Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih terus mengalami defisit anggaran sampai dengan pertengahan tahun ini. Untuk 2018 saja, BPJS masih menanggung defisit sebesar Rp 9,1 triliun.
Belum lagi defisit yang diperkirakan masih bertambah dari awal tahun ini. Alhasil untuk menutupi defisit itu, pemerintah merencanakan akan menaikkan iuran jaminan sosial hingga 100 persen.
Rencana itu diungkapkan oleh pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) saat rapat kerja bersama Komisi IX dan XI di Kompleks Parlemen, Selasa (27/8/2019). Setelah sebelumnya menyuntik BPJS Kesehatan puluhan triliun, kali ini pemerintah mengambil opsi lain.
Usulan dari DJSN, kenaikan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) harus naik dari Rp 23 ribu per jiwa menjadi Rp 42 ribu. Sedangkan untuk kategori Peserta Penerima Upah (PPU) Badan Usaha dinaikkan menjadi sebesar 5 persen dengan batas upah sebesar Rp 12 juta, dari yang sebelumnya Rp 8 juta.
Selanjutnya untuk iuran Peserta Penerima Upah (PPU) Pemerintah, akan berlaku tarif iuran sebesar 5 persen dari Take Home Pay dari yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok + tunjangan keluarga. Namun, untuk iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau masyarakat biasa akan mengalami kenaikan hampir 100 persen.
Untuk peserta jaminan sosial kelas 1, iurannya akan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa perbulan. Kemudian untuk kelas II, akan naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 75 ribu per jiwa perbulan, dan Kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per jiwa perbulan.
“Harus diiingat, jika usulan dimulai berlakukan tahun 2020, maka dapat dicapai sustainable dana JKN sampai akhir 2021,” kata Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni.
Tubagus membeberkan alasan mengapa kenaikan iuran jaminan sosial kesehatan harus dilakukan oleh pemerintah. “Karena ada akumulasi defisit, masih ada defisit yang masih terjadi karena akibat dari akumulasi defisit yang terjadi sebelumnya,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki usulan kenaikan iuran yang lebih besar lagi dibandingkan usulan dari DJSN. Ia menyatakan, kenaikan besaran iuran jaminan sosial yang diusulkan oleh DJSN hanya mampu menambal defisit anggaran BPJS Kesehatan untuk sementara waktu.
Karenanya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meminta iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) untuk kelas I dan II harus mengalami kenaikan sampai dengan 100 persen di setiap kelasnya. Yakni, kelas II menjadi Rp 110 ribu per jiwa perbulan dan kelas I menjadi Rp 160 ribu per jiwa perbulan. Namun, untuk kelas III, usulannya sama dengan usulan DJSN yakni sebesar Rp 42 ribu per jiwa perbulan.
“Untuk 2020, kami usulkan kelas II dan kelas I jumlah yang diusulkan oleh DJSN perlu dinaikkan,” kata Sri Mulyani. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: