Pertanyaan:
Apakah pada rakaat terakhir shalat witir harus membaca tiga qul (An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas). Bagaimana hukumnya, mohon penjelasan? Hp. 081253581xxx
Jawaban:
Terkait dengan bacaan surah yang disunnahkan pada shalat witir, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskannya, antara lain: “Dari ‘Ubay bin Ka’ab beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir dengan membaca Sabbihismarabbikal a’laa (al-A’la), dan Qul yaa ayyuhal kafirun (al-Kafirun), dan Qul huwallahu ahad (al-Ikhlas)” (HR. Ahmad, An-Nasai dan yang lainnya)
Riwayat ini menyebutkan bahwa bacaan surah pada rakaat terakhir (rakaat ketiga) shalat witir adalah surah Al Ikhlas.
Dalam sebuah riwayat juga dinyatakan bahwa Aisyah ra ditanya tentang surah yang dibaca oleh Nabi saw dalam shalat witir, lalu dia menjawab, “Pada rakaat pertama beliau membaca sabbihisma rabbika al-A‘la, pada rakaat kedua membaca qul ya ayyuha al-kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad dan al-mu‘awwidzatain. Al-mu‘awwidzatain adalah qul a‘udzu bi rabbi al-falaq dan qul an-nas).” (HR Tirmidzi)
Riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa bacaan surah pada rakaat terakhir dari shalat witir adalah 3 surah yang biasa disebut 3 Qul, yaitu surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas.
Adapun membaca surah-surah yg lain selain 3 surah tersebut pada dasarnya dibolehkan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang menyebutkan bahwa Abu Musa Al-Asy’ary pernah menunaikan shalat witir satu rakaat dengan membaca 100 ayat dari surat An-nisa, kemudian beliau mengatakan: “aku membaca apa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Jadi bacaan surah yang disunnahkan dalam shalat witir adalah Surah Al-A’la pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakat kedua, dan Al-Ikhlas pada rakaat terakhir. Kemudian boleh menambahkan 2 surah setelah Al-Ikhlas yaitu Al-Falaq dan An-Nas. Wallahu a’lam
HUKUM ZAKAT PROFESI
Pertanyaan:
Kami melihat ada perbedaan pendapat tentang zakat profesi. Mohon penjelasan tentang hukumya secara syar’i, dan cara penyalurannya. Terima kasih Achmad- Samarinda
Jawaban :
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang zakat profesi ini sudah berlangsung cukup lama. Beberapa ulama kontemporer memandang perlu adanya kepastian hukum mengenai harta jenis ini, karena inilah jenis penghasilan yang paling banyak dijumpai saat ini. Jika tidak berarti kita telah melepaskan banyak orang dari kewajiban zakat yang telah dinyatakan dengan jelas kewajibannya dalam al Qur’an, seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakat)sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS. al-Baqarah[2]: 267).
Ulama yang memandang zakat profesi tidak disyariatkan beralasan bahwa zakat jenis ini tidak ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun yang ada hanyalah zakat mal (zakat harta). Mereka juga tidak setuju dengan cara penghitungannya yang menganalogikan (mengqiyaskan) zakat profesi dengan zakat pertanian.
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan bahwa zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci. Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/142&266; http://www.binbaz.org.sa/node/13648)
Sementara Ulama yang menerima kewajiban zakat profesi berhujjah dengan beberapa dalil antara lain firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah al Baqarah ayat 267. Mereka juga berpegang pada pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Muawiyah radhiallahu ‘anhum, yang tidak mensyaratkan haul pada zakat penghasilan. (Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, 1/143)
Dalam Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait, 29 Rajab 1404 H/30 April 1984 M, peserta menyepakati wajibnya zakat profesi jika mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara pelaksanaannya.
Perlu dipahami bahwa zakat profesi dan zakat harta hakikatnya sama, maksudnya zakat profesi merupakan bagian dari zakat harta. Karena pada dasarnya siapa saja yang memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya seperti nishab dan haul, maka terkena kewajiban zakat. Baik harta itu didapat dari hadiah, hasil suatu pekerjaan ataupun dari sumber-sumber lain yang halal.
Meskipun hukum zakat profesi diperselisihkan para ulama, namun kita bisa memilih salah satu dari dua pendapat tersebut. Intinya bahwa harta yang kita miliki hendaknya ditunaikan zakatnya jika telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan syara’. Bisa ditunaikan setiap berlalu satu tahun atau dikeluarkan secara bertahap setiap bulan melalui lembaga amil zakat yang amanah dan profesional. Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: