Oleh: Dahlan Iskan
Saya tertarik ini: foto-foto pramugari Garuda. Dari masa ke masa. Yang dipajang di lounge eksekutifnya. Di terminal 3 Soetta. Terminal internasionalnya.
Di situ dipajang lengkap. Mulai kostum tahun 1949. Saat pesawatnya masih Dakota. Sampai sekarang. Era Boeing 777. Yang jet itu. Atau era ATR 70. Yang propeler itu.
Ide memasang foto-foto itu tentu datang dari orang yang kreatif. Bisa menghibur kekecewaan penumpang kelas bisnis. Yang diperlakukan seperti ini. Yang membuat saya sering mengalah. Pilih duduk di ruang tunggu ekonomi.
Bayangkan: setelah proses paspor itu kita harus belok kanan. Tidak ada pilihan lain. Lalu turun eskalator. Tidak ada pilihan lain.
Sampai di situ tidak segera ada petunjuk. Di mana lounge kelas bisnis. Tanda itu baru dipasang di sanaaaaa. Setelah orang keburu bertanya.
Lokasi lounge itu ternyata di arah sebaliknya. Tidak make sense. Jauh. Sangat tidak terasa wellcome. Ibarat masuk pekarangan rumah tapi lewat pintu belakang. Desainnya seperti tidak mengenal ‘gerbang depan’.
Untung ada foto-foto pramugari itu. Mata saya terpaku di situ. Di pramugari tahun 1947. Lihatlah kostumnya. Modenya. Jenis kainnya. Tentu juga orangnya. Begitu vintage. Terutama karena pecinya. Yang masih berbau perjuangan.
Jangan bayangkan umurnya. Usia berapa dia sekarang. Wajahnya seperti apa. Atau dikubur di mana.
Bayangkan di tahun itu. Ketika baru empat tahun merdeka. Ketika jutaan orang Islam di India melarikan diri. Terbirit-birit. Ke arah barat. Ketika jutaan orang Hindu di Pakistan lari. Terbirit-birit. Ke arah timur. Ketika Pakistan memisahkan diri dari India. Dengan mendadaknya. Jutaan orang mati sia-sia. Dosa Inggris yang tidak terpermana.
Bayangkan zaman itu. Pramugari Garuda sudah semodis itu. Lihat cutting atasannya: begitu sempurna. Saya hanya tidak suka satu: krah lehernya. Begitu kunonya.
Zaman itu memang zaman kuno. Ketika dunia barat baru mengakui kemerdekaan Indonesia. Di mata mereka tidak ada: proklamasi 17 Agustus 1945.
Saya tidak bisa menduga: jenis apa kain atasan itu. Begitu tipisnya. Begitu beningnya. Begitu terasa mahalnya.
Tentu saya tidak menampilkan yang pria. Tidak banyak perubahannya. Begitu-begitu saja. Begitulah pakaian pria. Tidak ada yang perlu bicara. Laki-laki itu tidak menarik. Luarnya. Laki-laki itu hanya menarik. Dalamnya.
Sepuluh tahun kemudian. Sebuah kekecewaan. Lihat pramugari tahun 1959 itu.
Begitu kedodorannya! Saya hanya bisa memberi nilai 4. Tapi kok ya bertahan lama. Sampai tahun 1970. Ketika mode rok panjang diganti pendek. Atasannya semi kaus. Mengingatkan saya pada mode pramugari Amerika. Di era perang Vietnam itu. Saya anggap nilainya 6. Tidak jelek. Tapi terasa revolusioner. Untuk zaman itu.
Rupanya tiap dasawarsa ganti mode. Lihatlah pramugari tahun 1980-an. Era dandanan Bu Tien. Diciptakan dua model: rok dan kebaya. Cukup mengesankan. Saya nilai 7.
Era Bu Tien hanya bertahan lima warsa. Tahun 1985 muncul model baru. Tanpa kebaya. Tapi saya tidak suka edisi ini. Roknya sedikit kepanjangan. Bisa dipotong sedikit. Tetap di bawah lutut. Tapi lihatlah bagian pinggangnya. Terlalu turun. Dan ruwet. Tidak manis sama sekali. Saya menilainya 4,5.
Era 1990 sudah beda sama sekali. Modern yang mengakomodasikan tradisional. Saya suka. Bawahannya ada bau jarit tapi tidak sampai nyrimpeti. Saya menilainya 7,5
Era 1999 tidak banyak perubahan prinsip. Saya juga suka. Rok sedikit di atas lutut. Tapi tidak sampai terkesan mengundang. Nilai saya tetap 7,5.
Lantas masuklah era tahun 2000. Era melinium. Tapi terasa sekali. Mengekor Singapore Airlines. Saya menilainya turun dikit: 7.
Terakhir saya tidak mau berkomentar. Juga tidak mau menilai. Itu sudah era 2010. Saya sudah tidak netral lagi. Andalah yang berkomentar. Andalah yang menilai. Andalah jurinya. (dahlan iskan)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: