bontangpost.id – Membangun jalan tol di luar Pulau Jawa begitu kompleks. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya, lalu lintas harian kendaraan yang berpengaruh pada tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR). Di Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) yang terdiri dari lima seksi, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mengklaim IRR-nya kurang dari 5 persen. Jauh dari angka minimal.
”Syarat komersial pengembalian investasi jalan tol atau IRR, itu di atas 12 atau 13 persen. Jadi perlu dukungan pemerintah. Jadi jalan tol Balsam ini ada lima seksi. Seksi I dan V dikerjakan pemerintah. Menggunakan APBD, APBN dan loan (pinjaman). Dan BUJT mengerjakan Seksi II, III, dan IV,” tutur anggota BPJT Koentjahjo Pamboedi saat menjadi narasumber diskusi “Menakar Kelayakan Tol Balsam: Apa Benar Tarifnya Kemahalan” yang digelar Kaltim Post melalui aplikasi Zoom, Rabu (24/6/2020) siang.
Diskusi yang dipandu Wiji Winarko, direksi di salah satu Kaltim Post Group, diikuti sejumlah narasumber dari berbagai kalangan. Selain Koentjahjo dari Jakarta, juga diikuti Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK, ekonom Unmul Aji Sofyan Effendi, praktisi hukum Unmul Herdiansyah Hamzah, Ketua Appindo Kaltim Slamet Brotosiswoyo dan Direktur Administrasi dan Keuangan PT Jasa Marga Balikpapan Samarinda (JBS) Adik Supriatno.
Acara itu juga disiarkan secara langsung melalui kanal resmi Kaltim Post. Disimak sedikitnya 400 pemilik akun Instagram, dan ditonton lebih dari 1,7 ribu di Facebook. Acara tersebut juga tayang di YouTube. Koentjahjo menegaskan, pembangunan tol di luar Jawa perlu mempertimbangkan pengembalian investasi secara wajar.
Pada Tol Balsam, terdapat dukungan pemerintah sepanjang 33 kilometer di Seksi 1 dan 5. Ruas tol itu berada di Kota Balikpapan. Dalam perjalanannya, sambung Koentjahjo, ada beberapa ruas yang tidak mampu diselesaikan dengan anggaran pemerintah. Akhirnya, pemerintah hanya mampu mengerjakan sekira 28 kilometer. Sehingga sisanya diserahkan ke Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).
“Jadi BUJT yang tadinya 65 kilometer, itu mengerjakan kira-kira 69 kilometer. Untuk gambaran, di Pulau Jawa, BPJT membagi ruas Tol Serang-Panimbang di Banten. Ada 33 kilometer dukungan pemerintah dan 50 km dikerjakan BUJT (Wika),” ucap dia.
Dengan bertambahnya panjang tol yang dikerjakan BUJT, ikut berdampak pada nilai investasi yang digelontorkan membengkak.
Dari awalnya sekira Rp 10 triliun menjadi Rp 11,8 triliun. Sehingga menurut hasil evaluasi BPJT, tarif ideal Tol Balsam sekira Rp 1.290 per kilometernya. Lebih besar dari tarif yang diusulkan pada 2018 lalu. Yakni Rp 1.000 per kilometer. BPJT beralasan, tarif Rp 1.290 per kilometernya ditetapkan karena pemerintah tidak pernah memberikan demand risk atau risiko lalu lintas tol dan revenue risk atau risiko pendapatan.
“Berapa pun traffic yang terjadi, itu harus diterima, diserap risikonya oleh BUJT,” tegas dia.
Selain itu, BPJT juga mempertimbangkan usaha jasa logistik yang melintas di Tol Balsam. Tadinya, tarif untuk golongan yang akan ditetapkan berbeda untuk tiap golongan kendaraan. Mulai golongan I hingga golongan V. Dengan bilangan perkalian terhadap tarif satu setengah kali hingga dua kali dari tarif golongan sebelumnya.
Pada Tol Balsam, tarif kendaraan golongan I untuk jenis kendaraan sedan, jip, pikap/truk kecil dan bus sebesar Rp 75.500 (Samboja sampai Simpang Pasir) dan Rp 83.500 (Samboja sampai Simpang Jembatan Mahkota II). Sedangkan golongan truk dengan 2 gandar hingga 5 gandar atau lebih, tarifnya beragam. Golongan II dan III sebesar Rp 113 ribu- Rp 125.500. Sedangkan golongan IV dan V sebesar Rp 151 ribu-Rp 167.500. Untuk Golongan II dan III disamakan, mengikuti tarif golongan II. Kemudian golongan IV dan V disatukan mengikuti tarif golongan III. Sehingga hanya ada 3 tarif.
“Dan ini membantu di logistik. Kalau kendaraan berat pasti memperhitungkan biaya logistiknya. Mungkin bisa lebih murah. Dibandingkan kalau lima golongan,” terang dia.
Sementara itu, Direktur Administrasi dan Keuangan PT JBS Adik Supriatno mengatakan, semestinya Seksi I dan Seksi V yang dibiayai dengan skema viability gap fund (VGF) selesai lebih dahulu. VGF merupakan dana dukungan tunai infrastruktur menutupi karena kekurangan kelayakan proyek. Sehingga dibangun menggunakan APBD Kaltim, APBN, dan pinjaman dari Tiongkok.
“Akan tetapi, kondisi di lapangan tidak seperti yang dibayangkan,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, hitungan tarif saat perjanjian dengan BPJT, nilai investasi untuk pembangunan Seksi II, III, dan IV (Ruas Samboja-Simpang Pasir Palaran-simpang Jembatan Mahkota II) sekira Rp 10 triliun. Tapi ternyata, saat pengerjaan di lapangan, banyak kendala konstruksi Sehingga membutuhkan penanganan khusus. Akibatnya memerlukan penambahan lingkup pengerjaan.
“Sehingga nilai investasinya bertambah menjadi Rp 11,8 triliun,” terang Adik.
Setelah dilakukan perhitungan, maka tarif untuk Tol Balsam menjadi Rp 1.290 per kilometernya. Apalagi pemerintah tidak memberi jaminan ketika lalu lintas harian kendaraan tidak sesuai dengan kajian yang disusun sebelumnya. Berdasarkan hasil kajian BPJT, lalu lintas harian di Tol Balsam, sekira 11 ribu per harinya. Pada awal pengoperasian tol tersebut, lalu lintasnya sempat mencapai 20 ribu kendaraan.
Kemudian menurun menjadi 15 ribu, lalu 12 ribu, dan akhirnya stabil di angka 10 ribu kendaraan setiap harinya. Lalu menurun di angka 7-8 ribu (pergi-pulang).
“Ada pandemi di awal Maret, mulai turun menjadi 5-6 ribu. Setelan diberlakukan tarif, menjadi sekira 2.500-3 ribu. Ini risiko dari BUJT,” ujar dia. Menurut Adik, pembangunan tol memang berisiko terhadap pengembalian investasi akibat pembebasan lahan yang mundur, lalu lintas di bawah rencana, serta tarif yang tidak sesuai rencana.
Dalam pembangunan Tol Balsam, dia menyebut pembebasan lahan yang direncanakan 2018, ternyata mundur dua tahun. Belum lagi konstruksi di atas atas tanah lunak sehingga memerlukan penanganan khusus. Sementara lalu lintas kendaraan, dari semula 11 ribu kendaraan per hari, anjlok hingga hanya 3.500 per harinya.
“Karena belum normal, akibat pandemi Covid-19 dan pengaruh konsumen yang kaget. Tadinya hampir 6 bulan tarifnya nol rupiah, sekarang diberlakukan tarif,” ujar Adik.
Sedangkan faktor tarif yang tidak sesuai rencana, dengan nilai investasi sekira Rp 10 triliun, maka tarif yang diusulkan pada tahun 2018 adalah Rp 1.000 per kilometer. Begitu ada eskalasi dan hal lainnya, untuk mempertahankan IRR di angka Rp 12 persen, akhirnya ditetapkan tarif sebesar Rp 1.290 per kilometernya.
“Dari situ bisa terlihat, seandainya lalu lintas cenderung turun, akhirnya harapan keuntungan investor terhadap modal yang ditanam akan hilang. Karena adanya kenaikan biaya proyek dan bunga sementara pendapatan tol tidak sesuai dengan perencanaan. Ini sifatnya jangka panjang, Makanya dari BPJT melakukan mitigasi terkait hal ini,” katanya.
Sementara itu, polemik tarif Tol Balsam akhirnya sampai ke telinga Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Keluhan warga Kaltim atas tarif yang dinilai memberatkan tersebut, menjadi salah satu masalah yang dibahas dalam rapat kerja Komisi V DPR RI dengan Kementerian PUPR kemarin siang di Jakarta. Rapat kerja yang digelar di Ruang Rapat Komisi V DPR RI dimulai sekira pukul 11.00 Wita. Setelah menjabarkan terkait aspirasi warga di dapil-nya, anggota Komisi V DPR RI asal Kaltim, Irwan lantas menyampaikan terkait permasalahan penetapan tarif Tol Balsam yang diteken Menteri PUPR pada 29 Mei 2020.
“Ada tuntutan dari masyarakat Kaltim terkait penetapan tarif Tol Balsam. Mungkin mereka berharap ada peninjauan kembali, karena sejauh diberlakukan harga itu, kondisi jalan tol menjadi sepi. Kembali ke jalan nasional antara Samarinda dan Balikpapan,” ucap politikus Partai Demokrat ini di sela-sela rapat kerja, kemarin.
Di akhir rapat kerja dengan Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur dan perhubungan ini, Basuki Hadimuljono merespons aspirasi yang disampaikan wakil Kaltim di Senayan itu.
Pria yang sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum periode 2013-214 ini menjelaskan, jalan bebas hambatan pertama di Kalimantan itu dibangun oleh investor, bukan oleh pemerintah. Maka dirinya harus membicarakan masalah penetapan tarif tersebut dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Dalam hal ini, PT Jasamarga Balikpapan Samarinda (JBS) untuk membahas tarif yang telah diberlakukan sejak 14 Juni 2020 itu.
“Jadi tidak bisa menjadi keputusan pemerintah sepihak. Karena itu menyangkut kepada kepastian investasinya,” kata dia.
Basuki mengatakan, jika pemerintah ingin meminta diskon atau potongan harga terhadap tarif masuk tol. Maka hal tersebut, harus dibahas dengan investor yang mengelola tol tersebut.
“Karena itu menyangkut kepercayaan pasar terhadap investasi di Indonesia,” tandas pria berambut putih ini. (kip/riz/k15/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: