Sudah setahun para tenaga kesehatan (nakes) berjuang menangani pasien Covid-19. Jatuh bangun pun telah dilalui. Pada Hari Perawat Nasional, para perawat ruang isolasi Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) berbagi kisah.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
HARI Perawat Nasional jatuh pada 17 Maret. Seluruh jajaran direksi Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) pun menggelar sejumlah kegiatan Rabu (17/3). Termasuk memberikan penghargaan untuk mengapresiasi perawat yang menjadi bagian terpenting dalam pelayanan rumah sakit. Kendati sudah berlalu, cerita perjuangan mereka masih perlu untuk dikisahkan.
Sejumlah perawat yang bertugas di ruang isolasi Covid-19 RSUA pun ikut meramaikan kegiatan tersebut. Salah seorang di antaranya adalah Wikan Wihantoro Sudarmaji, perawat ruang intensive care unit (ICU) isolasi Covid-19.
Ya, Wikan mewakili ratusan perawat yang saat ini berjuang untuk melayani pasien-pasien Covid-19 yang dirawat di ruang isolasi Gedung Rumah Sakit Penyakit Tropis Infeksi (RSPTI) Unair. Dia menjadi salah seorang perawat yang telah ikut bergabung menangani Covid-19 sejak awal pandemi.
“Saya bergabung mulai 22 April 2020. Waktu awal-awal pandemi Covid-19 di Indonesia. RSUA menjadi salah satu rumah sakit yang konsentrasi untuk penanganan Covid-19,” katanya.
Tidak berbeda dengan yang dialami para perawat lain, Wikan juga merasakan masa-masa stres saat menangani pasien-pasien Covid-19 yang dirawat di ruang isolasi Covid-19 RSUA pada awal-awal masa pandemi. Penyakit baru yang belum ada obatnya. Banyak pasien yang stres karena hebohnya pemberitaan kasus Covid-19 yang bermula dari Wuhan, Tiongkok. “Sejak awal saya bertugas sebagai perawat ICU di ruang isolasi. Banyak pasien yang kelihatan stres sekali. Mereka sadar perawatan Covid-19 membutuhkan waktu lama,” ujarnya.
Sebagai seorang perawat, laki-laki 36 tahun itu tidak hanya memberikan pelayanan untuk penyembuhan fisik, tetapi juga harus memperhatikan psikologis pasien. “Dulu, saya jelas merasa takut. Bukan hanya saya, teman-teman perawat lain juga stres. Apalagi, awal pandemi, pasien yang datang di ruang isolasi Covid-19 banyak sekali,” ungkapnya.
Berbagai risiko terburuk yang akan menimpa para perawat begitu tinggi. Setelah tiga bulan pandemi berjalan, ada perawat yang terpapar Covid-19. Padahal, dia sudah mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap. “Saya terpapar Covid-19 pada Juni,” katanya.
Wikan pun sempat menjalani isolasi 12 hari. Berpisah dengan keluarga kecilnya di rumah. Saat itu kondisinya baik-baik saja alias orang tanpa gejala (OTG). “Setelah sembuh, saya merawat pasien lagi di ruang ICU pasien Covid-19,” ucapnya.
Wikan mengatakan, ada sedikit trauma karena pernah terpapar Covid-19. Apalagi, ada orang-orang terkasih yang harus dilindungi di rumah. Misalnya, istri dan anaknya. Sementara itu, pekerjaannya memiliki risiko besar terpapar Covid-19 karena setiap hari harus melayani pasien yang kondisinya berat di ruang ICU. “Pekerjaan saya adalah memberikan pelayanan kesehatan. Jadi, saya bekerja profesional untuk menolong orang lain,” ujarnya.
Meski telah berusaha membentengi diri agar tidak terinfeksi Covid-19, Wikan akhirnya terpapar untuk kali kedua. Dia dinyatakan terpapar Covid-19 pada Oktober 2020. Kali ini, dia mengalami gejala sesak dan flu, tetapi tidak panas. “Saya langsung minta di-swab. Setelah CT-scan, hasilnya positif Covid-19,” katanya.
Masih dengan seragam perawat, Wikan pun menjadi pasien rumah sakit. Kondisinya semakin down ketika hasil swab anak dan istrinya juga positif Covid-19. “Saya sekeluarga dirawat di ruang isolasi RSUA. Sakit yang kedua ini ada pneumonia,” ujarnya.
Dua kali terpapar Covid-19 membuat Wikan semakin stres saat itu. Sebab, Covid-19 adalah penyakit yang tidak mudah ditebak. Hampir setiap hari terbayang-bayang rasa cemas jika membawa virus saat pulang ke rumah. ’’Saya hanya bisa banyak berdoa dan bertawakal,’’ ujar dia.
Menjadi perawat di ruang ICU Covid-19 membuat Wikan harus kuat mental agar tidak terus stres. Sebab, kondisi pasien-pasien yang dihadapi berat dan kritis. ’’Yang paling sedih adalah melihat pasien saya tidak terselamatkan karena Covid-19. Situasi seperti itu sering saya alami selama menjadi perawat ruang ICU Covid-19,’’ ujarnya.
Wikan pun mengatakan, ada satu pengalaman yang membuat mentalnya down. Yakni, ketika merawat teman sejawatnya sendiri yang sakit Covid-19. Kondisinya memburuk dan masuk ruang ICU. ’’Saya langsung merawat teman sendiri sesama perawat. Setiap masuk ruang ICU, saya berusaha keras agar teman saya bisa melewati masa kritis,’’ tuturnya.
Wikan berusaha menghela napas panjang. Matanya mulai berbinar menahan sedih mengingat masa-masa berat itu. ’’Saya melihat langsung teman saya meninggal di ruang ICU. Saya yang menangani langsung. Rasanya kacau sekali,’’ imbuhnya.
Bahkan, dia juga pernah menyaksikan pasien sekeluarga dirawat di ruang ICU. Kondisinya memburuk. Pasien satu keluarga meninggal dalam satu minggu. ’’Dalam seminggu, saya menyaksikan pasien sekeluarga meninggal. Itu membuat saya sedih,’’ katanya.
Seluruh perawat ruang isolasi kini semakin ketat dalam memperhatikan protokol kesehatan. Memastikan diri ketika keluar dan masuk ruang ICU benar-benar aman. Memasang dan melepas APD juga harus benar. ’’Saking takutnya, saya sekarang selalu mandi sampai 3–4 kali sehari. Sebab, saya pulang ke rumah akan bertemu anak dan istri,’’ ujar laki-laki asal Madiun itu.
Untuk menjaga mental, lanjut dia, lebih banyak pendekatan spiritual. Jadi, setiap kali bertugas di rumah sakit, dia lebih sering pasrah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Apalagi setiap hari bertugas di ICU Covid-19. Setiap kali masuk ruang isolasi ICU maksimal empat jam dengan APD lengkap. ’’Di ruang ICU, tindakan yang dilakukan untuk pasien sangat banyak. Jadi, sekali masuk empat jam pakai hazmat dan APD lengkap. Kebayang panasnya dan sering bermandi keringat,’’ ungkapnya.
Selain mudah lelah, perawat ICU sering merasakan dehidrasi ketika mulai masuk ruang perawatan. Karena itu, menjaga stamina sangatlah penting agar imunitas tetap baik. ’’Kami saling menyemangati. Targetnya, pasien sembuh dan jangan sampai memburuk. Jangan sampai terintubasi,’’ ujarnya.
Wikan mengatakan sering menceritakan pengalamannya sembuh dari Covid-19 untuk memberikan semangat kepada pasien-pasien di ruang ICU. Hal itu dilakukan untuk menjaga psikologis pasien. ’’Ketakutan itu masih ada. Namun, sekarang stresnya sudah berkurang karena tahu ritme kerjanya,’’ jelas laki-laki yang menjadi perawat sejak 2009 itu.
Wikan menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab sebagai perawat sangatlah besar. Bersama teman-temannya, dia berusaha membunuh rasa takut. Sebab, ada hal yang lebih penting dari rasa takut. Yakni, mereka yang sakit dan berharap pertolongan untuk sembuh dari tangan-tangan nakes. ’’Enggak kepikiran nyerah. Justru sekarang saling menyemangati. Habis ini, saya juga bertugas lagi di ICU,’’ kata Wikan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00, Wikan pun harus bersiap-siap untuk bergabung dengan perawat lain di ruang ICU RSPTI Unair. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: