BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim menyebut ada potensi kekacauan dalam pelaksanaan Pilgub Kaltim 2018 mendatang. Apabila anggaran yang dikucurkan tidak sesuai dengan kebutuhan tahapan pilgub. Ditambah bila komitmen untuk menanggung biaya penyelenggara ad hoc tidak terpenuhi.
Komisioner Bawaslu Kaltim Haerul Akbar menyebut nasib Bawaslu tidak seberuntung KPU Kaltim. Bila KPU Kaltim sempat duduk bersama TAPD Pemprov Kaltim untuk membahas anggaran, Bawaslu malah sebaliknya. Sampai saat ini, belum ada pembahasan antara Bawaslu dengan pemprov terkait anggaran untuk pilgub yang ditujukan bagi Bawaslu.
“Bawaslu belum pernah diundang sama sekali untuk membahas anggaran,” kata Haerul dalam audiensi dengan Komisi I DPRD Kaltim, Rabu (26/7) kemarin.
Dia mengungkap, sebenarnya Bawaslu sudah bersurat kepada pemprov menawarkan untuk segera melakukan pembahasan anggaran. Namun tawaran ini tidak diterima TAPD. Alasannya, Pemprov tidak memiliki waktu untuk melakukan pembahasan anggaran dengan Bawaslu. Seakan-akan Bawaslu dianggap tidak ada oleh TAPD.
“Kami yang berinisiatif membahas anggaran karena ada surat edaran mendagri nomor 273. Yang meminta ada pembahasan antara KPU, Bawaslu dan pemprov. Di pembahasan itulah diputuskan berapa kebutuhan yang semestinya dituangkan dalam NPHD. Nyatanya sampai sekarang belum pernah,” bebernya.
Dijabarkan Haerul, anggaran awal yang disusun Bawaslu sesuai perhitungan sebenarnya mencapai Rp 106 miliar. Namun saat mendengar pemprov siap berkoordinasi dengan kabupaten/kota untuk menanggung biaya sewa yang dibutuhkan Panwaslu, angka itu pun mengalami rasionalisasi hingga turun di nominal Rp 90 miliar.
Biaya sewa yang di antaranya meliputi sewa kantor dan mebeler ini punya peran vital dalam kinerja panwaslu di daerah. Sehingga bila tidak terpenuhi, bisa menimbulkan kekacauan. “Kalau nanti pemprov tidak mampu memenuhi janjinya agar kabupaten/kota menyediakan kantor dan kebutuhan lainnya, bakal menjadi persoalan. Misalnya di mana panwaslu akan berkantor,” tambah Haerul.
Lantas kemudian, secara tiba-tiba Bawaslu dihadapkan pada anggaran Rp 40 miliar dari pemprov yang tertiang dalam NPHD. Bawaslu diminta menandatangani NPHD yang menerangkan anggaran Bawaslu selama pilgub itu. Sementara selama ini tidak pernah ada pembahasan terkait rincian anggaran tersebut. Maka kata Haerul, wajar bila Bawaslu lantas menyorot pemprov.
“Siapa yang akan menanggung risiko bila ada masalah di kemudian hari bila anggarannya tidak mencukupi. Kami tidak mau mengambil risiko ini,” ungkapnya.
Sehingga, Bawaslu memutuskan tidak menandatangani NPHD selama tidak ada pembahasannya. Kata dia, anggaran berapa pun dari pemprov bakal diterima, selama itu dibahas dan menemukan angka yang tepat. Sementara faktanya, angka Rp 40 miliar muncul begitu saja tanpa melalui pembahasan dengan Bawaslu. Angka ini pun berada di bawah perhitungan Bawaslu.
“Jangankan Rp 90 miliar, Rp 10 miliar pun kami terima sepanjang itu dibahas dan ketemu angkanya segitu. Tapi ini tidak pernah dibahas tiba-tiba keluar angka Rp 40 miliar. Dari mana dasarnya ini? Dan kami dipaksa diundang untuk menandatangani NPHD,” jelas Haerul.
Dia pun menyesalkan TAPD yang sampai saat ini bertahan dengan pernyataan tidak ada waktu lagi membahas anggaran bersama Bawaslu. Padahal menurutnya, pemprov lebih punya kepentingan terhadap pilgub bila dibandingkan dengan KPU dan Bawaslu. Kata Haerul, Bawaslu tidak dirugikan bila pilgub tidak berjalan. Sebaliknya, bisa fokus pada pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
Masalah ini sempat dilaporkan Bawaslu Kaltim ke Bawaslu RI. Diketahui, di tingkat provinsi hingga saat ini tinggal Kaltim saja yang belum menandatangani NPHD. “Pekan lalu Papua sudah menandatangani, Bali sempat tersendat tapi akhirnya ditandatangani. Di Kaltim, jangankan menandatangani, Bawaslu sampai saat ini belum membahas,” tegasnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: