bontangpost.id – Keberadaan industri ekstraktif mengumbar janji, bahwa keberadaanya memberi manfaat bagi masyarakat. Namun nyatanya, eksplorasi besar-besaran dan nyaris tak terkontrol hanya menghasilkan kerusakan lingkungan. Demikian pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan nonton bareng (Nobar) dan diskusi (Nobardisk) dua film dokumenter karya Watc Doc, Anak Santan dan RT 24.
Kegiatan tersebut digelar Sabtu (9/1/2021) lalu. Nobardisk yang diinisiasi lintas organisasi dan komunitas di Bontang itu dihadirkan untuk mendorong kesadaran publik akan isu-isu yang terjadi di sekitar. Dalam agenda perdana ini, dua narasumber dihadirkan. Yakni dosen Sosiologi Universitas Mulawarman, Sri Mulyanti. Serta salah satu pendiri, Tani Muda Santan, Taufik yang juga bertugas memantik jalannya diskusi.
Taufik, yang juga terlibat dalam film dokumenter Anak Santan, menjelaskan film tersebut menggambarkan bagaimana keadaan warga Santan sebelum dan sesudah bersinggungan langsung dengan industri ekstraktif (Tambang).
“Ini hanya sedikit dari banyaknya gambaran dampak yang kami rasakan,” jelasnya memancing diskusi.
Sungai santan, lanjut Taufik menjadi salah satu subjek yang menjadi bagian penting dalam film. Sungai tersebut disebutkan menjadi saksi perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di desa Santan karena pertambangan.
“Bagaimana sungai yang awalnya menjadi urat nadi kehidupan desa, kini bahkan hampir tidak bisa digunakan. Belum lagi, satwa buas yang liar (Buaya) sudah berkeliaran karena kegiatan pertambangan di hilir,” lanjutnya.
Bahkan dalam film itu diketahui, sejak tahun 2007 telah terdapat 10 orang korban tewas diterkam buaya. Menurut Taufik itu merupakan dampak kegiatan salah satu perusahaan pertambangan, yang masuk dan beroperasi sejak 1997 lalu.
“Alur sungai yang berubah, tentu membuat satwa-satwa liar termasuk buaya, juga terusik. Dan ini kami duga menjadi faktor kenapa buaya mulai masuk ke sungai kami. Padahal dulunya, sungai ini menjadi tempat minum, berenang dan interaksi sosial masyarakat desa,” terangnya.
Tak hanya itu, perekonomian warga, yang awalnya memanfaatkan sektor pertanian, perlahan mulai berubah. Hal itu, karena banyak masyarakat yang banting stir untuk bekerja di perusahaan.
“Tapi taraf kesejahteraan warga desa juga tidak berubah,” terangnya.
Berangkat dari kondisi ini, ia bersama pemuda santan lainnya, membangun organisasi Tani Muda Santan. Dia mulai menata kembali dan mengorganisir warga desa. Hal itu, untuk mengajak masyarakat memulihkan kondisi perekonomian, tanpa ketergantungan industri yang ia sebut menghadirkan kesejahteraan ilusi.
“Kami mencoba untuk kembali menghidupkan kepercayaan diri masyarakat. Caranya, dengan kembali mengajak masyarakat menghidupkan sektor pertanian,” terangnya.
Sri Mulyanti, sebagai Dosen Sosiologi, melihat hal ini, sebagai potensi yang harusnya juga di terapkan oleh daerah lain. Bontang, ia sebut bisa mulai mengambil langkah serupa.
“Seperti pemanfaatan ikan bawis. Jika diolah dengan baik, ini bisa menjadi industri yang menjanjikan,” katanya.
Menurutnya, Bontang perlu mempersiapkan sumber ekonomi yang terlepas dari industri ekstraktif. Kota Bontang, yang disebut besar karena migas ia nilai bukan sumber ekonomi daerah yang menjanjikan.
“Ini sumber daya terbatas, dan suatu saat nanti kita harus bersiap untuk lepas dari itu,” sebutnya
“Apa yang dilakukan masyarakat di dua film ini, perlu menjadi perhatian,” tandasnya.
Kegiatan ini, diinisiasi oleh delapan Stakeholder yang ada di kota Bontang. Mulai dari organisasi, Forum Jurnalis Bontang (FJB), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Satuan Pelajar Mahasiswa Pemuda Pancasila (Sapma PP).
Selain itu, Komunitas Berbuat Saja (Kombes) Komunitas Belajar (Kobar), Burasa Id, Helas Shoes Clean, Burasa Shoes Clean, juga ikut mendukung kelancaran kegiatan. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post