SANGATTA- Perkebunan kelapa sawit seringkali menimbulkan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan. Salah satu ancaman yang paling besar ialah eksistensi hutan di Indonesia, khususnya Kutim yang berpotensi mengalami kerusakan. Hal ini diungkapkan Azis, salah seorang petani asal Desa Singa Gewe Kecamatan Sangsel.
Menurut Azis, perkebunan kelapa sawit menciptakan dampak negatif yang sangat luar biasa. Dirinya menjabarkan, sedikitnya terdapat tujuh masalah yang ditimbulkan oleh sawit.
Pertama, pada umumnya, budidaya kelapa sawit dilakukan dengan sistem monokultur. Hal ini dapat memicu hilangnya keragaman hayati dan kerentanan alam seperti kualitas lahan menurun, terjadinya erosi, serta merebaknya hama dan penyakit tanaman.
Kedua, kebanyakan kegiatan pembukaan lahan kelapa sawit dilakukan dengan metode tebang habis (land clearing) agar menghemat biaya dan waktu. Akibatnya makhluk hidup yang tinggal di dalamnya pun menjadi terganggu. Ketiga, kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah sangat banyak mencapai 12 liter/pohon.
Kemudian yang keempat, proses pertumbuhan tanaman ini juga acapkali dirangsang memakai pestisida, zat fertilizer, dan bahan kimia lainnya.
Kelima, kebun sawit pun dapat mengakibatkan kemunculan hama baru. Penyebab utamanya ialah karena penerapan sistem lahan monokulturasi.
Keenam, aktivitas pembukaan kebun yang dikerjakan dengan membakar hutan menimbulkan polusi udara yang parah. Bahkan asap pencemaran ini bisa terbawa angin sampai ke negeri tetangga.
Ketujuh menimbulkan konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Misalnya konflik antar pekerja daerah dengan para pendatang, atau konflik antara pemilik kebun dengan perusahaan dan atau pemerintah setempat.
“Yang paling nyata dilihat ialah terjadinya pencemaran terhadap sungai. Perkebunan sawit juga menimbulnya bencana alam seperti tanah longsor dan banjir. Hal ini dikarenakan struktur tanah mengalami perubahan sehingga kondisinya menjadi labil,” papar sarjana pertania tersebut.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Alfian didampingi Kepala Bidang Produksi, Kasianto cukup menafikan tudingan tersebut. Pasalnya tidak semua yang dituduhkan memiliki dasar yang tepat. Realitas dilapangan masyarakat berbondong-bondong menanam sawit. Jika hal ini merugikan maka niscaya akan ditinggalkan.
“Contoh kasus dulu seperti jarak. Banyak masyarakat yang tanam. Tetapi karena tidak menguntungkan, maka langsung ditinggalkan. Tetapi sawit, enggak ada hentinya. Itu berarti sawit diterima dan membawa dampak positif bagi masyarakat,” ujar Kasianto.
Tidak hanya dimasyarakat Kutim saja, keberadaan sawit diakui dunia. Siapapun menerima sawit. Itu karena sawit memberikan perubahan besar bagi perekonomian masyarakat.
“Adapun tudingan lahan pertanian semakin sempit, itu benar. Itu semua karena lajunya perkebunan kelapa sawit. Warga menentukan pilihan untuk beralih ke sawit. Kami tidak bisa memaksakan hal itu. Bahkan di Malaysia perkebunan coklat diganti ke sawit,” katanya.
Jika diteliti lebih mendalam, sawit memiliki keunggulan yang sangat luar biasa.
Pertama, meningkatkan pembangunan di daerah. Paling mencolok adalah dibangunnya akses jalan dari perkebunan ke pusat kota yang juga bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar.
Kemudian, pendapatan per kapita daerah semakin naik. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kebutuhan tenaga yang diperlukan oleh suatu perkebunan kelapa sawit, dan untuk menjaga kesehatan serta kesejahteraan para pekerja, seringkali pihak perkebunan juga mendirikan pusat layanan kesehatan dan pendidikan terpadu. Walaupun kualitasnya masih di bawah standar, setidaknya fasilitas tersebut cukup berguna bagi warga sekitar.
“Memang ada dampak negatifnya, tetapi tidak bijak jika dikesampingkan dampak positifnya,” ungkap Alfian. (dy)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: