bontangpost.id – Beroperasinya PLTU Teluk Kadere, Bontang Lestari pada Maret 2020 lalu mulai berdampak. Pasalnya perusahaan penghasil energi berkapasitas 2×100 megawatt ini membuat permukiman warga di Lok Tunggul dipenuhi debu batu bara. Tak hanya itu disinyalir limbah industri juga dibuang langsung ke laut.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menyatakan aktivitas di PLTU dapat membangkrutkan ekonomi rakyat. PLTU diklaim merupakan teknologi murah dan bersih. Namun faktanya dalam kurun dua tahun belakangan justru industri ini masuk kategori kotor dan maut.
“Akibatnya tersingkirnya warga di Teluk Kadere dari profesi rutin mereka yakni budidaya rumput laut,” kata Rupang.
Diketahui, fly ash dapat membuat kesehatan warga terganggu akibat industri ini. Tidak terbatas warga yang masuk klasifikasi dewasa. Namun dampak ini rentan juga bagi balita dan ibu hamil. Sebab PLTU beroperasi nonstop 24 jam.
“Fly ash itu tidak hanya menjangkau dua sampai tiga RT. Tapi bisa sampai tembus ke area Bontang Utara,” ucapnya.
Jika masuk saluran pernapasan maka sejumlah penyakit dapat diidap. Mulai dari Ispa, TBC, hingga kanker nasofaring. Kondisi ini terjadi di Palu, Sulawesi Tengah. Tercatat berdasarkan keterangan Jatam Kaltim, 14 warga meninggal akibat dampak dari industri yang membahayakan ini.
“Memang tidak terasa langsung ketika terpapar dan mengurangi ketahanan kehidupan warga. Tetapi akumulasinya setiap tahun. Bergantung dengan daya tahan tubuh tiap personal,” tutur dia.
Selain itu buttom ash jika masuk ke laut juga menimbulkan kerusakan biota di wilayah tersebut. Terutama menyasar ikan, kepiting, dan rumput laut. Selanjutnya hasil tangkapan nelayan yang dijual ke publik membuat risiko paparan kesehatan meluas.
“Solusinya bukan bertumpu pada teknologi ini. Itulah kami sesalkan mengapa pemerintah pusat dan Pemprov Kaltim masih meladeni terhadap industri kotor dan maut ini,” geramnya.
Jatam meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi dampak lingkungan akibat beroperasinya PLTU Teluk Kadere. Sementara pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah mendesak Pemkot harus segera memanggil pihak perusahaan. Sembari melakukan pemeriksaan terhadap ketaatan lingkungan hidup. Khususnya pembuangan limbah ke laut.
“Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pencemaran lingkungan itu serupa kejahatan yang mengancam ruang hidup masyarakat,” kata dosen yang akrab disapa Castro ini.
Menurutnya, jika itu benar terjadi bukan hanya sanksi administrasi pencabutan izin lingkungan perusahaan yang diberikan. Melainkan masuk ranah pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pada regulasi itu tertera setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, air, air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimal 10 tahun. Dengan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan maksimal Rp 10 miliar.
Diberitakan sebelumnya, Ketua RT 15 Lok Tunggul, Ahmad Zainal Abidin mengatakan kalau debu batu bara dari penampungan PLTU beterbangan hingga ke rumahnya. Padahal jarak antara kediamannya dan penampungan sekitar 350 meter. Satu waktu dia mengerjakan tugas sekolah di teras rumah. Dia tinggal sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal di kamar. Dalam tempo beberapa menit saja, tugas sekolah yang ditaruh di meja teras langsung berdebu. Kehitaman dan lengket.
“Saya kira itu debu rokok. Enggak lama saya duduk kerjakan tugas lagi, kok berdebu lagi. Oh, ternyata itu debu batu bara yang terbang,” beber pria yang juga berprofesi sebagai guru di SDN 014 Lok Tunggul ini.
Sementara, Humas PT Graha Power Kaltim Agus irit bicara. Dia mengatakan, seluruh operasional PLTU jelas selaras dengan aturan. Utamanya soal lingkungan. Sebabnya bila ada dampak lingkungan nyata dihasilkan dari keberadaan PLTU, sebutnya, Pemkot Bontang pasti langsung memberi teguran.
Lebih jauh, Agus tak dapat merinci soal kapasitas batu bara yang dibongkar muat dari pelabuhan, atau yang disimpan di penampungan. Pun tak tahu besaran batu bara yang dibakar saban harinya di PLTU. Yang jelas, kata dia, semua sesuai aturan. Misalnya soal pengelolaan fly ash and buttom ash (FABA). Itu tidak ditampung atau dibuang sembarang. Tapi dikirim ke perusahaan semen yang terletak di Sulawesi Selatan. “Kalau ada dampak, pasti langsung Pemkot Bontang yang tindak,” pungkasnya. (*/ak)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: