bontangpost.id – Hingga H-6 pencoblosan, pasangan Neni Moerniaeni-Joni diunggulkan lembaga survei Indo Barometer. Pasangan calon nomor urut 02 itu diprediksi menang 53 persen.
Namun, hasil pencoblosan justru mengatakan sebaliknya. Basri Rase-Najirah lah yang keluar sebagai pemenang. Membalikkan prediksi dua lembaga survei. Sebelumnya, LSI Denny JA juga memprediksi Pilkada Bontang dimenangi Neni-Joni.
Pengamat Politik Universitas Mulawarman Lutfi Wahyudi mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan hasil itu. “Survei ini sifatnya prediksi bukan absolut. Ditambah adanya margin error,” kata Lutfi.
Menurutnya, jeda pelaksanaan survei dengan hari pencoblosan itu sangat memengaruhi. Bahkan, perpindahan dukungan pemilih bisa terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Terdapat tiga faktor perubahan dukungan itu bisa terjadi. Pertama, adanya pemilih yang belum menjatuhkan pilihan.
Pada survei terakhir yang dilakukan oleh Indo Barometer angkanya mencapai 13,4 persen. Selanjutnya ada yang namanya swing voters. Kategori ini masih bisa berubah pilihan bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Faktornya mencakup money politik, pengaruh teman, pengaruh pemberitaan, hingga keberhasilan strategi tim sukses.
“Swing voters itu karakternya bisa yang semula menjatuhkan pilihan di paslon B akhirnya tidak jadi memilih. Atau beralih ke paslon lainnya. Jika demikian angkanya pasti akan berubah,” ucapnya.
Ia menjelaskan survei tidak harus dilakukan dengan populasi sampel yang banyak. Akurasi itu bergantung dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan karakteristik populasi seperti apa. “Ini ibarat mengecek golongan darah. Tidak semua darah harus disedot cukup dua tetes itu bisa mewakili,” tutur dia.
Asalkan itu survei juga bukan merupakan pesanan dari paslon. Sehingga hasilnya harus mengikuti pemesan tersebut. Namun faktor terakhir ialah adanya sikap jengkel, marah, atau kesal respoden terhadap lembaga survei. Akhirnya mereka mengelabuhi ketika proses itu berlangsung. Kejadian ini terjadi ketika Pilpres 2019 lalu.
“Nah ini yang biasanya luput. Jadi bisa saja karena banyak lembaga survei yang datang, mereka memberikan respon yang berbeda,” sebutnya.
Diketahui, hasil survei terakhir sebelum Pilkada, paslon Neni-Joni bakal meraup 53,0 persen. Sementara paslon nomor urut satu 28,4 persen, rahasia 4,5 persen, dan tidak menjawab 0,7 persen. Dengan margin error 4,88 persen. Ditambah tingkat kepercayaan 95 persen.
Awal November, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA memaparkan hasil survei yang dilakukannya kepada 440 responden yang dianggap mewakili populasi kota tersebut. Responden tersebar di 15 kelurahan dan 3 kecamatan dengan menggunakan metode multistage random sampling atau acak.
Hasilnya, pasangan Neni-Joni unggul 57,5 persen dari pesaingnya Basri-Najirah yang hanya mendapat 28 persen. Sedangkan responden yang tidak menjawab sebanyak 14,5 persen. “Jika mengacu pada angka itu setelah ada perubahan pilihan maka klop saja hasilnya,” terangnya.
Sebelumnya, akademisi ini menilai masyarakat rindu terhadap kepemimpinan trah Adi Darma. Dengan Pilwali 2020 ada sebuah jembatan harapan baru. Sehingga masyarakat akhirnya kebanyakan menjatuhkan pilihan kepada paslon nomor urut satu tersebut. “Kenangan itu biasanya muncul ketika masa telah berlalu,” kata Lutfi.
Pun demikian dengan yang terjadi pada Pilwali 2014 lalu. Ketika itu warga Kota Taman merindukan kepemimpinan trah Sofyan Hasdam. Saat pemerintahan dipegang oleh Adi Darma-Isro Umarghani. Dibuktikan kala itu pesta demokrasi dimenangkan oleh Neni-Basri melalui jalur independen.
Di tengah perjalanan, Adi Darma wafat setelah mendapat perawatan medis beberapa hari. Akibat terpapar Covid-19. Lantas, tim mengganti pasangan calon dengan menunjuk Najirah (istri Adi Darma) sebagai penggantinya.
“Ada energi simpati yang tertumpah kepada sosok pengganti. Itulah yang dibaca Basri ketika melawan Neni,” sebutnya.
Lutfi menyebut tidak bermaksud Basri melakukan ‘eksploitasi’ dengan kejadian duka yang menimpa almarhum. Tetapi penunjukkan itu mengubah menjadi energi positif yang lebih besar.
Sementara isu dinasti politik cukup menggerus elektabilitas Neni. Isu ini muncul ke permukaan sejak sebelum pemilihan. Neni yang saat itu menjabat sebagai wali kota, sementara anaknya Andi Faizal Sofyan Hasdam duduk sebagai ketua dewan. Kendati dia dipilih langsung oleh rakyat. “Ini yang menjadi energi negatif sehingga hasilnya seperti ini,” pungkasnya. (*/ak/rdh)
Discussion about this post