Oleh Lukman M, Redaktur Bontang Post
KOMPETISI Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dipastikan bakal terulang di 2019 mendatang. Sang petahana, Joko Widodo akan berhadapan kembali dengan Prabowo Subianto. Serangkaian strategi pun diracik di masing-masing pihak. Jokowi berupaya untuk memuluskan langkahnya dua periode, sementara Prabowo, mungkin untuk kali terakhir, kembali menjajal peruntungannya menjadi pemimpin Indonesia.
Pemilihan calon wakil presiden (Cawapres) alias bakal RI-2 juga menjadi bagian dari strategi di masing-masing kubu. Karena tak bisa dimungkiri, pemilihan cawapres turut berdampak pada pundi-pundi suara yang bisa didapatkan. Sehingga, kedua tokoh ini pun sempat disibukkan dengan kebimbangan dan berbagai drama serta polemik demi memutuskan siapa yang akan mendampingi mereka.
Pada akhirnya di hari terakhir pendaftaran Pilpres 2019, Jumat (10/8) kemarin, teka-teki siapa sosok pendamping dalam “pertempuran” kepemimpinan Indonesia itu terjawab. Sang petahana yang lebih dulu melakukan deklarasi memutuskan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Sementara sang oposan mendaulat Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Sandiaga Uno sebagai bakal RI-2.
Sebagai pengalaman dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, pemilihan kedua nama ini bukan tanpa kontroversi. Di sisi petahana, pemilihan Ma’ruf Amin cukup mengejutkan berbagai pihak. Sang kiai tidak berafiliasi dengan partai politik (parpol) pendukung Jokowi. Melainkan sosok ulama baik di MUI maupun di organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Ma’ruf Amin secara mengejutkan mampu menyingkirkan nama-nama besar, baik dari parpol maupun luar parpol yang sebelumnya disebut-sebut bakal kuat pendamping Jokowi. Mulai dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi, hingga mantan Panglima TNI Moeldoko.
Inisial M yang sebelumnya dilemparkan Jokowi ke publik, rupanya lebih mengarah ke sosok Ma’ruf Amin. Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, Ma’ruf merupakan sosok yang utuh, ulama yang bijaksana dan dihormati seluruh umat Islam di tanah air. Apalagi dengan jabatannya sebagai Rais Am PBNU dan Ketua MUI. Menurut sang presiden, Ma’ruf memiliki pengalaman panjang di legislasi mulai dari DPRD, DPR, hingga MPR. Pun begitu, Ma’ruf juga disebut berpengalaman di lembaga eksekutif.
Pro dan kontra mengiringi majunya sang kiai ke ranah politik. Pasalnya, sebelum dideklarasikan sebagai cawapres, Ma’ruf sempat bersinggungan dengan beberapa peristiwa politik di tanah air. Sebagai Ketua MUI, Ma’ruf punya andil dalam sikap ulama yang menyatakan mantan Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menistakan agama terkait videonya melecehkan Al-Maidah.
Sehingga dikabarkan, pemilihan Ma’ruf Amin sebagai cawapres ini membelah suara para pendukung Ahok yang dikenal juga merupakan pendukung Jokowi. Karena pasti akan berat bagi para pendukung Ahok yang akrab dengan istilah Ahokers ini untuk memilih Ma’ruf yang notabene merupakan sosok di balik masuknya sang junjungan ke dalam penjara. Seruan untuk menjadi golongan putih (golput) alias tidak memilih dalam Pilpres 2019 pun muncul, yang tentunya akan membahayakan iklim demokrasi di Indonesia.
Selain itu, pemilihan ulama sebagai cawapres seakan menjadi antitesis dari citra Rezim Jokowi yang sebelumnya getol menyuarakan pemisahan antara politik dan agama. Para pendukung Jokowi sebelumnya dikenal ramai mengomentari keterlibatan ulama dalam beberapa peristiwa politik belakangan ini. Malahan sebagian lagi ada yang secara terang-terangnya “menyerang” Ma’ruf Amin dengan sentimen-sentimen keagamaan.
Di sisi lain, pemilihan Ma’ruf Amin bisa dianggap sebagai strategi Jokowi untuk menaikkan citra dirinya di masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Sentimen-sentimen yang memojokkan Rezim Jokowi sebagai rezim anti terhadap ulama, bahkan disebut kriminalisasi ulama, tampaknya disadari oleh mantan Wali Kota Solo ini berpengaruh pada elektabilitasnya.
Sehingga sebagian pihak beranggapan dipilihnya ulama adalah demi menunjukkan kepada publik khususnya umat Islam, bahwa Jokowi merupakan sosok yang agamais dan menggandeng ulama. Tidak seperti anggapan-anggapan yang beredar sebelumnya. Dengan mementahkan persepsi tersebut, mencitrakan Jokowi sebagai sosol religius, diharapkan bisa menjaring suara-suara umat Islam yang merupakan suara terbesar di Indonesia.
Sebagai seorang ulama, ketokohan Ma’ruf Amin memang tak terbantahkan. Namun usia yang telah senja, 75 tahun, membuat sebagian pengamat beranggapan Ma’ruf tak lebih dari sekadar pion demi memuluskan Jokowi dua periode. Sehingga diperkirakan nantinya bila terpilih, Ma’ruf takkan berpengaruh apa-apa pada kebijakan nasional. Malahan ada yang meyakini Ma’ruf berpeluang diganti dalam perjalanannya menjadi RI-2 kelak.
Pendapat lainnya menyebut, dipilihnya Ma’ruf Amin tak lebih sebagai strategi menghadapi Prabowo Subianto yang sebelumnya digadang-gadang bakal memilih satu di antara ulama hasil ijtimak ulama beberapa waktu lalu. Karena bila Prabowo jadi menggandeng ulama, dikhawatirkan bisa menyedot suara umat dengan begitu derasnya.
Kenyataannya, di detik-detik terakhir Prabowo sama sekali tidak memilih hasil ijtimak ulama. Melainkan memilih kader partainya sendiri, Sandiaga Uno yang sebelumnya teruji memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta mendampingi Anies Baswedan. Salah satu pertimbangan yang diambil, menurut Prabowo, karena dirinya tak mau membuat suara umat terbelah bila dia turut menggandeng ulama sebagi wakilnya.
Tapi pemilihan Sandiaga Uno ini juga tak luput dari kontroversi. Isu yang santer terdengar adalah Prabowo mulai kehabisan logistiknya untuk bertarung di pilpres. Sehingga dia terpaksa menerima Sandiaga Uno yang dianggap bisa menjawab masalah logistiknya tersebut. Keputusan ini terbilang berat, mengingat Prabowo sebelumnya dilanda dilema dengan parpol-parpol yang berada dalam koalisinya.
Baik PKS, PAN, dan Partai Demokrat, ketiganya sangat mengharapkan bisa “menyumbang” nama cawapres. Kenyataannya, Prabowo mengambil kader Partai Gerindra. Di satu sisi langkah ini bisa jadi penengah, di sisi lain parpol-parpol anggota koalisi dibuat gamang meneruskan dukungan. Dan ini telah terbukti dengan istilah “Jenderal Kardus” yang dilontarkan elite Partai Demokrat terkait tudingan mahar politik untuk memuluskan langkah Sandiaga Uno menjadi cawapres. Walaupun pada akhirnya semua parpol, termasuk Partai Demokrat tetap melanjutkan dukungan di koalisi.
Layaknya Ma’ruf Amin di kubu Jokowi, pemilihan Sandiaga Uno ini turut diwarnai isu-isu yang bersinggungan dengan agama. Sebagian pihak menganggap Prabowo Subianto tidak menghormati ulama karena tidak menuruti ijtimak ulama. Alih-alih mengambil sosok ulama, Prabowo justru memilih sosok pengusaha sebagi wakilnya.
Faktanya, hasil ijtimak merupakan rekomendasi dan tidak bersifat mengikat. Apalagi dua nama yang disebut dalam hasil ijtimak, Salim Segaf Aljufri dan Ustaz Abdul Somad, disebut-sebut kurang berminat untuk maju sebagi cawapres. Prabowo sejatinya juga tidak benar-benar mengingkari hasil ijtimak, karena dia menyatakan diri maju sebagai capres, sebagaimana rekomendasi ijtimak ulama yang memintanya maju sebagai bakal RI-1.
Terlepas dari pro dan kontra, polemik, serta segala kontroversi yang menyelimutinya, para “petarung” dalam Pilpres 2019 sudah ditentukan. Masing-masing diklaim sebagai yang terbaik di antara yang terbaik. Tentu saja walaupun memiliki kelebihan, masing-masing nama tersebut juga memiliki kekurangannya.
Akan tetapi yang pasti, kedua pasangan ini punya niat untuk menjadi pemimpin Indonesia. Artinya, secara positif punya niat untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik. Maka sebagai rakyat Indonesia, yang perlu kita lakukan adalah mendukung salah satunya untuk menjadi pemimpin Indonesia. Yaitu dengan cara memberikan suara saat pemungutan suara Pilpres 2019 digelar.
Tentu merupakan hak politik masing-masing warga negara Indonesia untuk menentukan siapa yang akan dipilih. Tak ada yang boleh mengintervensi. Silakan dipilih yang dianggap sesuai, dengan mempertimbangkan latar belakang masing-masing calon. Baik #Jokowi2Periode maupun #2019GantiPresiden, keduanya adalah hak politik yang boleh disuarakan siapa saja. Tentunya dengan sikap sportif menerima siapapun yang kelak dipercaya rakyat Indonesia.
Yang tak benar adalah, menjadi golput dan acuh tak acuh terhadap proses demokrasi yang menjadi embrio kepemimpinan di negeri ini. Jangan terpengaruh dengan ajakan golput dari pendukung Ahok yang belum juga bisa move on, maupun dari pendukung khilafah yang mengharamkan demokrasi. Memang golput juga merupakan hak, namun sebagai warga negara yang baik, sudah seharusnya kita menyukseskan pemilu dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Ketiadaan calon pemimpin yang dianggap layak, jangan dijadikan alasan untuk golput. Melainkan harus tetap memilih dengan mencari yang paling sedikit mudaratnya, dan yang terbaik di antara yang baik. Karena nasib kita, bangsa Indonesia, ikut ditentukan dalam proses pemilihan ini. Insyaallah baik Jokowi-Ma’ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga Uno, keduanya pilihan terbaik untuk bangsa ini. Aamiin. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post