bontangpost.id – Di tengah persoalan penimbunan BBM jenis pertalite, Asosiasi Pengecer Bahan Bakar Minyak Bontang (AP-BBMB) buka suara.
Ketua AP-BBMB Titik menyebut, pengetap (SU) yang diringkus Juni lalu bukanlah bagian dari asosiasi.
Sementara soal kegiatan pengeceran, sebenarnya ia menyadari bahwa hal itu melanggar aturan yang berlaku. Utamanya untuk BBM bersubsidi. Berbeda halnya dengan pertamax yang merupakan bahan bakar nonsubsidi.
Dilansir dari Surat Edaran Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 14.E/HK.03/DJM/2021, diatur mengenai Ketentuan Penyaluran Bahan Bakar melalui Penyalur.
Disebutkan bahwa penyalur retail (SPBU/SPBN/SPBB (Bunker) atau bentuk lainnya) hanya dapat menyalurkan BBM kepada pengguna akhir dan dilarang menyalurkan BBM kepada pengecer (yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan).
Sebelumnya, Titik pernah meminta keringanan kepada pemkot. Hal itu juga sudah pernah disuarakan ke DPRD Bontang.
“Mereka (Pemkot dan DPRD) juga enggak bisa mengiyakan. Karena ada SK dari gubernur. Akhirnya ya, kami lanjutkan ke gubernur,” katanya.
Dalam pertemuan tersebut, sebenarnya pemerintah juga tidak berani memberikan keputusan. Sebab jelas melanggar kebijakan dari Pertamina.
Setelah berdiskusi serta mempertimbangkan satu dan lain hal, AP-BBMB dibolehkan mengecer dengan persyaratan tertentu. Di antaranya tidak boleh melebihi 90 liter dalam sekali pengambilan BBM di SPBU.
“30 liter yang dipajang untuk dijual. 60 liternya lagi disimpan. Kalau habis, baru boleh ngantri lagi,” ungkapnya.
Diketahui sejak 2013 lalu, AP-BBMB telah mendapatkan akta notaris. Sehingga asosiasi tersebut dapat dikatakan legal di mata hukum. Dari 800 anggota yang terdaftar, yang masih aktif sekira 300 anggota.
“Kalau ada yang melanggar ketentuan, jelas langsung dikeluarkan dari asosiasi. Jadi kalau ada apa-apa nantinya, kami ya enggak bisa bantu,” jelas Titik.
Berdasarkan dialog yang pernah dilakukan dengan Polres Bontang, mereka diimbau agar tidak melanggar Pasal 55 UU RI Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Di mana setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi pemerintah dipidana penjara paling lama enam tahun. Serta denda paling tinggi Rp 60 miliar.
“Kami diarahkan oleh polisi seperti itu,” imbuhnya.
Jika dilihat dari kondisi saat ini, pemberlakuan aplikasi dari PT Pertamina jelas menyulitkan. Dari satu SPBU, kapasitas pengisian maksimal untuk motor sekira 10 liter. Sedangkan mobil maksimal 40 liter.
“Kalaupun kapasitas kendaraan lebih, yang diberikan tetap sesuai ketentuan tersebut,” ucapnya.
Di samping itu, untuk membedakan antara masyarakat umum dengan anggota asosiasi, sempat diusulkan untuk menggunakan kartu tanda anggota (KTA). Namun hingga kini masih belum terealisasi.
Lebih lanjut, menanggapi persepsi yang beredar di masyarakat soal pengecer yang menghabiskan jatah BBM, menurut Titik justru kurang tepat. Karena tidak sebanding dengan ketersediaan BBM dan jumlah kendaraan di Bontang.
“Misal SPBU mendapat jatah sekian ton. Dikalikan dengan beberapa SPBU yang ada di Bontang. Kalau dikurangi, kami hanya dapat sepucuk dari total yang tersedia,” tuturnya.
Kendati demikian, hal itu dilakukan juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sehingga di satu sisi pun bisa saling menguntungkan.
“Seperti ini kan juga membantu rakyat kecil. Alhamdulillah karena sudah dibantu,” pungkasnya.
Sementara itu Kapolres Bontang AKBP Yusep Dwi Prasetiya melalui Kasi Humas Iptu Mandiyono menyebut aparat tetap akan melakukan penindakan terhadap mereka yang melanggar.
“Kita menindak ada aturannya. Ada dasae hukumnya. Apalagi sudah jelas BBM subsidi tidak bisa diperjualbelikan bebas,” tegasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post