Atas Nama Pengabdian (1)

Ufqil Mubin (Wartawan Metro Samarinda)

Oleh: Mubin

(Wartawan Metro Samarinda)

Di rumah yang berukuran 5×6 m2 ini, laki-laki  yang menasbihkan diri sebagai guru delapan tahun silam itu tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Ia hidup di rumah kontrakan yang dibayarnya Rp 1,5 juta perbulan. Kontrakan ini seakan jadi saksi perjuangannya selama meniti karir sebagai pejuang tanpa tanda jasa di tanah rantauan.

Kesehariannya, Donny Michaeil Maukar jadi tenaga pendidik bersama 19 guru di SMA Negeri 1 Long Bagun Mahakam Ulu (Mahulu). Di sekolah yang didirikan tahun 1980 itu, ia dipercaya mendidik pelajar sebanyak 130 orang.

Jauh sebelumnya, tak pernah terlintas dalam pikirannya akan berhadapan dengan puluhan murid di pelosok Kalimantan Timur (Kaltim). Karena pada 2006 silam, kala dinyatakan lulus dari Universitas Negeri Manado (Unima) Tondano, tak pernah terlintas dalam pikiran Donny, bahwa nasib akan membawanya mengabdi di daerah nun jauh dari Samarinda tersebut.

Selepas lulus dari universitas ternama di Sumatra Utara tersebut, ia hanya ingin melanjutkan minatnya sebagai ahli bahasa Jepang. Setidaknya bekerja di perusahaan ternama di Jakarta. Sebagai keturunan Betawai-Manado, peluang itu tentu saja bukan perkara sulit, sebab suami Lidia (39) itu pernah tercatat sebagai penerima empat beasiswa ternama dalam negeri dan luar negeri.

Di awal tahun 2000, anak pertama dari pasangan Rahmawati Faridah dan Berti Maukar itu pernah menerima beasiswa dari PT Gudang Garam, pemerintah Jepang, dan dua beasiswa dari pemerintah Indonesia.

Atas beasiswa itu pula dia tercatat sebagai mahasiswa jurusan bahasa Jepang yang tidak terbebani dengan biaya pendidikan. Bertahun-tahun menikmati beasiswa dari beragam lembaga donor, teman-temannya sesama mahasiswa tak terima dengan ulah Donny yang diduga menerima beasiswa secara bersamaan dari empat lembaga yang berbeda.

Puncaknya, Donny dilaporkan ke pimpinan universitas. Ia disebut berlaku curang dan melanggar aturan dan persyaratan penerima beasiswa. Karena setiap mahasiswa, tidak boleh menerima beasiswa secara bersamaan dari lembaga yang berbeda.

“Karena laporan itu, semua beasiswa saya diputus. Padahal saya sudah jelaskan pada pimpinan kampus, saya tidak menerima beasiswa di waktu yang sama. Beasiswa itu diterima di waktu yang berbeda, sebab setiap tahun saya sering mengirim lamaran beasiswa di dalam negeri dan luar negeri,” tegas Donny.

Karena terjerat kebutuhan hidup dan biaya pendidikan setelah beasiswanya diputus lembaga donor, Donny terpaksa merantau ke Kutai Kartanegara (Kukar). Niatnya mencari kerja agar bisa menyelesaikan studinya di Unima Tondano yang masih tersisa ujian komprehensif.

Kala itu, di 2004 Kukar masih berjaya di bidang industri perkayuan. Donny diterima sebagai ahli bahasa Jepang dan qualitity control di perusahaan kayu di Kukar. Ia dipercaya sebagai penerjemah jika ada investor atau tamu dari negeri sakura.

“Sebagai penerjemah bahasa, jika perusahaan sedang berbaik hati, setiap kali ada tamu dari Jepang, saya dikasih uang Rp 5 juta. Itu paling besar. Tapi kadang saya dikasih Rp 3 juta. Saya juga pernah dapat Rp 300 ribu. Semuanya tergantung perusahaan,” ujarnya.

Selama dua tahun berada di perusahaan, pecinta bahasa Jepang dan Inggris itu mampu mengumpulkan uang untuk merampungkan studinya di Unima Tondano. Di pertengahan 2006, bagian akademik kampus mengabarkan padanya, jika tidak segera pulang menyelesaikan studi, maka ia terancam kena sanksi droup out.

Tak berpikir lama, Donny memilih pulang. Di tahun yang sama, kakak dari Bili Franco Mokan (35) dan Devi (37) itu lulus dari Unima Tondano. Meski terbilang jadi mahasiswa terlama kuliah di kampus itu, Donny tetap merasa puas.

“Sempat bingung mau ke mana setelah lulus dari kampus. Karena di perusahaan kayu itu saya sudah menyatakan mundur. Akhirnya saya memilih ke Balikpapan. Jadi seller keliling. Waktu itu sempat jualan keliling, jalan kaki di Balikpapan, Samarinda, dan Kukar,” ungkapnya.

Ia melakoni pekerjaan tersebut kurang dari setahun. Di awal 2007, Marten (paman Lidia), meminta Donny mengajar di yayasannya di Kutai Barat (Kubar). Yayasan pendidikan itu tak memiliki guru bahasa Inggris.

“Waktu itu saya diminta mengajar bahasa Inggris. Karena guru bahasa Inggris di sekolah sudah keluar. Saya sempat berpikir panjang dengan tawaran om Marten. Tapi akhirnya saya terima,” ucapnya.

Dengan keyakinan penuh, Donny berangkat ke Kubar bersama istri dan Pingkan yang kala itu baru berumur lima tahun. Meski pernah mendengar nama daerah tersebut, belum terlintas dalam pikirannya bagaimana kehidupan sosial, ekonomi, terlebih infrastruktur jalan dan listrik di daerah yang pernah satu kabupaten dengan Kukar itu.

Baru tiga hari di Kubar, Lidia mengaku tak tahan hidup di daerah tersebut. Alasannya, tidak ada listrik dan air bersih. Donny menyuruh Lidia pulang ke Samarinda. Ia diminta hidup bersama keluarganya yang sudah lebih dulu merantau di Kota Tepian.

“Waktu di Kubar, istri saya sering kesulitan buang air besar, karena orang-orang di sana buang air besar di air. Di sana, rumah itu di bantaran sungai. Biasanya pemilik rumah tak membuat jamban, tapi langsung membuat petakan kecil untuk buang air. Itu yang membuat istri saya tidak tahan,” katanya.

Tidak hanya itu, Lidia juga mengeluhkan sulitnya menjangkau listrik di Kubar. Umumnya masyarakat Kubar belum terjangkau listrik, terlebih di tempat tinggal Donny beserta anak dan istrinya. Praktis, ia kesulitan menyetrika pakaian, charger handphone, hingga memandu Pingkan belajar.

“Tapi setelah dibujuk keluarga, istri saya mau kembali ke Kubar. Hingga pemekaran Kubar dan Mahulu, dia masih betah tinggal bersama saya. Dia dengan setia mendampingi saya selama bertugas di Mahulu,” ujarnya.

Karena kepiawaiannya dalam bahasa Jepang dan Inggris, Donny tidak hanya diajak mengajar di satu sekolah, tapi beragam pimpinan sekolah memintanya menjadi tenaga pengajar. Selain mengajar di yayasan milik Marten, dia juga diterima di SMA Negeri 1 Long Bagun Mahulu.

“Saya mulai ngajar di SMA Negeri 1 Long Bagun tahun 2007. Beberapa bulan setelah ngajar di yayasan om Marten. Saat itu saya diminta kepala sekolah jadi pengajar bahasa Jepang. Hanya saya satu-satunya guru bahasa Jepang di sekolah itu,” bebernya.

Bagaimana kehidupan Donny di Long Bagun? Berapa gaji yang didapatkannya sebagai pengajar? Apa saja tantangan yang dihadapinya selama jadi pengajar? Bagaimana murid SMA belajar bahasa Jepang di tengah keterbatasan listrik? Ikuti dilanjutan tulisan ini. (bersambung)

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version
https://www.bethhavenbaptistchurch.com/ anakslot https://torontocivics.com/ http://sultansawerlogin.com slot gacor arya88 slot gacor slot raffi ahmad slot raffi ahmad 77 https://attanwirmetro.or.id/ https://attanwirmetro.or.id/dolph/asd/ https://idtrack.co.id/ https://autoglass.co.id/ slot raffi ahmad 77 https://dabindonesia.co.id/ slot gacor https://tesiskita.com/ slot raffi ahmad https://bontangpost.id/ slot raffi ahmad 77 Anakslot https://karyakreatif.co.id/ slot raffi ahmad 88 Anakslot arya88 kicautoto kicautoto slot thailand https://www.ajlagourmet.com/ kicautoto situs raffi ahmad gacor slot raffi ahmad 88 situs scatter hitam situs scatter hitam slot toto Link Gacor Hari Ini Slot Bca Situs deposit 25 ribu https://cdn.sena.co.th/ toto 4d https://www.ajlagourmet.com/-/ daftar slot gacor