JAKARTA – Drama “main” pingpong dipertontonkan pemerintah dalam menyikapi desakan pembatalan remisi perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara untuk narapidana (napi) I Nyoman Susrama. Bukan hanya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly, kemarin (25/1) Presiden Joko Widodo pun terkesan mengabaikan polemik remisi itu.
Saat ditanya awak media, presiden enggan menanggapi protes pegiat pers terkait remisi Susrama. Mantan Wali Kota Solo itu justru melempar “bola panas” remisi kontroversi itu ke Yasonna. ”Tanyakan Menkumham,” kata Jokowi singkat di Bekasi, kemarin. Jokowi terkesan tidak memahami kebijakan yang ditandatanganinya itu. ”Kalau teknis begitu tanyakan ke Menkumham,” ujarnya.
Jawaban Jokowi-sapaan akrab Joko Widodo-tentu tentu tidak memuaskan pihak keluarga AA Gde Bagus Narendra Prabangsa di Bali. Prabangsa merupakan korban pembunuhan sadis yang diotaki Susrama pada 2009 lalu. Pemberian pengampunan untuk Susrama telah membuat keluarga Susrama, terutama sang istri Anak Agung Sagung Mas Prihantini, kecewa berat.
Namun, pihak-pihak yang merasa dirugikan atas remisi tersebut boleh sedikit bernapas lega. Sebab, desakan atas pembatalan remisi rasa grasi untuk Susrama kemarin mendapat dukungan dari Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM Bali Sutrisno. Melalui surat tertulis di atas materai, Sutrisno berjanji membawa usulan pencabutan remisi tersebut ke Yasonna.
”Dia (kakanwil kemenkumham Bali, Red) memberikan rekomendasi kepada Pak Jokowi untuk membatalkan remisi ini (untuk Susrama, Red),” kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur saat ditemui Jawa Pos di lokasi aksi damai penolakan pemberian remisi untuk Susrama di depan Istana Presiden di Jakarta siang kemarin.
Aksi serentak mendukung pembatalan remisi Susrama kemarin digelar di sejumlah kota di tanah air. Khusus di Jakarta, aksi dilakukan di Taman Aspirasi Monas, seberang Istana Presiden. Massa terdiri dari berbagai aliansi dan lembaga. Diantaranya, YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ).
Isnur menerangkan, kampanye penolakan itu merupakan upaya preventif untuk mendorong Jokowi membatalkan remisi Susrama yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29/2018 tentang Pemberian Remisi berupa Perubahan dari Pidana Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara. Susrama berada di urutan 94 diantara 115 napi yang mendapat keringanan hukuman itu.
Bila presiden tidak menggubris desakan itu, Isnur bersama aktivis lain berencana mengambil upaya hukum. Langkah itu nantinya akan diawali dengan mengkaji sejauh mana prosedur dan substansi pemberian remisi tersebut. ”Apakah pemberian remisi ini sudah memenuhi prosedur? Itu yang akan kami kaji dulu,” paparnya.
Menurut Isnur, ada celah untuk menilai bahwa remisi tersebut tidak memenuhi prosedur. Misal, dari aspek penelitian kemasyarakatan (litmas). Otoritas pemasyarakatan, khususnya badan pemasyarakatan (bapas) mestinya meminta tanggapan keluarga Prabangsa sebagai upaya litmas tersebut. ”Korban (keluarga Prabangsa, Red) harus ditanya, apakah sudah memaafkan apa belum,” jelas Isnur.
Ke depan, Isnur dan kawan-kawan juga akan mendalami lebih jauh apa saja pertimbangan Menteri Hukum dan HAM menyetujui remisi untuk Susrama dan mengusulkannya ke presiden. ”Dan saya pikir, penting juga menelusuri pendapat-pendapat korban yang lain terkait dengan Keppres ini, apakah mereka juga menerima pelaku pembunuhan keluarga mereka mendapat remisi?,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam aksi kemarin di Monas massa kembali menyuarakan kecaman atas remisi Susrama. Misal, yang disampaikan Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung. Dia mengatakan remisi Susrama tidak sejalan dengan semangat keadilan yang ditunjukkan lembaga peradilan. Sebab, sebelumnya, upaya banding yang dilakukan pelaku juga ditolak pengadilan.
”Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya terdakwa April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010,” ujarnya. Selain mencabut remisi, negara perlu mendorong pengungkapan kasus-kasus pembunuhan jurnalis yang telah lama berlalu tanpa kejelasan. Berdasarkan data AJI, hingga saat ini masih ada delapan kasus lainnya yang belum tersentuh hukum.
Delapan kasus itu, di antaranya pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogya Fuad M Syarifuddin (Udin) di tahun 1996, pembunuhan Herliyanto wartawan lepas harian Radar Surabaya pada 2006, kematian Ardiansyah Matrais wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV di 2010, serta kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya pada 2010.
”Kami meminta Presiden Joko Widodo menuntaskan delapan kasus pembunuhan jurnalis lainnya,” kata Erik. AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas. ”Ini membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menyatakan pihaknya tidak bisa mencampuri keputusan presiden memberi grasi atau tremisi terhadap seorang terpidana. Termasuk yang diberikan terhadap terpidana pembunuhan wartawan seperti Susrama.
Meskipun demkian, menurut dia presiden tentu mendengarkan pertimbangan berbagai pihak. ’’Apakah pembunuh wartawan itu memang harus diberatkan dari koruptor yang juga mendapatkan remisi, misalnya,’’ ujar Stanley saat dikonfirmasi kemarin. Itu sepenuhnya kewenangan presiden selaku kepala eksekutif.
Hanya saja, sampai saat ini pihaknya belum mengetahui apa pertimbangan presiden dalam memberikan keringanan terhadap Susrama. ’’Dalam pemberian grasi (kepada Susrama) kami juga tidak pernah dimintai pertimbangan oleh pemberi grasi,’’ lanjutnya.
Padahal, dalam sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan, Dewan pers acapkali dilibatkan. Baik oleh kepolisian ataupun Lembaga peradilan. Bentuknya bukan pelibatan secara langsung. Biasanya, Dewan pers hanya dimintai keterangan sebagai ahli. Baik saat pemeriksaan di tingkat penyidikan ataupun saat persidangan.
Meskipun demikian, lanjutnya, Dewan Pers bukannya tidak berupaya. ’’Kami konsen jangan sampai para pembunuh wartawan ini mendapatkan kemudahan-kemudahan,’’ tutur pria 59 tahun itu. Dorongan tersebut dilakukan karena hukuman terhadap pembunuh wartawan diharapkan memiliki deterrent effect kepada semua pihak.
Kasus pembunuhan Prabangsa dan vonis seumur hidup terhadap Susrama harus menjadi pelajaran. Tidak boleh ada lagi ada pihak manapun yang melakukan kekerasan, apalagi sampai membunuh seorang wartawan. ’’Karena wartawan itu sebetulnya bekerja untuk kepentingan publik,’’ Tambah mantan Wakil Ketua Komnas HAM itu. (tyo/far/byu/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post