JAKARTA – Anak teroris belum tentu akan menjadi teroris. Karena itu, jangan kucilkan mereka. Jangan diskriminasi mereka. Imbauan tersebut perlu lebih gencar disampaikan. Sebab, masih banyak orang-orang yang berlaku diskriminatif pada anak-anak terduga teroris.
Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sekitar 500 teroris yang ditahan di lembaga pemasyarakatan se-Indonesia pada 2018. Nah, anak-anak mereka ternyata mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Total anak-anak teroris yang terdiskriminasi itu jumlahnya sekitar 1.800 orang. Jenis diskriminasinya macam-macam. Ada yang dikucilkan dalam pergaulan, diremehkan, hingga dikeluarkan dari sekolah.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ali Khasan menuturkan, anak-anak tersebut seharusnya mendapat pendampingan. ”Sangat perlu mendapat bantuan psikologi. Tidak hanya anak korban atau saksi saja,” terangnya. Pernyataan itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Peraturan tersebut menyatakan, semua anak Indonesia berhak mendapatkan prasarana yang lebih baik. Seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, bahkan advokasi. Sebab, anak adalah fase yang mudah dipengaruhi. Baik oleh orang tua, teman, guru, dan masyarakat.
Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin anak-anak pelaku tersebut semakin terseret paham radikalisme. Apalagi, orang tua mereka adalah pelaku teror. Padahal, orang tua adalah sosok yang mengasuh, mendidik, hingga menanamkan karakter dan nilai budi pekerti kepada anak.
Anak akan makin terdiskriminasi jika lingkungan sekitar mereka memberi pelabelan buruk pada mereka. Akibatnya, anak pelaku teror tidak mau bersosialisasi dan tidak peduli. Mereka juga tidak dapat menghargai perbedaan.
Apalagi, anak pelaku terorisme pada umumnya memiliki semangat beragama yang tinggi. Namun, mereka kurang memahami secara utuh. Hanya menuruti apa kata orang tuanya. Mereka menganggap Pancasila merupakan ideologi yang kurang tepat. Pemerintah seolah gagal menyejahterakan rakyat. Masih banyak orang miskin, korupsi, dan ketidakadilan. Sebab, Indonesia menganut sistem demokrasi yang tidak sesuai dengan ideologi mereka. ”Mereka ingin punya paham eksklusif. Tidak ada perbedaan. Ajaran agama diputarbalikkan dari yang seharusnya,” urai Khasan. Lama-lama, anak tersebut tidak mau mendengar nasehat orang lain dan cenderung memberontak. Bahaya.
Karena itu, Kementerian PPPA akan menyiapkan peraturan menteri (permen) terkait pedoman perlindungan anak dari radikalisme dan terorisme. Draft rancangan permen sudah dibuat sebanyak 75 halaman. Khasan berharap, permen itu membuat koordinasi kementerian dengan lembaga pemerintahan terkait bisa lebih baik. Pemerintah nantinya memberikan rehabilitasi fisik, psikis, dan sosial selama pendampingan. Selain itu, memberikan pendidikan mengenai ideologi dan nilai kebangsaan, konseling bahaya terorisme, serta menanamkan nilai moral agar hidup damai. (han/oni/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: