Oleh: Jamaluddin Rosyidi (CEO Bimbel ME, Penggiat Pendidikan Bontang)
Sangat bisa dipahami apabila seseorang ingin memiliki kekhasan (baca:keunggulan) yang membedakan dari orang lain, apalagi itu sesuatu yang baik. Atas dasar itu pula saya yakin wali kota terpilih, Ibu dr. Hj. Neni Moerniaeni, Sp.Og menjadikan Bontang Smart City sebagai visi dan misinya dalam dunia pendidikan menggantikan “Bontang Cerdas” yang identik dengan wali kota sebelumnya, Ir. H. Adi Darma, M.Sc.
Sebagai sebuah strategi diferensiasi tentu saja sah-sah saja hal itu dilakukan dan itu sangat lazim dalam dunia politik. Tapi itu menjadi tidak berarti apabila tidak benar-benar ada perbedaan hanya berhenti pada slogan.
Setelah satu tahun lebih dilantik, timbul pertanyaan, apa ada perbedaan secara signifikan dalam dunia pendidikan kita, khususnya di Bontang? Sebagai pelaku-pengamat pendidikan, saya merasa tidak ada beda yang cukup signifikan baik semasa Bontang cerdas maupun setelah Bontang Smart City. Ataukah saya yang bermasalah karena kurang informasi? Kalau toh ini betul maka rasanya pola komunikasi wali kota dan jajarannya khususnya dalam dunia pendidikan harus dirubah agar menjadi efektif dan efisien.
Sampai saat ini, saya masih belum paham sepenuhnya bagaimana penjabaran dari visi pendidikan kota Bontang dibawah komando ibu wali kota. Apakah nanti pendidikan-pendidikan diarahakan sepenuhnya ke pendidikan teknologi informasi sehingga lahir sumberdaya manusia yang mumpuni di bidang IT sehingga nantinya mampu menjadikan bontang sebagai kota yang full of technology? Ataukah Smart yang seperti apa?
Smart berasal dari bahasa inggris yang kemudian kalau ditransliterasikan ke bahasa kita menjadi cerdas, pintar dan bijak. Terus apa bedanya? Kita tidak akan terjebak pada perdebatan diksi – bahasa. Yang lebih penting adalah bagaiamana mengejewantahkan visi pendidikan itu menjadi nyata, bukan sekedar visi yang utopis.
Sejenak, mari kita tengok hiruk pikuk lini masa dalam dua- tiga minggu terakhir tentang seorang bocah asal Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Naufal Raziq. Naufal -demikian sapaanya, diusianya yang baru 15 tahun, mampu memotret permasalahan yang ada di desanya kemudian dengan “keterbatasan” keilmuan yang dimilikinya, mampu menghadirkan solusi sederhana, yang harus diakui belum sempurna. Idenya untuk menggunakan pohon kedondong (Spondias dulcis)sebagai alternatif sumber energi listrik berhasil menarik minat banyak pihak.
Naufal adalah salah satu “contoh sempurna” untuk model pendidikan yang ditawarakan oleh Paolo Freire dalam Pedagogy of the Opressed nya. Problem Based Education. Pendidikan berbasis masalah. Pendidikan yang kemudian menghadirkan solusi-solusi bagi problematika. Pendidikan yang memberdayakan mereka yang tertindas atau terlemahkan -baik oleh keadaan maupun sistem- sehingga menjadi mandiri dan berdaya.
Praktik pendidikan yang kita jalankan saat ini -termasuk di Bontang- seperti kritik Freire adalah pendidikan model Bank. Dimana peserta didik kebanyakan hanya menyimpan (baca: menghafal) materi pelajaran dan seringkali tidak mengerti. Materi-materi yang disajikan pun seringkali lepas dari realitas sosial sekitar. Akibatnya siswa menjadi teralienasi -terputus- dari lingkungannya. Nah disini perlu visi misi yang jelas, bahkan sampai tataran praksis nya. Sekali lagi mau dibawa kemana pendidikan kota Bontang?
Perlu disadari bahwa Bontang dengan wilayah laut yang mencapai 70% merupakan potensi dan bisa juga masalah sekaligus. Nah dari kesadaran itulah seyogyanya visi dan misi pendidikan di Bontang dibangun. Kalau ada alasan bahwa kita terikat dengan sistem pendidikan nasional, bukankah sistem pendidikan nasional mengakomodasi muatan lokal. Nah kalau tidak berani mengubah secara radikal, kenapa tidak dimasukkan dalam muatan lokal yang sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Satu contoh kelatahan pendidikan kita adalah misalnya yang terjadi di SMKN 2, SMK kelautan. Cobalah tengok jurusan apa yang ada disana? Ada jurusan mesin otomotif misalnya. Ada pula jurusan Teknologi informasi yang pada praktiknya jauh dari dunia laut itu sendiri! Apa itu salah? tergantung anda melihatnya. Bisa benar dengan dalih bahwa dunia otomotif dan teknologi informasi sangat dibutuhkan kedepan. Tapi bisa salah apabila sekali lagi itu menjauhkan peserta didik dari dunianya.
Ada jalan tengah yang bisa diambil seharusnya. Misalkan bagaiamana jurusan mesin otomotif itu kemudian dialihkan menjadi mesin kapal, bahkan bila perlu jurusan desain kapal. Sehingga kedepan bisa lahir sumber daya manusia yang bisa memajukan industri maritim di Bontang khususnya. begitupun dengan jurusan tekologi informasi, siswa-siswanya juga diberikan kesadaran bahwa mereka bisa menciptakan aplikasi atau program-program yang nantinya diarahkan untuk mendukung industri maritim di kota Bontang.
ketika pak presiden kita, Pak Jokowi, sudah menyadari potensi besar Indonesia sebagai negara maritim dan kemudian perlahan menggeser paradigma pembangunan dari darat menuju laut. Bagaimana dengan Bontang? Mudah-mudahan defisit anggaran yang terjadi saat ini bisa memantik kesadaran bahwa sudah saatnya Bontang mengandalkan sektor maritimnya sebagai fondasi ekonominya. Tentu saja itu harus dimulai dengan menyiapkan sumberdaya manusia yang mumpuni. Maka sekali lagi visi misi Smart City yang seperti apa yang diharapkan? (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: