GEMPURAN informasi di masa sekarang berbeda 180 derajat dari 10-20 tahun sebelumnya. Setiap membuka media sosial (medsos) seperti Facebook, berbagai jenis informasi selalu tersedia dengan mudahnya. Mulai dari isu-isu nasional, olahraga, hingga internasional.
Padahal, beberapa dekade sebelumnya, setiap informasi yang tersedia harus merogok kocek terlebih dahulu, atau menonton program berita televisi dan radio yang jumlahnya masih terbatas.
Namun, jika melihat dengan seksama, ada keganjilan dalam informasi-informasi yang kini beredar luas tersebut. Dengan menggunakan nama yang mirip dengan media mainstream saat ini, mereka seperti hendak mendompleng keterkenalan dan nama besar dari media tersebut.
Tapi saat beritanya di-klik, isinya berbeda nyaris 180 derajat. Bukan lagi menginformasikan, namun lebih menjurus memprovokasi. Ya, begitulah model dan rupa media hoax yang kini bertebaran, tak hanya di dunia maya, tapi juga di kenyataan.
“Itu kan hanya di internet, kok sampai juga di dunia nyata?” Bagaimana tidak masuk dalam kehidupan sehari-hari, wong nyatanya banyak pengguna medsos dan netizen yang masih masuk dalam perangkap hoax tersebut.
Seolah sudah terprovokasi, dengan rasa emosi mereka turut menyebarkan link berita tersebut, beserta status yang juga memprovokasi. Karena rasa penasaran, akun medsos yang lain pun turut membukanya, dan tak sedikit pula yang akhirnya ikut terprovokasi, kemudian menyebarkannya kembali. Ya, ibarat lingkaran setan yang tak pernah terputus.
Kenapa fenomena media hoax begitu masif saat ini? Dari beberapa teori media dan komunikasi menyebutkan, kemunculan suatu media baru biasanya akan disusul dengan anomali informasi dan media. Anomali tersebut bisa berupa masifnya pemberitaan yang tak karuan sumbernya, sehingga mengakibatkan bias informasi di masyarakat.
Hal ini sudah terbukti, di Amerika sekitar 1940-an saat televisi mulai masuk dalam kehidupan sehari-hari, berbagai stasiun televisi dan program siaran bertebaran. Meledaknya jumlah media dan program siaran tersebut membuat masyarakat dibuat bingung dengan kebenaran informasi sesungguhnya.
Akibatnya, chaos pun terjadi. Pemerintah setempat didesak membuat regulasi tentang pertelevisian. Usai aturan dan penindakan dilakukan, barulah media mulai tertib, masyarakat kembali diberi haknya mendapatkan informasi yang benar.
Anomali tersebut kembali terjadi saat 1960-1980-an, ketika intenet sudah mulai dikenal di Amerika. Berbagai media-media baru pun bermunculan, disusul dengan meledaknya informasi saat itu.
Hal itu kembali mengakibatkan bias informasi di masyarakat, dan chaos pun terjadi lagi. Pemerintah, kemudian baru mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang media online di negaranya. Lagi-lagi, bom informasi kembali berhasil dijinakkan.
Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia. Yang paling nyata terlihat adalah saat 1997-1998, kala reformasi bergulir. Bukan hanya peran dari mahasiswa saat terjadinya reformasi, namun juga peran media televisi swasta yang saat itu mulai bermunculan.
Mulai melunaknya aturan pendirian televisi swasta kemudian dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi seputar reformasi kepada masyarakat. Pun peran media bawah tanah yang didirikan oleh organisasi dan gerakan yang menentang pemerintahan saat itu juga bertebaran di dunia nyata.
Bom informasi meledak hebat kala Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terbit. Kran kebebasan pers yang dibuka sebebas-bebasnya oleh pemerintah membuat ratusan hingga ribuan media baru muncul dalam kurun waktu 1999-2001.
Mulai yellow journalism hingga yang menampilkan “paha-dada” terbit dengan bebas di bumi Indonesia. Barulah, setelah ledakan media dan informasi yang begitu besar, sedikit demi sedikit pemerintah mulai mengaturnya. Bahkan, dari ribuan media itu, kini hanya ratusan yang bertahan hidup.
Apalagi di tengah dunia digitalisasi saat ini. Kala media online mulai mewarnai keberagaman informasi di Indonesia mulai 2009-2010, media cetak sedikit demi sedikit mengalami penurunan. Hanya yang mampu berinovasi dan melahirkan produk berkualitas saja yang mampu bertahan hidup. Semua sudah digantikan dengan media online yang sebar instan, cepat, mudah dibaca, dan ringkas.
Namun, media online kini kembali menjadi anomali di negeri ini. Banyaknya situs-situs yang menamakan dirinya situs berita bertebaran dengan bebas. Memang, untuk media online sudah dibekali dengan panduan media siber oleh Dewan Pers. Tapi tak mencegah personal blogger turut meramaikan pasar informasi online di Indonesia kali ini.
Riuhnya informasi saat ini membuat masyarakat benar-benar dibuat bingung. Masyarakat, nyaris tak bisa lagi membedakan mana berita yang benar, dan mana berita yang salah. Berita benar dianggap salah, berita hoax dianggap benar. Benar-benar kebalik negeri ini.
Untuk mencegah anomali media ini berkepanjangan, maka perlu langkah preventif dan represif dari masyarakat dan pemerintah. Langkah preventif, dengan memasukkan dalam kurikulum tentang literasi media. Dimana setiap masyarakat, terutama usia sekolah mendapat pengetahuan bagaimana menggunakan gadget dan media dengan baik, berselancar di internet dengan aman, dan terbebas dari gangguan berita hoax yang bertebaran.
Pun dengan langkah represif, tak hanya penindakan secara hukum namun dengan sanksi sosial. Secara hukum, biarlah kepolisian yang berwenang dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru saja direvisinya.
Tapi, sanksi sosial lebih mengena daripada sanksi hukum. Bagaimana caranya, cukup tidak membuka blognya, tidak ikut-ikutan share berita dari medianya yang diyakini menyebarkan berita hoax, maka tamatlah riwayatnya.
Terkesan kejam? Mungkin iya. Namun, ini jadi cara efektif bagaimana terbebas dari ancaman hoax yang beredar di sekeliling kita. Percaya dengan media yang benar-benar diyakini kredibilitasnya, juga jadi tameng yang akan melindungi kita dari informasi hoax tersebut.
Seperti sudah diceritakan oleh orang-orang bijak dan paham ilmu agama, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Ikut menyebar fitnah, berarti sama saja ikut membunuh. Jadi, apakah anda rela ‘mengotori’ jari-jari anda hanya karena membagikan berita hoax yang tak diyakini kebenarannya? (***)
Sumber: Bontang.prokal.co
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post