BONTANGPOST.ID, Sangatta – Wacana pembinaan karakter generasi muda menjadi sorotan di Kutai Timur. Gagasan itu muncul dari pejabat daerah yang menilai perlu adanya langkah serius untuk membentuk kepribadian remaja di sekolah.
Namun, rencana tersebut justru menimbulkan beragam reaksi, terutama dari kalangan pemuda yang menilai pendekatan pemerintah perlu lebih berhati-hati.
Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Mahyunadi, mewacanakan pendataan terhadap siswa laki-laki yang dianggap berperilaku seperti perempuan atau gemulai.
Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari upaya pembinaan agar generasi muda tumbuh dengan karakter kuat dan berani. “Ada potensi kami akan mendata. Bukan hanya mendata, bahkan mensosialisasikan ke sekolah-sekolahan,” ujar Mahyunadi usai menghadiri Festival Pemuda Kreatif 2025 di Lapangan Helipad, Bukit Pelangi, Minggu (9/11) malam.
Ia menegaskan, pendataan itu tidak bermaksud memberi stigma, melainkan sebagai bentuk perhatian khusus bagi siswa yang dianggap perlu diarahkan kembali pada perilaku yang sesuai dengan karakter pemuda menuju generasi emas 2045.
“Yang salah arah akan kami lihat. Pemuda harus gagah dan berani, bukan berarti yang gemulai itu tidak bagus,” tambahnya.
Dalam keterangannya, Mahyunadi juga sempat menggunakan perumpamaan tentang “kucing belang tiga” untuk menggambarkan pandangannya mengenai perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan.
“Tahu tidak kenapa kucing belang tiga itu dibunuh bapaknya? Mitosnya karena dia mau jadi raja. Tapi kucing belang tiga yang jantan itu kesalahan gen, cenderung kewanitaan. Karena yang bersolek itu hanya betina. Jadi kalau laki-laki bersolek, kucing saja bunuh anaknya,” tutur Mahyunadi.
Wacana tersebut langsung mendapat tanggapan dari kalangan pemuda. Marsyah, Duta Pemuda Kutim 2025, menilai rencana pendataan perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak sosial negatif.
“Kalau didata, pasti data itu akan tersebar. Sebagai pemuda, misalnya yang terdata pasti akan malu. Mungkin boleh didata, tapi jangan disebarkan,” kata Marsyah.
Ia menambahkan, pendekatan yang lebih edukatif dan solutif akan jauh lebih efektif dibanding sekadar pelabelan atau penilaian moral.
“Kalau sudah didata, bisa dikasih pelatihan supaya mereka berubah pelan-pelan. Diajarkan bagaimana caranya agar bisa lebih percaya diri tanpa harus gemulai,” ujarnya.
Menurut Marsyah, fenomena perilaku gemulai bukan hanya terjadi di kalangan pelajar, melainkan juga di masyarakat umum.
Karena itu, pembinaan yang dilakukan pemerintah sebaiknya menyentuh semua lapisan dan tidak bersifat diskriminatif.
“Enggak cuma siswa. Di luar sana banyak juga, bahkan yang sudah dewasa. Jadi pembinaannya sebaiknya menyeluruh,” imbuhnya.
Ia memastikan, pihaknya siap berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menjalankan program pembinaan yang berpihak pada generasi muda.
“Kami sangat siap, karena sebagai Duta Pemuda kami ingin anak-anak muda di Kutai Timur berkembang lebih baik,” tutupnya. (KP)




