Siapa menyangka cangkang kepiting bisa diolah kembali menjadi penyedap rasa? Di tangan mahasiswa asal Bontang ini, hal tersebut bisa terwujud. Produknya pun kini laris keras di pasaran.
RATUSAN cangkang kepiting hanya dibiarkan menumpuk, layaknya sebuah gunung di sudut meja sebuah rumah pedaging di kawasan Manggar, Balikpapan. Setelah para pekerja berhasil mengeluarkan daging hewan bercapit ini, yang akan dikirim ke beberapa daerah di Indonesia dan ke luar negeri.
Zulfadli, warga RT 14 Gang Tower, Kelurahan Tanjung Laut Indah ini melihat peluang. Dari tertumpuknya rumah kepiting yang tak terpakai itu. Pun setelah mendengar keluh kesah para pengusaha pengolah produk makanan berbahan dasar kepiting, yang kesusahan mencari racikan bumbu yang pas. Bersama ketiga rekannya, Yosuda Tuwaidan, Fitriani Cangi, dan Ine Nisrina Nurfauz, jiwa kreativitasnya muncul. Cangkang kepiting tersebut, diteliti untuk diikutkan Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K) Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI.
“Para pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah) ini rasa kepitingnya pake daging. Nah karena daging kepiting ini mahal, jadi ada beban cost produksi. Selain itu kalau dagingnya ditambah banyak, tekstur makanan akan jadi keras,” ungkap Ketua Tim Braco, Zulfadli.
Fadli –sapaan akrabnya- merasa ada potensi bisnis yang harus dikembangkan untuk menunjang permintaan pasar ini, dan bahan baku yang tersedia itu. Ia bersama kawannya tersebut langsung membuat penyedap rasa dari ekstrak cangkang kepiting. “Namanya Braco,” katanya.
Setelah diperkenalkan, produk anak bangsa ini laris di pasaran, baik itu permintaan dari UKM maupun ibu rumah tangga. Bahkan katanya, peminatnya itu tidak hanya wilayah Kalimantan saja. UKM dari luar provinsi yakni Sumatra dan Jawa juga memesan jumlah yang banyak.
“Laris, karena mereka merasa ada rasa baru juga,” ucapnya.
Permintaan yang tinggi tersebut tampaknya tidak membuat para mahasiswa ini gembira. Melainkan merasa kesulitan untuk pemenuhan. Hal ini dipengaruhi dari proses produksi yang masih menggunakan alat manual, seperti wajan dan alat dapur lainnya. Sehingga hasil yang didapatkan sedikit, dalam sehari hanya mendapatkan 400 gram. Sedangkan permintaan satu UKM mencapai 2 kilogram (Kg).
“Berbeda jika menggunakan mesin ekstrak, kapasitas 25 liter bahan baku bisa menghasilkan dalam sehari 2-3 kg, tapi harganya mesin mahal, sampai Rp 25 juta,” ucapnya.
Selain itu, mereka juga belum memiliki legalitas, terkait sertifikasi komposisi produk tersebut. Karena dalam pembuatan itu membutuhkan biaya yang besar. Namun untuk izin produk industri rumah tangga (PIRT) dan izin UMKM telah dimiliki.
“Sertifikasi itu seperti kalau dilihat di bungkus susu itu, ada komposisinya protein berapa, dan sebagainya. Itu buatnya di Sucofindo Surabaya, satu label Rp 1,5 juta,” paparnya.
Oleh sebab itu, lantaran hanya merupakan mahasiswa, pihaknya membutuhkan suntikan modal yang besar untuk pemenuhan itu semua. Agar ke depannya dapat memenuhi permintaan konsumen yang besar dan dapat membayar gaji para karyawannya. (Zaenul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: