SAMARINDA – Kebutuhan hidup yang kian membengkak kerap membuat sebagian orang memilih jalan hidup yang keluar dari norma umum. Penyebab lainnya yakni minimnya lapangan kerja yang tidak sesuai kemampuan penduduk usia kerja.
Selama tiga bulan terakhir, Metro Samarinda mendalami bisnis “lendir” berkedok panti pijat di Kecamatan Samarinda Seberang, Samarinda. Lestari (45), nama samaran, sudah satu setengah tahun melayani para pelanggan yang ingin mendapatkan jasa pijat.
Perempuan berkulit putih itu memasang tarif Rp 150 ribu bagi setiap pelangan yang mendapatkan jasa urutnya. Sudah ratusan orang yang dilayaninya di kontrakan yang tak jauh dari Stadion Utama Kaltim itu.
“Biasanya setelah pijat, saya tawarkan seks. Biayanya enggak terlalu mahal sih. Paling dengan pijat itu Rp 300 ribu,” katanya pada Metro Samarinda belum lama ini.
Setiap pekan, Lestari melayani puluhan pelanggan. Tak semuanya mau berhubungan seks. Hanya sebagian saja. Ada yang datang ingin mendapatkan pijatan lembut darinya. Tetapi tak sedikit pula yang datang untuk meminta dipijat plus berhubungan intim.
Di kontrakan itu, Bunga telah menyediakan kondom. Sebagian besar pelanggannya melakukan hubungan intim dengannya menggunakan alat pengaman itu.
Di balik kerja “kerasnya” setiap hari, pendapatannya terbilang besar. Jauh di atas Upah Minimun provinsi (UMP) Kaltim. Jika dikalkulasi, pendapatannya setiap bulan sekira Rp 5 juta. Di waktu tertentu, apabila sedang ramai pelanggan, dia menerima Rp 7 juta.
“Kebanyakan yang datang ke sini itu anak-anak muda. Kalau yang sudah punya istri atau seumuran dengan saya, seingat saya jarang ya,” jelasnya.
Uang yang didapatkan dari usaha itu dikirim Lestari untuk kebutuhan perkuliahan anaknya di Surabaya, Jawa Timur. Setiap bulan, dia mengirim untuk anak semata wayangnya itu Rp 1 juta.
“Sekarang anak saya sudah semester lima. Uang yang saya dapat ini banyak digunakan untuk biaya kuliah dia. Sisanya untuk kebutuhan hidup saya di sini,” tuturnya.
Apabila dihitung dengan pengeluaran untuk membayar kontrakan bulanan, maka pendapatan yang diterimanya dari usaha “esek-esek” itu tidak cukup.
“Makanya di depan kontrakan ini saya jualan jamu. Macam-macam jamu sih yang saya jual di sini. Tetapi setiap bulan, ya yang terjual itu sedikit. Keuntungannya setiap bulan kecil sekali,” katanya.
Dia mengaku sudah tiga tahun bercerai dengan suaminya. Laki-laki itu kini telah menikah lagi dengan perempuan lain. Sesekali keduanya berkomunikasi mengenai masa depan anaknya. Termasuk beban pembiayaan untuk kelanjutan pendidikan anak perempuannya itu.
Setahun anaknya masuk kuliah, suami Lestari masih memberikan uang belanja untuk anaknya. Namun sejak awal 2017, biaya kuliah anak semata wayang yang kini berumur 21 tahun itu diserahkan pada Lestari.
Kala masih satu rumah dengan suaminya, dia pernah bekerja di Jakarta. Menjadi pembantu, mencuci pakaian, hingga setrika baju di rumah tetangga.
“Pekerjaan itu enggak lama juga sih saya jalani. Hanya sekira tiga bulan. Pendapatan saya enggak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi waktu itu anak saya sudah mau lulus SMA,” bebernya.
Dia memilih banting setir dari pekerja tersebut. Pada suaminya, dia meminta izin untuk merantau ke Samarinda. Laki-laki itu mengizinkannya. Tetapi syaratnya, dia tidak bisa mengikuti Lestari.
Alhasil, dia hanya berangkat sendiri ke Samarinda. “Waktu itu saya datang tanpa suami dan anak. Di Samarinda ini, saya punya keluarga. Tetapi mereka juga enggak bisa batu carikan kerja,” ucapnya.
Sebulan berlalu setelah berada di Kota Tepian, dia tidak mendapat pekerjaan yang dapat menghasilkan uang untuk menopang kehidupannya.
Pada awal 2015, suaminya mengabarkan telah menikah dengan perempuan lain. Hatinya hancur. Tak terbayang, di tengah carut marut ekonomi keluarganya, dia harus menerima kenyataan pahit yang tak pernah disangkanya.
“Dia bilang sudah enggak tahan hidup berjauhan dengan saya. Daripada main perempuan yang enggak jelas, lebih baik menikah. Begitu alasannya. Saat itu juga saya minta pisah,” sebutnya.
Perpisahan keduanya tidak sulit. Sebab rumah tangga yang dibangunnya hanya berdasarkan nikah siri. Anak perempuannya sempat meminta keduanya tak berpisah. Namun sang suami sudah terlanjur memilih perempuan lain.
Setelah resmi tak lagi menyandang status suami dan istri, Lestari dan laki-laki yang pernah memadu kasih dengannya itu tetap menjalin komunikasi. Namun tidak lagi sehangat ketika pernikahan itu dibangun 22 tahun lalu.
“Sekarang dia juga sudah punya anak laki-laki dengan istri barunya. Mungkin sudah bahagia yah. Saya sih ikut senang juga,” katanya.
Gelombang kehidupan perempuan malang itu tak kunjung terhenti. Pada Agustus 2018, kontrakannya di Samarinda Seberang, ladang pemasukannya untuk membiayai kehidupannya bersama anaknya yang sedang menempuh studi, tak diperpanjang oleh pemilih rumah.
Sebabnya, dua bulan tak membayar kontrakan, pemilik rumah tak memberi jangka waktu lebih panjang. Senin (15/10) kemarin, ketika media ini ingin menggali lebih lanjut informasi keberadaan Bunga, dia tak lagi dapat dihubungi.
Beberapa tetangga terdekat yang tinggal bersebelahan dengan kontrakan yang berdekatan dengan jalan raya itu memberi keterangan, bahwa Lestari telah pindah ke luar daerah. “Sekarang enggak tahu di daerah mana. Bilangnya, enggak di Kaltim lagi,” kata seorang laki-laki paruh baya yang tinggal di dekat kontrakan itu. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: