SAMARINDA – Perjuangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) Kaltim tentang perlindungan buruh dari pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), berakhir manis. Pasalnya pada 2019, DPRD Kaltim berencana mengajukan rancangan peraturan daerah (raperda) untuk melindungi buruh dari PHK yang cacat hukum itu.
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yaqub mengatakan, PHK sepihak dari perusahaan menjadi alasan bagi wakil rakyat mengajukan raperda tersebut. Dasar lainnya, PHK itu bertentangan dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Selama ini PHK itu selalu sepihak dari pengusaha. Pekerja selalu dalam posisi yang tidak diuntungkan. Tetapi celakanya dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 itu, tidak ada sanksi untuk perusahaan yang melanggar aturan,” jelasnya, Rabu (28/11) kemarin.
Dalam perda inisiatif tersebut, selain menyoroti PHK tanpa penetapan PHI, pihaknya akan menyertakan perlindungan pekerja lokal.
“Nanti pembahasannya kita satukan di situ. Jadi tidak hanya bicara PHK semata. Tetapi juga persoalan rekrutmen tenaga kerja lokal. Kemudian tenaga kerja sektor informal seperti ibu rumah tangga dan usaha skala kecil yang tidak memenuhi syarat atau belum terdaftar,” ungkapnya.
Poin lain yang akan dibakukan dalam perda tersebut yakni perlindungan upah buruh. Meski pemerintah daerah telah menetapkan standar upah minimum provinsi (UMP), tetapi masih banyak perusahaan yang menggaji buruh di bawah standar tersebut.
“Menurut saya, itu semua harus kita lindungi. Belum lagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di tengah hutan sana. Tidak sesuai dengan fasilitas pemerintah seperti kesehatan dan pendidikan. Karena di sana tidak ada fasilitas pemerintah melindungi kepentingan buruh,” terangnya.
Ketua Umum SBBI Kaltim, Nason Nadeak mengapresiasi rencana dewan yang ingin menyusun dan mengusulkan perda inisiatif. Menurutnya, sudah ribuan buruh yang dikorbankan karena PHK tanpa penetapan PHI.
“Selama 15 tahun sejak Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 disahkan, tidak pernah ada perusahaan yang melakukan PHK setelah ada penetapan PHI. Ternyata salah satu sebabnya, tidak diatur pemberian sanksi pada pengusaha,” bebernya.
Sejak 2015 hingga 2017, ditemukan 24 ribu kasus dari sejumlah perusahaan di Kaltim yang melakukan PHK tanpa prosedur. Jumlah itu belum dihitung dengan kasus-kasus yang terjadi di tahun sebelumnya.
“Kalau dihitung tahun sebelumnya, enggak tahu lagi jumlahnya. Saya pikir, kita perlu menyampaikan kejadian ini pada wakil rakyat. Agar kekurangan-kekurangan itu bisa diatasi,” imbuhnya.
Dia mengharapkan setelah perda itu dibuat dan disahkan DPRD serta Pemprov Kaltim, prosedur PHK bisa sejalan dengan Undang-Undang nomor 13/2003. Minimal dalam perda itu diatur pemberian sanksi tegas pada perusahaan yang melanggar aturan.
“Harus ada sanksi yang diberikan pada perusahaan. Sehingga cara PHK yang sekarang ini tidak terulang lagi. Sebenarnya kita sampaikan ini sesuai perintah dari undang-undang,” tutupnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: