bontangpost.id – Dugaan penganiayaan dan penelantaran anak oleh orangtuanya terjadi di Desa Sungai Mentawa, Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, Senin (30/11) lalu. Korban kejahatan itu merupakan bayi berusia tiga bulan yang seharusnya diberi kasih sayang.
Informasi dihimpun, kejadian itu terungkap saat kepala desa setempat mendengar keributan di rumah bayi berinisial DA tersebut. Keributan diduga karena pertengkaran kedua orangtua korban. Saat itu kepala desa mendengar jeritan tangis bayi yang sedang lucu-lucunya tersebut dan bergegas mendatangi TKP.
“Saya tidak tahu apa masalah keributannya, saya hanya kasihan melihat anaknya, jadi kami berusaha mengamankan anaknya lebih dulu,” ungkap, Marsha, istri Kades Sungai Mentawa saat ditemui di UGD RSUD Lamandau, Kamis (3/12).
Keesokan harinya mereka membawa bayi tersebut ke Pangkalan Bun untuk mendapat pengobatan. “Karena harus ada rujukan untuk melakukan CT Scan, saya membawanya kembali ke RSUD Lamandau,” terangnya.
Kabar penganiayaan bayi ini mendadak viral dan mendapat respon Unit PPA Satreskrim Polres Lamandau dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB.
“Kami akan berupaya melakukan pendampingan kepada korban. Sementara ini bayi tersebut berada dalam perlindungan serta perawatan Kades setempat,” ungkap Kepala DP3AP2KB.
Kasat Reskrim Polres Lamandau Iptu Juan Rudolf W mengatakan, keduanya masih diperiksa. Pasangan suami istri ini ternyata masih di bawah umur.
“Saat ini kami masih melakukan rangkaian proses penyelidikan secara maksimal terhadap peristiwa tersebut, yaitu lakukan olah TKP, pemeriksaan saksi-saksi dan mencari bukti-bukti lain,” ucapnya.
Nining Novitamala dari Satuan Bakti Pekerja Sosial Kabupaten Lamandau usai melakukan assessment mengatakan bahwa ayah dan ibu korban belum siap untuk berumah rangga dan memiliki anak.
“Mereka menyesali perbuatannya, dan mengaku khilaf karena stres di bawah tekanan ekonomi. Sebenarnya mereka juga ingin belajar menjadi orangtua yang baik. Namun usia dan pengalaman mereka memang masih minim,” tutur Nining.
Pasangan sejoli ini mengaku pacaran pada September 2019 lalu. Saat itu si pria masih 16 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SMP. Sementara istrinya baru berusia 17 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Mereka kemudian menikah pada akhir 2019, dan memiliki anak pada Agustus 2020. Mereka juga menampik jika disebut hamil sebelum menikah.
“Menurut pengakuan keduanya, mereka menikah atas dorongan orangtua karena takut terjadi apa-apa. Karena masih di bawah umur mereka pun menikah di bawah tangan (siri),” bebernya.
Pasutri ini nekat memukul anaknya karena hanya memiliki uang Rp 150 ribu. Sementara saat yang sama ada tagihan angsuran kasur oleh tukang kredit sebesar Rp 269 ribu. Saat stres ditagih utang, anaknya nangis dan tidak mau diam. Suami memukul bagian wajah dengan tujuan agar anaknya diam. Tetapi anak justru semakin menjadi tangisnya.
“Atas kejadian tersebut, pelaku mengaku bersalah dan menyesal serta siap menjalani hukuman, dan saat keluar penjara nanti dia berharap masih bisa merawat sendiri anaknya tersebut,” terangnya.
Kedua orangtua korban itu belum siap secara mental dan ekonomi untuk mempunyai anak. Ayah korban merupakan tamatan SMP dan sehari-harinya hanya kerja serabutan.
Ini juga merupakan dampak negatif dari pernikahan anak di bawah umur. Diharapkan kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi orang tua agar tidak menikahkan anak di bawah umur. Saat ini bayi perempuan yang dianiaya orangtuanya tersebut telah dirujuk ke rumah sakit dr Doris Sylvanus Palangkaraya. (mex/yit)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post