalam kerusuhan dan peperangan hanyalah masalah kulit luar.
Orang bisa bermusuhan hanya karena masalah suku dan etnis. Sumber-sumber yang meributkan kulit luar membuat orang lupa bahwa fitrah mereka sebagai manusia sebenarnya sama. Tidak ada yang berbeda.
Di bawah kulit mereka ada darah dan daging yang sama-sama merah. Dari sempalan daging yang terserak itu, Suvi mengingatkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang menang dalam peperangan. Semua menyimpan luka. Baik yang merasa menang maupun kalah.
Apakah karya itu tidak membuka luka lama? Suvi menjawab dengan senyuman. Bagi dia, luka manusia justru harus dibersihkan. Tidak malah dilupakan perlahan tanpa penanganan. Luka harus diobati. Salah satunya dengan memberitahukan kepada publik bahwa kerusuhan dan peperangan tidak boleh terjadi lagi.
Alumnus Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengungkapkan, karyanya adalah pengingat. Bahwa hal-hal yang menyangkut warna kulit, ras, dan etnis tidak boleh membuat manusia menjadi rusak. Lalu berkonflik satu dengan yang lain.
Yang tak kalah menarik, di tenant A ada karya seniman muda Indonesia lainnya, Timoteus Anggawan Kusno. Pria kelahiran Jogjakarta tersebut membawakan 19 karya di stan The Columns Gallery. Itu adalah nama galeri seni di Seoul, Korea Selatan. Awalnya, saya sempat menyangka Angga –sapaan akrabnya– bukan orang Indonesia. Sebab, setiap galeri yang mejeng di stan itu menuliskan nama negara asal.
’’Saya memang bekerja sama dengan The Columns Gallery untuk karya ini,’’ terang Angga. Bahkan, karya yang digambar di media kertas dengan tinta arang itu dikerjakan Angga di Seoul selama tiga bulan.
Melalui karya berjudul Forgetful Happy Land itu, Angga ingin mengangkat kolonialisme di Indonesia. Dia menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia selama era kolonialisme. Mulai lukisan berkepala sapi, penunggang kuda tanpa kepala, hingga jalur kereta api yang dibangun melalui jembatan.
Di tengah-tengah karya dengan warna abu-abu pensil tersebut, ada patung setengah badan berwana emas. Patung itu berkepala tengkorak. Dengan kerah baju tebal bergelombang. Mirip bangsawan Eropa. ’’Itu patung J.P. Coen (Jan Pieterszoon Coen, Red),’’ terang pria kelahiran 26 Januari 1989 itu.
Angga memilih Coen sebagai sosok penanda kolonialisme di Indonesia. Coen dianggap memiliki sejarah kelam dengan rangkaian pembantaian keji. Salah satunya pembantaian di Banda pada 1621 yang menewaskan belasan ribu orang. Karya tersebut dibuat dengan proses matang. Sejak 2013, Angga mencari dan membaca arsip kolonial untuk memahami jalannya penjajahan.
Belasan karya Angga dijual dalam pameran tersebut. Sudah banyak yang menawar. Namun, karya pemuda asli Jogjakarta itu tidak dijual terpisah. Karya tersebut dijual satu set lengkap. Ditanya soal harga, Angga menyatakan dirinya tidak mengurusi itu. Perhitungan harga ditentukan The Columns Gallery.
’’Tanyakan ke pemiliknya saja,’’ katanya.
Karya lain yang tidak kalah unik adalah karya Julian Abraham Togar. Karya instalasinya berjudul Diabethanol. Karya setinggi 2 meteran itu sempat membuat kami, rombongan yang diundang Singapore Tourism Board (STB), berhenti sejenak untuk memotret.
Beberapa anggota rombongan terlihat mengeryitkan dahi saat membaca deskripsi karya tersebut. Setelah membaca, mereka nyengir sambil menganggut-anggut seperti memahami apa yang sedang diangkat sang seniman.
Karya Togar memang unik. Bentuknya mirip kotak pengisian bahan bakar yang biasa ada di SPBU. Lengkap dengan slang dan corong untuk menuangkan bahan bakar ke tangki kendaraan. Diabethanol merupakan karya artistik yang mencoba berpikir bagaimana jika air seni orang penderita diabetes digunakan sebagai sumber energi. Air seni yang selama ini dianggap limbah dibuat Togar menjadi bioetanol sebagai sumber energi terbarukan.
Meski belum diproduksi masal, Togar mengaku pernah mempraktikkan karya tersebut secara saintifik. Yakni, menjajal urine seorang kawan yang terkena diabetes. Togar melakukan percobaan dengan pola fermentasi 20 liter air kencing yang kemudian didestilasi hingga tiga kali. Proses itu menghasilkan 50 mililiter bioetanol. ’’Memang, hasilnya masih sangat sedikit,’’ jelasnya.
Di luar praktik pengubahan air kencing menjadi bahan bakar itu, karya yang digarap sejak 2015 tersebut sebenarnya menunjukkan hal yang ironis. Togar melihat, di satu sisi, orang yang terkena diabetes sebenarnya kelebihan energi. Karena tidak bisa diserap tubuh, energi tersebut kemudian menjadi gula.
Di sisi lain, saat ini manusia berusaha mengurangi penggunaan energi karbon. Energi yang diperas lewat fosil ribuan tahun lalu itu ternyata menghasilkan dampak buruk bagi kehidupan. Togar ingin membangun kesadaran. Bahwa tubuh manusia bisa dimodifikasi oleh kapital jika suatu saat tidak sadar. Mereka yang terkena diabetes nanti dijadikan komoditas karena air kencing mereka bisa dijual. (*/c5/oni/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post