Assalam ‘alaikum wr.wb. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam kepada baginda nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan seluruh kaum muslim yang tetap istiqomah dijalan islam.
Sebagian kaum muslimin saat ini menjadikan maslahat sebagai dalil atau dasar dalam melakukan perbuatan. Padahal tidak ada seorang imampun yang berpendapat bahwa maslahat bisa digunakan sebagai dalil dalam menarik hukum syariah atas suatu masalah. Karena itu sebenarnya penggunaan mashalat sebagai dasar pengambilan hukum dalam islam hanyalah dalih (hilah), bukan dalil. Penggunaan dalih (hilah) untuk menarik hukum itu sendiri batil, yang telah dibahas oleh banyak ulama. Sebut saja, Al-Qadhi Abu Ya’la, dalam kitabnya, Ibthal al-Hiyal.
Pertimbangan maslahat juga sering berpatokan pada hasil, sebagaimana dalam kasus Pemilu dalam bingkai demokrasi. Misalnya, “Jika umat Islam tidak mengikuti Pemilu, maka negeri Muslim terbesar ini akan dikuasai orang non-Muslim. Jika negeri ini dikuasai orang non-Muslim, maka sama dengan menjerumuskan negeri ini dalam kekuasaan mereka. Ini jelas haram.”
Menarik kesimpulan hukum dengan cara seperti ini jelas salah. Kesalahan logika di atas, bisa dirunut sebagai berikut:
Pertama, kesimpulan hukum ini dibangun berdasarkan logika mantik. Apakah benar, kaum kafir itu bisa menguasai kaum Muslim dan negerinya karena umat Islam tidak ikut Pemilu? Di sinilah kesalahan logika itu tampak jelas: Karena faktanya justru melalui Pemilu, banyak negeri kaum Muslim dikuasai oleh kaum kafir, sebagaimana Irak pasca pendudukan AS dan sekutunya. Justru, Pemilu dijadikan sebagai alat untuk menjustifikasi cengkraman AS. Pemilu juga dijadikan alat untuk mengakui kekuasaan yang sebenarnya tidak sah, sebagaimana AS dan Inggris menggunakan keterlibatan HAMAS di Palestina untuk melegalkan “negara Palestina”.
Berikutnya, faktanya, ketika umat Islam menang dalam Pemilu, mereka juga tidak bisa berkuasa, seperti FIS di Aljazair, Mursi di Mesir, Hamas di Palestina, dan banyak yang lain. Ini bukti, bahwa logika di atas adalah salah. Kesalahannya, sangat mudah, dibuktikan cukup melalui fakta.
Kedua, kesalahan lain juga bisa dibuktikan melalui fakta, bahwa memang setelah Pemilu, sejumlah partai Islam atau partai yang berbasis umat Islam itu, jika dikumpulkan, misalkan meraih suara 31 persen, dan merupakan perolehan terbesar. Namun, mereka ternyata tidak berpikir untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, justru mereka berpikir untuk berkoalisi dengan partai sekular. Ini juga fakta, bahwa ternyata mengikuti Pemilu dengan memilih partai Islam atau partai berbasis Islam, justru melanggengkan sekularisme.
Ketiga, orang yang mereka pilih akan melakukan tugas dan fungsi yang haram, seperti membuat UU dan peraturan yang tidak bersumber dari hukum Islam. Mereka juga akan mengangkat dan melantik presiden yang tidak menerapkan sistem Islam. Padahal, memberikan suara, sebagai bentuk perwakilan (wakalah), kepada orang yang akan melakukan tugas dan fungsi seperti ini jelas haram.
Karena merupakan bentuk wakalah fi al-haram, jadi hukumnya juga haram. Lalu dari mana tindakan ini dinyatakan mubah dalam pemilu? Semua ini adalah bukti yang nyata, bagi siapa saja yang masih mempunyai akal sehat dan kewarasan nalar, bahwa argumentasi maslahat agar umat Islam mengikuti Pemilu dalam bingkai demokrasi yang sejatinya haram itu jelas-jelas bentuk iftira’ ‘ala-Llah kadziba (berani berbohong dengan mengatasnamakan Allah).
Faktanya yang notabene partai islam atau berbasis masa islam ketika berkuasa mereka tidak menerapkan islam dalam pemerintahannya, akan tetapi menerapkan sistem kufur demokrasi. Justru sesungguhnya penerapan sistem pemerintahan demokrasi oleh penguasa kaum muslim yang memberikan peluang bagi orang kafir mempunyai kesempatan untuk menguasai negeri-negeri islam dan umat islam. Sehingga perjuangan dengan mengikuti aturan main yang disajikan oleh sistem demokrasi adalah kebodohan dalam perjuangan. Saatnya kaum muslim kembali ke jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam meraih kekuasaan, yaitu dakwah ekstra parlemen.
Allah telah memerintahkan kepada kaum muslimin hanya dengan menggunakan syariah saja sebagai dasar dalam beramal. Jika syariah membolehkan maka boleh dilakukan dan jika syariah melarang maka dilarang untuk melakukan. Dapat dipastikan setiap penerapan syariah pasti mengandung maslahat. Karena Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat. Allah SWT juga berfirman:
Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82).
Kedua ayat di atas menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya.Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat(kerusakan). Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.
Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat(kerusakan) bagi manusia.
Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat. Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan.
Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm halaman 13 menyatakan, “Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal.”
Beliau berkata, “Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat.” Beliau juga,“Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah.”
Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata, ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian: Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad). (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: