JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan aturan mengenai urun dan selisih biaya program jaminan kesehatan nasional kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) kemarin (18/1). Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018.
Tujuannya ialah menekan potensi penyalahgunaan pelayanan fasilitas kesehatan. Urun biaya merupakan biaya tambahan terhadap layanan di fasilitas kesehatan. Urun biaya akan dikenakan kepada peserta yang ingin mendapat layanan kesehatan atas keinginan sendiri. Di luar hak dan rekomendasi medis dokter maupun penyedia fasilitas layanan kesehatan. Contohnya ialah meminta melahirkan secara Caesar karena mengejar tanggal cantik.
”Jadi, peserta tidak bisa seenaknya mendapat pelayanan yang menurutnya harus didapat. Karena harus bayar,” ucap Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief kemarin.
Banyaknya iuran sudah diatur dalam permenkes tersebut. Untuk rawat jalan, nanti peserta BPJS Kesehatan dikenai biaya Rp 20 ribu untuk sekali kunjungan rawat jalan di rumah sakit kelas A dan B. Sementara untuk kelas C, D, dan klinik utama, tambahan urun biayanya Rp 10 ribu. Jika penyakit kronis dan sering melakukan kontrol, dikenakan pembayaran maksimal Rp 350 ribu. Dengan ketentuan maksimal 20 kali kunjungan selama tiga bulan.
Untuk rawat inap, pasien hanya membayar 10 persen dari total tarif Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs). ”Paling tinggi membayar Rp 30 juta,” ucap Budi. Jadi, BPJS yang akan membayar sisa dari urun biaya rumah sakit.
Sayang, tindakan apa saja yang akhirnya memerlukan biaya tambahan itu belum disebutkan dalam permenkes itu. Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan asosiasi fasilitas kesehatan akan membahas apa saja layanan yang dapat dibayarkan. Budi menyatakan butuh proses yang panjang.
Kemudian, menteri kesehatan membentuk tim khusus yang terdiri atas unsur stakeholder pengusul plus personel Kemenkes. Tim nanti bertugas melakukan pengkajian dan uji publik serta membuat rekomendasi. ”Uji publik seperti melakukan diskusi-diskusi dengan beberapa pihak terkait, organisasi, atau kelompok konsumen atau rumah sakit dan sebagainya,” terang Budi.
Permenkes tersebut juga mengatur selisih biaya. Dalam permenkes itu disebutkan, selisih biaya merupakan biaya yang timbul karena peserta meningkatkan kelas perawatan. Misalnya, peserta mendaftar untuk kelas III. Namun, saat rawat inap, peserta meminta kelasnya dinaikkan menjadi kelas II. Praktik seperti itu sering dilakukan peserta BPJS Kesehatan.
Permenkes tersebut menyatakan, jika ingin naik tingkat, harus satu tingkat di atasnya. Tidak boleh peserta kelas III naik tingkat ke kelas I. Budi mengatakan, untuk peningkatan dari kelas III ke kelas II atau kelas II ke kelas I, bahkan I ke VIP, peserta harus membayar selisih biaya tarif INA-CBGs antarkelas.
”Khusus VIP karena tidak masuk dalam tanggungan BPJS, peserta membayar paling banyak 75 persen dari tarif kelas I,” jelasnya. Sedangkan biaya paket rawat jalan eksekutif tidak boleh lebih dari Rp 400 ribu per kunjungan.
Ketentuan urun dan selisih biaya berdasar permenkes tidak dibebankan kepada tiga kategori. Yakni peserta penerima bantuan iuran (PBI), peserta yang mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah atau jamkesda, dan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menanggapi lahirnya Permenkes 51/2018, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, urun biaya yang diatur dalam permenkes itu bisa digunakan sebagai cara mengurangi defisit BPJS Kesehatan. ”Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk mengendalikan biaya INA-CBGs,” ucapnya kemarin.
Lebih lanjut Timboel mengatakan bahwa BPJS Watch mendorong pembentukan tim yang objektif dalam mengusulkan jenis pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan urun biaya. Pada pasal 4 permenkes tersebut ditulis, menteri kesehatan harus menetapkan jenis pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan urun biaya.
”Saya mengusulkan agar ada perwakilan dari peserta JKN yang bisa diwakili YLKI atau BPJS Watch di tim tersebut,” tuturnya. Dengan melibatkan unsur peserta, keputusan juga berpihak kepada peserta. Peserta JKN terlindungi dalam mekanisme urun biaya ini.
Ke depan, dalam pelaksanaannya pun, pemerintah dan BPJS Kesehatan harus melakukan pengawasan. Faskes juga wajib menginformasikan jenis pelayanan kesehatan yang dikenai urun biaya dan estimasi besaran urun biaya. ”Jangan sampai ada unsur paksaan terhadap peserta JKN,” imbuh Timboel. (han/lyn/c9/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: