Oleh: Dahlan Iskan
Pokoknya beres. Setelah tahu rumah itu adalah masjid, saya merasa bebas: bisa datang kapan saja. Tidak dikunci: pagarnya maupun pintu masjidnya.
Saya juga sudah hafal bahwa yang seperti pintu itu adalah satu-satunya pintu. Saya juga sudah hafal. Jadwal maghribnya pukul 9 malam. Dan Isyanya pukul 11 malam. Saya sudah hafal tidak ada subuh, zuhur dan ashar di situ.
Saya juga tahu ada dua aliran di kalangan Islam di Amerika. Khususnya tentang kapan mulai puasanya. Ada yang Rabu. Ada yang Kamis. Saya ikut yang Kamis. Berarti tarawih pertama Rabu malam.
Saya orang pertama yang tiba di tarawih pertama itu: menyalakan lampu dan merapikan yang berantakan. Lalu datanglah anak muda vacuum cleaner itu. Saya sudah hafal namanya: Faris. Lagi menyelesaikan S2 geologi. Di Fort Hays State University. Asal Riyadh.
Saya langsung sergap Faris dengan pertanyaan: Anda tadi sudah mulai puasa? ”Belum”, jawabnya. ”Kan baru mulai besok…,” tambahnya.
Lalu Faris buka HP. Mencari foto. Menunjukkannya ke saya. Katanya: ini baru saya foto. Hilalnya baru kelihatan sedikit sore ini. Masih sangat rendah. Berarti kita betul. Baru puasa besok.
Katanya lagi: kemarin sore tidak ada yang bisa melihat hilal. Belum tampak. Atau mendung. Saya bilang padanya: saya juga belum puasa tadi. Tapi saya tidak tahu kenapa. Mungkin masih terpengaruh waktu Indonesia.
Waktu isya pun tiba. Saya azan. Sudah ada enam orang. Pak Tua yang khotbah Jumat lalu itu tidak tampak. Sudah pulang ke Saudi. Bersama putrinya yang kuliah biologi.
Faris maju jadi imam. Kami berlima berjajar di belakangnya. Setelah imam tabiratul ikram tangannya masih sibuk banget. Ada saja yang dia benahi: rambutnya, posisi belakang kausnya, menaikkan celananya, mengusap wajahnya….
Demikian juga saat imam membaca Al Fatihah. Begitu juga saat rukuk maupun sujud. Ada saja kehebohan tangannya. Saya di belakangnya persis. Melihatnya. Faris juga pernah jadi imam saya sebelumnya. Atas permintaan saya. Imam salat maghrib. Yang hadir hanya kami berdua.
Saya sudah hafal gaya salatnya yang sibuk itu. Saya pun azan. Lalu langsung qomat. Saya minta ia maju jadi imam. Ia tidak mau maju. Saya pikir ia tidak mau.
Maka saya yang mundur dua langkah. Melihat saya mundur Faris justru pegang pundak saya: minta saya maju. Saya tidak mau. Bacaan Faris kan lebih fasih: lidah Arab.
Faris ngotot minta saya maju. Ternyata, maksudnya, agar posisi saya sejajar dengan ia. Bukan minta saya jadi imam. Tiwas saya sedikit ge-er.
Begitulah. Itulah pertama kali dalam sejarah saya: salat berjamaah dengan posisi sejajar dengan imam. Waktu saya ngotot tidak mau maju tadi ia bilang: kita kan hanya berdua. Posisi harus sejajar.
Saya masih berusaha mundur satu tapak. Saya risi sendiri: makmum kan harus di belakang. Faris ngotot mendorong tubuh saya. Sampai posisi kaki saya benar-benar sejajar dengan kakinya. Ya sudah. Faris kan lebih Arab.
Selesai magrib mulailah satu-dua jemaah berdatangan. Semua Arab. Saling bersalaman. Cipika-cipiki-cipika lagi. Saling ngobrol dalam bahasa ibu. Sampai waktunya isya. Faris yang jadi imam isya. Dengan tangannya yang terus heboh itu.
Saat tarawih dimulai yang ikut baru empat orang. Deretan sebelah saya masih kosong. Sebelum mulai tarawih Faris tampak sibuk. Di tempat imamannya itu. Salatnya tidak kunjung dimulai. Faris membuka-buka Quran yang ada di rak di dekatnya. Agak lama. Baru kemudian ambil posisi imam. Dan melakukan takbiratul iqram. Dan sibuk.
Yang saya heran: kok sambil takbir itu terlihat tangannya menggenggam HP. Ikut terangkat tinggi. Juga ikut sedekap.
Saya baru tahu maksud HP itu setelah Faris seselai membaca Al Fatihah. Begitu kami menyahut Al Fatihah itu dengan kata “Amiiiin” jelaslah: sang imam sibuk dengan HP-nya. Ia membuka HP, mencari-cari sesuatu di layarnya.
Ketemu: bacaan surah Al Baqarah. Mulai ayat pertama. Yang kita umumnya hafal itu. Tanpa HP. Sang imam ternyata membaca surah itu di layar HP-nya. Sekitar 15 ayat. Lalu rukuk. HP-nya ikut rukuk. Sujud. HP-nya ikut. Begitu terus sampai salam di rakaat kedua. Begitu juga rakaat ketiga dan keempat.
Di sebelah saya mulai ada orang. Imam melihat kedatangan orang di sebelah saya itu. Setelah empat rakaat sang imam bicara-bicara. Dengan yang di sebelah saya itu. Yang baru datang itu.
Oh…rupanya Faris minta ia jadi imam. Yang di sebelah saya itu. Orang di sebelah saya itu pun maju. Lalu mencari Quran yang ada di rak. Membuka-bukanya. Lalu seperti diskusi lagi dengan Faris. Agak lama.
Rupanya mantan imam dan calon imam itu saling mencocokkan: sampai di mana tadi baca HP-nya, eh… baca surah al-Baqarah-nya. Setelah cocok, imam baru itu memulai dengan rakaat kelima. Tidak pakai HP.
Begitu selesai baca Al Fatihah imam baru itu melangkah ke rak. Ambil Quran. Membukanya. Membacanya. Juga sekitar 15 ayat. Lalu menggenggamnya. Quran itu ikut rukuk, sujud dan terus digenggamnya sampai 2 x 2 rakaat.
Total tarawihnya delapan rakaat. Disambung witir 2+1. Untuk witir bacaan surahnya terpendek. Rakaat terakhir: al-Ikhlas. Tanpa HP maupun membuka Quran.
Tarawih selesai. Dengan 12 orang jemaah. Saya lirik “cicak” di dinding: Pukul 12 malam. Hanya kurang sedikit. (dis)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: