Di penghujung tahun 2012 lalu, seorang lelaki yang dikenal sebagai lokomotif Indonesia Mengajar menapakkan kakinya di Makassar. Kehadiran pria berbadan tinggi besar itu dalam rangka memotivasi para pemuda tanah daeng supaya ikut ambil bagian mendidik para pelajar di berbagai pelosok daerah di tanah air.
Sebuah ruangan dengan lebar 8 meter dan panjang 20 meter di gedung Wisma Kalla, atau yang juga dikenal sebagai Kalla Tower menjadi saksi bagaimana mantan rektor termuda Universitas Paramadina Jakarta tersebut, mengajak dan mendorong anak muda supaya berperan langsung dalam membangun bangsa Indonesia.
Di bawah atap gedung setinggi 70 meter yang dibangun di atas lahan seluas 5.363 meter persegi tersebut, lelaki yang menyandang predikat sebagai salah satu rektor termuda tanah air itu mencerca nalar dan logika anak muda yang hadir di forum itu –kebanyakan di antaranya adalah perwakilan mahasiswa dari berbagai kampus dan jurusan di Makassar-, bahwa kemajuan bangsa sangatlah ditentukan dari garis spirit generasi bangsanya.
Bagi saya, ceramah yang demikian hal yang lumrah dilakukan seorang motivator, pakar, ilmuan, dan sebagainya. Sampai tiba kesempatan saya diberikan kesempatan bertanya pada lelaki yang pernah merasakan jabatan Menteri Pendidikan di kabinet kerja presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla tersebut, logika saya banyak dan bahkan semuanya, bisa dikatakan berubah.
Mula-mula dalam kesempatan itu, saya mencerca berbagai keresahan saya tentang betapa pendidikan saat itu, bahkan mungkin sampai sekarang, tak ubahnya hanya lembaga perbankan yang diformalkan atas nama pendidikan. Di mana, pola asuh pendidikan dunia kampus, menurut saya kala itu, sekedar sebuah rutinitas untuk mendapatkan embel-embel yang disebut gelar sarja, atau selembar kertas bernama ijazah. Sesuatu yang menurut saya dikala itu, bahkan sampai saat ini, walau tidak semuanya, benar-benar tidak mencitrakan bahwa pendidikan adalah ladang untuk mendidik dan memanusiakan manusia. Begitulah jika saya harus meminjam istilah penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah, Eko Prasetyo.
Singkat cerita, setelah mengobrak-abrik cercayaan pertanyaan saya dengan jawaban lugasnya, lelaki itupun lalu bertanya balik kepada saya, bahkan kepada ratusan pelajar dan mahasiswa yang hadir di acara tersebut. Pertanyaannya pun cukup singkat dan padat, kurang lebih seperti ini seingat saya. “Menurut kalian, apa kekayaan terbesar yang dimiliki bangsa ini dan belum tergali secara baik?” demikian tanyanya.
Mendengarkan hal itu, saya merasa bahwa pertanyaan itu sesuatu yang gampang, bahkan oleh anak sekolah dasar pun pasti mengetahui jawabannya. Bahkan dalam hati saya pun berketus, “Ah, rasanya siapapun bisa menjawabnya,”. Nah, tanpa rasa ragu dan penuh kepercayaan diri, saya lantas menjawab, “Tentu kekayaan terbesarnya bangsa Indonesia adalah sumber daya alam (SDA)-nya, seperti emas, batu bara, serta minyak dan gas.”Anehnya, hampir sebagian undangan yang hadir di acara itu satu suara dengan saya dan menganggukkan kepala, sebagai isyarat membenarkan jawaban tersebut.
Singkatnya, pria yang saat ini dikenal sebagai orang nomor satu di tanah Betawi itu menjawab, “Iya, jawabannya sudah sangat bagus. Tapi masih belum tepat,” ucapnya. Sejenak keheningan menyelimuti ruangan. Para peserta acara sontak terdiam dan rasa-rasanya mencoba berpikir sejenak. “Lalu kekayaan apa yang dimiliki Indonesia selain SDA?” demikian saya mencoba menebak alur pemikirannya.
“Kekayaan terbesar bangsa ini, memang SDA-nya, tapi tahukah kalian bahwa kekayaan tersebut adalah sesuatu yang sifatnya semu. Bisa habis kapanpun. Apalagi jika disalahgunakan. Emas, batu bara, minyak dan gas, jika ditambang secara terus menerus, maka lambat laut akan habis. Kalau sudah seperti itu, maka hilanglah kekayaan bangsa ini,” tutur Anies Baswedan dikala itu.
Mendengarkan jawaban itu, semua peserta pada acara itu semakin hening dalam pemikiran masing-masing. “Kekayaan terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia, yang belum dijamah dengan baik, yang disadari keberadaannya namun belum dilirik dan digarap secara serius adalah sumber daya manusia (SDM)-nya. Isi alam kapanpun bisa habis. Tetapi sumber daya manusia akan selalu ada dan tidak akan pernah habis,” sambung pria yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Sebuah negara kecil di tanah asia, Jepang, begitulah orang sudah mengenalnya, menjadi salah satu sampel Anies Baswedan pada pertemuan itu. Menurutnya, Japang tidak dibesarkan di atas SDA yang melimpah ruah layaknya Indonesia. Namun lihatlah sekarang, bagaimana Jepang menjadi salah satu negara yang sangat diperhitungkan di belahan negara Asia, bahkan Eropa.
Kemajuan dan kesuksesan Jepang, tidak ditempa di atas logika komsumsi SDA. Tetapi dibangun dan dilahirkan dari rahim kualitas sumber daya manusia yang handal dan mumpuni. Salah satu yang mendobrak kemajuan itu, yakni sistem pendidikan yang dianut. Termasuk falsafah hidup, atau yang karib dikenal di tanah air sebagai pendidikan berkarakter, baik yang bersifat formal ataupun non formal, adalah kunci di balik kejayaan dan kemajuan negara Jepang.
“Jika Jepang bisa, mengapa generasi bangsa Indonesia tidak bisa. Mereka makan dan minum layaknya orang Indonesia. Lalu mengapa mereka bisa maju dan kita tidak? Kunci menuju itu, Indonesia harus lepas dari ketergantungan akan sumber daya alam, saatnya memajukan sumber daya manusianya. Benahi pendidikannya. Benahi tata lingkungan masyarakatnya. Ciptakan kondisi pendidikan yang mencerdaskan dan bersahabat bagi generasi bangsa Indonesia,” serunya.
Di balik pernyataan ini, saya menangkap secara gamblang, maju dan tidaknya sebuah negara, tidaklah diukur dari seberapa banyak dan melimpah ruahnya SDA sebuah bangsa. Tetapi dilihat dan ditentukan dari seberapa besar kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki sebuah bangsa dan negara tersebut. Ibarat kata awam, “Di atas sampah masih ada yang hidup. Namun sampah hanya akan jadi sampah jika dilihat dari kaca mata sampah. Sebaliknya, sampah akan bermanfaat bila manusianya melihat itu dalam sudut pandang kreatifitas dan produktifitas,”.
Nah, lalu bagaimana dengan Kalimantan Timur (Kaltim), tanah yang dikenal sebagai lumbungnya SDA, bahkan menjadi salah satu jantung ekonomi bangsa Indonesia? Saya kira, pertanyaan itu tidak perlu saya jelaskan secara panjang lebar. Biarlah pembaca melihat dan menerawang itu secara langsung! (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: