“Masih banyak orang baik di daerah kita ini. Mereka akan rela memberi jika pemberian mereka bisa berarti,”
Di depan sekumpulan anak-anak muda, Ketua Komunitas Ngeramput memberi kesaksiannya tentang bagaimana aktivitas Komunitas Ngeramput ditopang oleh sumbangan masyarakat. Komunitas Ngeramput bukanlah kelompok yang mampu membuat proposal yang ndakik-ndakik dengan visi dan misi selangit serta mengobral kata-kata mulia mulai kemajuan bangsa hingga kejayaan daerah.
Komunitas Ngeramput adalah komunitas sederhana dengan kegiatan yang amat remeh temeh, yaitu mengangkat sampah dari permukaan sungai. Sebuah aktivitas yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja dan tak perlu dibekali dengan workshop, seminar atau pelatihan. Cukup sebuah pembekalan singkat yang tak lebih dari setengah jam, siapapun sudah bisa memungut sampah sesuai SOP.
“Dulu pertama kali kita memungut tak mempertimbangkan yang disebut pre caution universal atau kewaspadaan dini. Sewaktu foto itu diposting di Facebook, muncul komentar dari pemakai facebook lainnya. Namun tidak sekedar berkomentar melainkan juga datang untuk menyerahkan alat perlindungan yaitu masker dan kaos tangan serta sepatu boot,” lanjut ketua Komunitas Ngeramput.
“Tapi pada intinya kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita punya sekecil apapun,” katanya kembali.
*********************************
Mengerjakan sesuatu, membuat aksi berdasarkan sumberdaya yang ada dalam diri sekecil apapun itu. Kalimat itu terus mengiang di telinga Mustofa. Mengusik hatinya, terutama ketika dia duduk di belakang rumah memandangi Sungai Karang Mumus. Sebenarnya dia sudah melakukan sesuatu, memungut sampah yang mengambang tapi hanya berupa botol dan kemasan plastik. Dia ingin melakukan yang jauh lebih besar dan lebih berdampak.
“Bondan, bagaimana kalau kita kumpulkan teman-teman,”
“Untuk apa Mumus?”
“Kita harus buat sesuatu untuk Sungai Karang Mumus, seperti Komunitas Ngeramput itu,”
“Wallah Mus, mana ada mereka mau bikin begitu,”
“Ya kita beri pengertian dahulu,”
“Tahulah kamu, pengertian mereka ya dari dulu sama saja. Memang sudah begitu Sungai Karang Mumus itu. Dari bahari orang memang sudah buang sampah kesitu. Begitu sudah ndak kurang ndak lebih,”
“Iya makanya mesti diberi pengertian, kalau sampah bahari dan sampah sekarang itu beda. Dulu kan banyak sampah organik, lalu ikan di sungai masih banyak jadi sampah itu makanan ikan. Tapi sekarang kan lain,”
Bondan akhirnya mengiyakan apa yang menjadi keinginan Mustofa. Dan mulailah mereka berkeliling menyusuri gang-gang sempit permukiman pinggir kali. Satu demi satu teman sepermainan ditemui untuk diajak bertemu. Kurang lebih 20 orang telah dihubungi, dan kepada mereka Mustofa serta Bondan menyampaikan untuk bertemu di pondok dekat lapangan kecil di pinggir sungai.
Sudah lebih dari 20 menit Mustofa dan Bondan menunggu temannya, namun belum juga ada satupun yang muncul. Mustofa tenang-tenang saja, namun Bondan nampaknya sudah mulai gelisah.
“Apa kubilang kan Mus, mana ada mereka mau datang,”
“Sabar saja Bondan,”
‘Om Sabar sudah dikubur kemarin, Mumus,”
Mustofa tertawa saja, dari sudut matanya dia melihat ada dua temannya sedang datang menuju pondok tempat dia dan Bondan menunggu.
“Lama lah menunggu,” ujar salah seorang teman begitu sampai.
“Belum sih, cuma itu daun yang jatuh tadi sudah hampir kering,” ujar Bondan agak ketus.
Dan tak berapa lama kemudian teman-teman yang lain mulai berdatangan. Jumlahnya memang tak sebanyak yang Mustofa undang, tapi cukup sudah untuk membuat hati Mustofa senang.
“Jadi begini teman-teman,kita berkumpul untuk membahas apa yang bisa kita lakukan untuk Sungai Karang Mumus.Gagasan saya dan Bondan sih, ikut apa yang dilakukan Komunitas Ngeramput, kita pungut sampah di sungai,” ujar Mustofa.
Dan teman-teman Mustofa tak banyak bicara, mereka biasa bicara setuju saja daripada harus memberi alasan panjang lebar untuk menolak atau tidak setuju.
“Bagus saja itu Mumus, memang sudah semestinya begitu,” tandas seorang teman memberi persetujuan.
“Iya ini hal baik jadi kita dukung saja,” ujar yang lainnya.
“Tapi kita butuh biaya,” kata Bondan.
“Nah, ini yang penting kita bicarakan, darimana dana kita?”
“Minta pemerintah saja,” sahut seorang teman.
“Ah, bikin proposal ajukan ke perusahaan, ini kan CSR,” kata yang lainnya.
“Kalau ke pemerintah sama perusahaan biasanya lama, birokratis,” kata Mustofa.
Dan kemudian mereka seperti buntu. Mengumpulkan biaya dari mereka sendiri tentu tak mungkin dilakukan.Mustofa dan teman-teman lainnya adalah jenis anak yang tak berkecukupan uang jajannya sehingga sulit untuk menyisihkan uang.
“Begini teman-teman ada yang namanya crowd funding. Kita mengumpulkan uang dari publik. Yang paling penting tujuan kita jelas, apa yang dibutuhkan jelas, bagaimana mau digunakan dan apa dampaknya juga jelas, termasuk cara pertanggungjawabannya,” terang Bondan.
“Lalu kita minta ke siapa?”
“Ke orang-orang baik di Samarinda ini, orang-orang yang peduli ke sungai. Pasti ada banyak orang yang begitu,” ujar Bondan.
“Lalu caranya,”
“Kita buat account di situs crowd funding. Lalu kita beli deskripsi apa yang mau kita lakukan dan apa yang kita perlukan,”
“Ah, lama kalau begitu. Lagi pula orang mau nyumbang kalau kita ada organisasi,”
“Memangnya kamu ngasih ke pengamen atau pengemis pakai nanya apa organisasimu?”
Mereka terus berdebat soal bagaimana akan menggalang dana guna menyokong kegiatan mereka. Sebab untuk memungut perlu armada pungut, yaitu perahu dan segala perlengkapannya seperti jaket pelampung. Juga dibutuhkan alat pungut seperti serok, jaring, garuk, kemasan plastik, kaos tangan, sepatu bot, masker dan gerobak untuk mengangkut sampah.
“Begini saja, kita bikin akun sosial media,” ujar Mustofa.
“Nah betul, begitu saja. Bondan yang buat,” sahut teman lainnya.
“Oh, iya kita buat akun Facebook, IG sama youtube,” tambah Mustofa
Bondan tidak memberikan pendapat, dia diam saja tapi mau tak mau apa yang dikatakan dan disepakati oleh teman-temannya akan dibuat olehnya. Dan Bondan akan menjadi penyumbang pertama dari aksi pungut sampah yang digagas oleh Mustofa, sumbangan Bondan adalah paket data.
“Teman teman, tapi kita bukan bergerak setelah ada sumbangan. Kita akan mulai dan terus bergerak walau nanti tak ada sumbangan sekalipun. Kita bergerak dengan kekuatan kita sendiri sekecil apapun yang kita punya dan kita bisa,” ujar Mustofa seperti memberi sambutan pada acara kerja bakti.
“Nah, apa yang kita lakukan itu kita foto lalu kita posting di akun media sosial. Namun jangan sekedar posting tapi kita beri narasi dan deskripsi yang menggugah orang yang lihat agar jadi peduli,” sambung Bondan seolah menunjukkan kalau dia lebih paham soal social media strategist.
Dan apa yang dikatakan oleh Mustofa serta Bondan akhirnya dilakukan oleh Mustofa dan gerombolannya. DI sela-sela saat mereka usai sekolah, selain bermain di sungai, mereka memunguti sampahnya. Tidak banyak yang bisa mereka pungut, kalau di prosentase mungkin tak akan melebihi 0,001 % dari sampah yang dibuang ke sungai.
Aku sosial media mereka kini berhiaskan foto-foto sampah, jenis sampah dan bagaimana wajah sampah di Sungai Karang Mumus. Ada banyak like dan koment serta banyak pula yang kemudian meng-share postingan mereka.
“Sosial media memang ampuh,” ujar Mustofa.
“Kenapa Mumus,” tanya Bondan.
“Lho, ini kan HP-mu masak kamu belum baca pesan yang masuk di inbox facebook kita?”
“Iya kah?”
“Ini ada yang mau menyumbang untuk kegiatan kita,”
“Amin, siapa yang memberi akan diberi, siapa yang mencintai akan dicintai,” ujar Bondan mengutip dua kalimat bijak yang nampaknya tidak nyambung.
Pondok Wiraguna, 29/09/2016
@yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post