Oleh: Lukman Maulana, Wartawan Metro Samarinda
Ada sebuah isu yang begitu menarik menjadi bahasan utama selama September ini. Yaitu mengenai Gerakan 30 September yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Tragedi yang akrab disebut dengan akronim G30S/PKI ini memang menjadi sebuah peristiwa besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal seakan memaksa bangsa menurunkan bendera setengah tiang.
Sebagaimana peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung di masa lalu, event G30S/PKI juga sarat dengan kontoversi dan pertanyaan. Mulai dari perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto yang melahirkan pemerintahan orde baru, hingga kebenaran latar belakang peristiwa ini. Namun secara umum, masyarakat Indonesia meyakini bahwa PKI memang melakukan kudeta gagal dan melakukan kekejaman yang tak pantas dimaafkan.
Dengan lembaran cerita yang begitu kelam tersebut, wajar bila masyarakat Indonesia tidak menginginkannya kembali terjadi. Pemerintahan orde baru yang merupakan ‘penumpas’ gerakan ini membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang melalui ketetapan MPR. Bukan itu saja, langkah sosialisasi sebagai sarana edukasi sekaligus antisipasi kebangkitan gerakan ini pun dilakukan dalam wujud pemutaran film bertajuk “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Disutradarai oleh Arifin C Noer yang merupakan sineas kenamaan di zamannya, film semi dokumenter ini menyajikan riwayat pergerakan PKI di Indonesia dengan cukup lengkap. Mulai dari pembantaian yang dilakukan PKI di Madiun tahun 1948, hingga peristiwa sejarah G30S di tahun 1965. Peristiwa penting di penghujung bulan ini, 52 tahun lalu itu bahkan dijabarkan dengan begitu detail, mulai dari rapat-rapat persiapannya hingga eksekusi para jenderal, serta langkah penumpasannya.
Dengan pengisahan secara kronologis yang diklaim sesuai data autentik, film besutan rumah produksi milik pemerintah ini banyak mendapat pujian. Bukan hanya dari segi penceritaan, dari segi sinematografi film ini juga memiliki kualitas produksi yang begitu memukau di zamannya. Maka tidak mengherankan bila “Pengkhianatan G30S/PKI disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik yang pernah ada di Indonesia.
Film inilah yang di masa orde baru selalu menjadi sajian rutin di penghujung September. Berawal dari TVRI, semua stasiun televisi swasta di era Suharto diwajibkan menayangkan film ini setiap tanggal 30 September. Apalagi dengan materi film yang sarat nilai sejarah, guru-guru di sekolah turut mewajibkan murid-muridnya untuk menyaksikan film ini. Untuk kemudian meminta mereka menulis semacam ringkasan sebagai bagian tugas mata pelajaran.
Menjadi kebanggaan orde baru, kejayaan film ini lantas berakhir kala Suharto lengser keprabon. “Ritual” memperingati G30S/PKI melalui film ini di penghujung September pun berakhir setelah bertahun-tahun “mendoktrin” masyarakat tentang peristiwa yang dikenal juga dengan akronim Gestapu ini. Ada yang menyebut film ini tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, dan dengan disisipi “dosa-dosa” orde baru, film semi dokumenter ini perlahan terlupakan.
Sejak saat itu G30S/PKI mengalami penurunan dalam hal penuturan di berbagai media. Kisahnya sebatas bab dalam pelajaran sejarah di sekolah. Serta poster-poster para jenderal yang digelari pahlawan revolusi serta namanya diabadikan menjadi nama jalan di berbagai daerah di Indonesia. Tak ada lagi kewajiban bagi para pelajar untuk begadang di akhir September. Walaupun bendera merah putih tetap diturunkan setengah tiang setiap kali momen ini diperingati.
Dengan ketiaadaan film ini, jelaslah generasi ‘milenial’ yang lahir selepas 1998 kurang memahami tentang peristiwa G30S/PKI. Kecuali bagi mereka yang memang memiliki ketertarikan akan sejarah atau mengambil spesialisasi di bidang yang berhubungan. Nyatanya setelah runtuhnya orde baru, pembahasan PKI perlahan menjadi berbalik, bukan lagi mengutuk kekejian PKI. Melainkan menyelidiki kebenaran peristiwa tersebut.
Beragam kontroversi pun muncul. Ada yang menyebut G30S/PKI didalangi Presiden Suharto sebagai langkah pengambilan kekuasaan, ada juga yang menyebut PKI hanyalah korban dalam peristiwa tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan “ketidakadilan” yang didapatkan oleh keluarga dari simpatisan PKI yang seumur hidup mendapatkan pembedaan perlakuan dari warga sipil lainnya. Pembantaian massal para simpatisan pasca G30S/PKI pun tak luput ikut dipertanyakan.
Di era reformasi, isu PKI tidaklah sepopuler di era orde baru. Bahkan bisa dibilang tenggalan begitu saja. Hanya menjadi ritual sehari dalam upacara setiap hari Senin dan pengibaran bendera setengah tiang. Selama hampir dua dekade terlupakan, isu ini nyatanya kembali muncul ke permukaan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden ketujuh RI ini banyak diterpa isu negatif tentang latar belakangnya sebagai keturunan komunis.
Entah salah apa Jokowi, pengusaha mebel ini mendadak disebut berafiliasi dengan PKI. Tepatnya sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 hingga kini di penghujung tahun ketiga pemerintahannya. Sekeras apapun membantah, toh “label” tersebut sulit dilepaskan dari Jokowi. Padahal tidak ada fakta kuat yang mengindikasikan Jokowi merupakan simpatisan PKI. Yang ada hanya fitnah-fitnah tanpa bukti.
Hingga kemudian di awal bulan ini, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memberikan instruksi yang tidak biasa. Setelah dua dekade hampir berlalu, untuk pertama kalinya ada seruan untuk menyaksikan kembali film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Istilah kerennya “nobar” alias nonton bareng. Jenderal Gatot punya alasan kuat atas instruksinya ini: mengingat kembali sejarah kelam yang pernah terjadi di bulan kesembilan tahun masehi.
Instruksi sang panglima rupanya mendapat tanggapan beragam dari masyarakat Indonesia. Sebagian besar menyatakan dukungannya dan setuju dengan pemutaran ulang film ini. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu tentang kebangkitan PKI santer terdengar khususnya di linimasa media sosial. Walaupun pada akhirnya kabar burung tentang kebangkitan partai berlambang palu arit ini tidak pernah bisa dibuktikan di tingkat kepolisian.
Di satu sisi, sebagian pihak lainnya seakan keberatan dengan instruksi tersebut. Apalagi bila dikait-kaitkan dengan isu kebangkitan PKI. Ada yang menyebut PKI sudah lama mati dan tidak perlu lagi diwaspadai. Ada yang menyebut film ini sarat propaganda orde baru yang bertentangan dengan fakta sebenarnya. Serta tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ada juga yang menyebut membahas PKI itu kurang kerjaan.
Mendadak isu PKI menjadi begitu panas. Media sosial yang belakangan dipenuhi berita-berita palsu alias hoax pun kembali ramai. Lambang-lambang, gestur, hingga cerita-cerita konspirasi tentang PKI bertebaran di mana-mana. Seakan-akan mengindikasikan kebangkitan PKI. Isu ini sampai di telinga para tokoh nasional. Sebagian meyakini PKI masih ada, sebagian dengan lantang menyebut PKI sudah tidak ada.
Isu-isu ini lantas bermuara pada sebuah aksi kekerasan di YLBH Jakarta. Diskusi PKI tersebut berujung ricuh, dengan bentrok antara aparat kepolisian dengan massa yang mengatasnamakan anti komunis. Tentu merupakan kejadian yang sangat disayangkan. Kejadian ini seakan menggaduhkan kembali kancah perpolitikan tanah air. Ada yang menyebut isu PKI sebagai “jualan” baru menjelang pemilu 2019 pasca isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta.
Tentu menarik untuk dicermati instruksi panglima TNI untuk memutar kembali film “legendaris” ini. Karena baru tahun ini ada instruksi seperti itu. Publik pun bertanya-tanya gerangan apa yang tengah terjadi sehingga film ini mesti diputar kembali. Toh sebelum-sebelumnya juga adem ayem saja. Alasan sebagai pengingat sejarah memang bisa diterima akal. Tapi pertanyaannya, kenapa baru tahun ini? Apakah ada indikasi lain yang begitu urgen hingga instruksi tersebut keluar?
Presiden Jokowi sendiri cukup bijak menanggapi instruksi sang jenderal. Sang RI-1 merasa, film ini perlu dibuat ulang. Perlu ada versi baru dari film G30S/PKI yang dibuat dengan standar generasi milenial. Masuk akal memang mengingat usia film ini yang begitu tua. Dengan versi baru yang dibuat menggunakan teknologi kekinian, jelas akan terasa lebih nyaman dipandang mata. Di satu sisi, istilah versi baru bisa juga berarti versi baru dari kisah pengkhianatan G30S/PKI.
Dengan sorotan terhadap film G30S/PKI yang dianggap sebagai propaganda orde baru, tentu versi baru yang dimaksud Presiden Jokowi turut mengundang tanya. Bagaimana versi G30S/PKI nanti disajikan dalam film yang baru? Apakah dibuat senetral mungkin tanpa kepentingan politis tertentu, atau malahan menjadi proyek propaganda baru? Pertanyaan yang masuk logika mengingat ada pihak-pihak yang berasumsi versi baru bakal mengubah jalan cerita yang diyakini selama ini.
Sebagai sebuah film, “Pengkhianatan G30S/PKI” garapan Arifin C Noer tentu tak luput dari bias sejarah. Karena akan sulit sekali bisa menyajikan kembali sebuah peristiwa sejarah secara sama persis seratus persen dengan apa yang sebenarnya terjadi. Film, sebagai salah satu media komunikasi, tentu memiliki banyak aspek yang meliputinya. Salah satunya aspek dramatisasi yang menjadi kekuatan suatu film.
Dramatisasi jelas tak bisa dipisahkan dari film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Namun film ini tetap menjadi sebuah proses reka ulang sejarah yang jelas bukan fiksi. Apalagi di tangan sutradara macam Arifin C Noer. Sebagai reka ulang sejarah tentu melewati langkah-langkah riset dan penelitian yang tidak sembarangan. Jauh sebelum film ini dibuat, kekejaman PKI jelaslah suatu fakta yang diamini masyarakat Indonesia di masa itu. Fakta yang diwariskan turun menurun dari generasi ke generasi di keluarga Indonesia.
Fakta-fakta ini disajikan dalam film yang kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Tentunya mengatakan bahwa film ini tidak relevan atau bahkan sebuah kebohongan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan begitu saja. Kenyataannya, film ini masih bisa diterima masyarakat sekalipun “berbau” propaganda. Film ini pun menjadi pengingat yang sangat baik bagi bangsa ini bahwa ada peristiwa kelam yang tak ingin kembali terjadi di bumi pertiwi.
Maka instruksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo sudah sewajarnya diterima sebagai hal yang positif. TNI telah melakukan langkah yang seharusnya, yaitu menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari setiap ancaman yang datang baik dari luar maupun dari dalam. Mewaspadai kebangkitan PKI merupakan hal yang masuk akal dan sesuai dengan semangat-semangat pancasila. Bahkan mungkin wajib bagi setiap warga negara mewaspadai kebangkitan PKI.
Sebagai bahaya laten, PKI memang wajib diwaspadai. Secara fisik PKI memang sudah mati, tapi ideologinya akan terus hidup selama masih ada yang berusaha menghidupkan dan mewariskannya. Dan bukan mustahil bila ideologi ini kembali muncul ke permukaan dalam bentuk baru yang sama sekali tidak disangka-sangka sebelumnya. Apalagi di tengah kondisi masyarakat khususnya pemuda Indonesia di tengah gencarnya arus globalisasi.
Tentu kita ingat jelas pesan presiden pertama republik ini yang dikenal dengan akronim JAS MERAH. Sukarno berpesan kepada bangsa Indonesia agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Termasuk dalam hal ini sejarah pemberontakan PKI. Berkaca dari pesan ini, penayangan kembali fim “Pengkhianatan G30S/PKI” semestinya memang ditanggapi dengan positif. Jangan ada resistensi, penolakan, atau mengaitkan dengan politik. Ini murni kecintaan atas tanah air.
Langkah pemutaran ini perlu diikuti aparat-aparat berwajib lainnya, instansi-instansi pemerintahan, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan elemen-elemen masyarakat. Setiap warga negara pun mesti memberikan apresiasi. Khususnya mereka yang mengaku “Saya Pancasila”. Karena tragedi G30S/PKI merupakan bukti kesakitan Pancasila. Yang kemudian diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila pada 1 Oktober.
Jadi kalau ada yang menentang pemutaran film ini, maka patut dipertanyakan ke-Pancasila-annya. Komunis merupakan musuh ideologi Pancasila. Artinya bagi mereka yang mengaku Pancasila, maka sudah sepatutnya mewaspadai kebangkitan komunis. Jadi mari kita sama-sama mengingat sejarah dengan menyaksikan film G30S/PKI. Seperti kata Bung Karno, JAS MERAH. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: