SAMARINDA-Kasus pembakaran bendera yang dilakukan oknum anggota Banser di Garut Jawa Barat, hingga kini masih menuai polemik di Indonesia. Buntut dari kasus tersebut yakni demonstrasi dan pengibaran bendera di sejumlah daerah.
Sebagian umat Islam di Kaltim ikut menuntut agar ada tindakan hukum atas kasus pembakaran simbol yang diklaim bendera Nabi Muhammad itu. Aksi damai yang berlangsung pada Jumat (26/10) itu berlanjut dengan pengibaran bendera berlambang kalimat tauhid tersebut di depan kantor gubernuran Kaltim.
Pengibaran bendera ini menjadi isu nasional yang kini menjadi perbincangan di jagat maya. Bahkan, beberapa waktu lalu perwakilan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mempertanyakan pengibaran itu pada Gubernur Kaltim, Isran Noor.
Rabu (31/10) malam, Isran Noor ikut dalam pusaran diskusi di salah satu stasiun televisi nasional yang dipimpin presenter kondang, Najwa Shihab. Dalam acara itu hadir Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy.
Romahurmuziy menyebut, kasus tersebut berlanjut karena diduga terdapat oknum yang sengaja menungganginya untuk kepentingan politik. Terlebih saat ini momentum politik pada tahapan pemilu 2019 sedang berlangsung alot antara kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
“Siapapun dapat menerka itu. Walaupun banyak yang menolak anggapan saya. Tetapi yang pasti, ada yang mengambil manfaat di balik kasus ini,” tuturnya.
Kata dia, berkembangnya gerakan kelompok tertentu dalam kasus tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa ada kubu yang ingin memanfaatkan momentum itu untuk mendapatkan keuntungan politis.
Karenanya, sebagai negara yang berlandaskan hukum, mestinya kasus pembakaran bendera itu dapat diselesaikan di meja hijau. Tanpa disertai dengan gerakan massa yang justru memperkeruh keadaan.
Romahurmuziy menyarankan agar tidak ada lagi pengibaran bendera yang bergambar kalimat tauhid tersebut. Seluruh elemen bangsa diminta menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menghormati bendera merah putih sebagai satu-satunya simbol negara.
“Pada konteks inilah, karena liwa dan roya itu selalu dikatakan dengan bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia, Red.), pada sisi yang lain, waktu demonstrasi, orang-orang HTI selalu membawa bendera itu,” ucapnya.
Terdapat perbedaan pandangan terkait kepemilikan bendera tersebut. Satu sisi diklaim sebagai simbol tauhid yang pernah digunakan Nabi Muhammad. Di lain sisi, dianggap sebagai bendera organisasi terlarang HTI.
Dia berpendapat, bendera tersebut acap kali digunakan HTI dalam setiap demonstrasi dan pertemuan akbar. Sehingga dirinya heran jika belakangan ini bendera yang dibakar, dikibarkan, dan dibawa dalam aksi itu tak diakui sebagai milik HTI.
“Pembawa bendera yang dibakar itu juga mengaku bendera HTI. Pada titik ini, kita percaya atau tidak. Kalau kita tidak percaya pada yang membawa bendera, ya repot. Karena yang membawa bendera itu sudah mengakui demikian,” tegasnya.
Gubernur Kaltim, Isran Noor mengatakan, kasus pengibaran bendera tersebut telah diklarifikasi pada perwakilan Kemendagri. Sehingga di Kaltim, kasus itu tidak lagi dipermasalahkan layaknya di tingkat nasional.
Selain itu, pengibaran bendera di depan kantor gubernuran itu atas inisiatif demonstran. Pada saat menerima massa aksi, dirinya tidak melihat bendera itu dikibarkan.
Mantan Bupati Kutai Timur itu mengaku salah telah membuat undangan untuk HTI dalam pertemuan dengan seluruh pimpinan organisasi Islam di Kaltim. “Itu kesalahan saya. Tidak melakukan koreksi. Saya tanda tangan saja undangan itu,” katanya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: