SAMARINDA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) perlu ada di setiap kabupaten/kota yang ada di Kaltim. Tujuannya untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak di daerah. Namun ternyata, dari 10 kabupaten/kota di Kaltim, baru dua daerah yang sudah memiliki KPAID.
“Di Kaltim baru Balikpapan dan Samarinda. Sebenarnya di Kukar (Kutai Kartanegara) sudah pernah ada, tapi kepengurusannya dibekukan,” kata ketua KPAID Samarinda Adji Suwignyo kepada Metro Samarinda (Kaltim Post Group).
Dia menjelaskan, KPAID sangat perlu dibentuk di tingkat kabupaten/kota sebagai upaya untuk mengawal dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Dalam hal ini, KPAID bukan merupakan perwakilan KPAI dalam arti hierarkis-struktural. Melainkan lebih bersifat koordinatif, konsultatif, dan fungsional.
“Keberadaan KPAID sejalan dengan era otonomi daerah, di mana pembangunan perlindungan anak menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah,” ujarnya.
Adapun dasar pembentukan KPAID ini yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keppres Nomor 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dengan keberadaan KPAID, bisa memaksimalkan pengawasan terhadap perlindungan anak di daerah masing-masing. Karena KPAID wajib mengetahui dan mempertanyakan kegiatan-kegiatan yang bersinggungan dengan perlindungan anak.
“Banyaknya kasus kenakalan remaja dan kasus kejahatan pada anak-anak, bisa jadi karena kurangnya pengawasan dari pemerintah. Nah, di sini KPAID memaksimalkan fungsi pengawasan tersebut,” beber Adji.
Sekalipun telah ada lembaga-lembaga lain yang menangani permasalahan anak seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3), keberadaan KPAID tetap dibutuhkan. Karena KPAID bersifat independen dan secara fokus menangani permasalahan anak-anak.
“Karena jelas keberadaan KPAID untuk fungsi pengawasan terkait Undang-Undang Perlindungan Anak di daerah. Jadi tidak ada alasan ditiadakan, KPAID harus dimunculkan,” tegasnya.
Dia menambahkan, termasuk pengawasan yang dilakukan KPAID yaitu terhadap kerja teman-teman di P2TP2A dan lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini, KPAID harus memastikan semua kebijakan pendampingan yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut tidak merugikan anak. Di sinilah peran KPAID dalam melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait lainnya. Karenanya, Adji mendorong pemerintah-pemerintah daerah di Kaltim untuk merintis dibentuknya KPAID. Sebagaimana yang telah dilakukan di Balikpapan dan Samarinda.
“Untuk tahap pertama, KPAID boleh dibentuk secara aklamasi, kelompok sementara yang terstruktur. Baru pada periode berikutnya, pemilihan komisionernya melalui seleksi DPRD dan uji kepatutan seperti lembaga-lembaga lain,” terang Adji.
Petunjuk pembentukannya sendiri ada tersedia di KPAI pusat. Juga bisa meminjam dari daerah lain yang sudah lebih dulu memiliki KPAID. Pembentukan KPAID ini, sambung Adji, membutuhkan peran pemerintah daerah baik di eksekutif maupun di legislatif. Dibutuhkan setidaknya tujuh orang komisioner untuk menjalankan KPAID, dengan sisanya merupakan para relawan.
“Semua pemerhati anak dari berbagai latar belakang bisa bergabung di KPAID. Yang penting punya kepedulian terhadap masalah anak,” sebutnya.
Sementara soal anggaran, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk menyediakannya. Pemerintah daerah harus mau menganggarkan dana untuk kegiatan-kegiatan KPAID. Karena berkaitan dengan permasalahan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Menurutnya, salah satu indikator keberhasilan suatu daerah adalah anak-anaknya yang sejahtera.
“Percuma saja daerah itu kaya kalau anak-anaknya hancur. Sehingga anak-anak tidak bisa melanjutkan pengelolaan kekayaan daerah tersebut,” papar Adji.
Sayangnya, niat pembentukan KPAID ini seringkali dihadapkan pada nama baik suatu daerah. Ada pemerintah daerah yang sengaja menutup-nutupi kasus yang berkaitan Undang-Undang Perlindungan Anak. Alasannya agar nama daerah tidak tercoreng. Padahal, permasalahan anak ini semestinya tidak dirahasiakan atau ditutup-tutupi.
“Justru kalau ditutup-tutupi itulah yang akan mencoreng nama baik daerah. Sebaliknya, bila daerah mau terbuka dan berhasil menuntaskan permasalahan anak-anak, nama daerah juga yang akan terangkat,” kata dia.
Karenanya dia prihatin pemerintah-pemerintah daerah di Kaltim kurang aktif dalam membentuk KPAID. Padahal di Sumatera, KPAID telah terbentuk di daerah-daerah yang ada di sana dan bekerja bersama pemerintah daerah masing-masing. Dalam menangani permasalahan terkait perlindungan anak. Sementara di Kaltim, masih jarang ditemukan ada kepala daerah yang mau meluangkan waktu memberikan perhatian terhadap permasalahan anak-anak tersebut.
“Seharusnya kalau kepala daerah bijak, KPAID bisa dipanggil setiap kali ada masalah terkait perlindungan anak, dan dijelaskan apa masalahanya. Kalau sekarang ini sangat langka ada kepala daerah yang mengunjungi para korban. Misalnya kasus KDRT, pencabulan, atau bully,” urai Adji.
Kata dia, kasus anak-anak berbeda dengan kasus orang dewasa. Dalam hal ini, jangan langsung dimunculkan persoalan hukumnya. Melainkan perlu ditelaah terlebih dulu dan jangan sepihak menyalahkan. Karena dalam perlindungan anak, baik laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, semuanya memiliki hak yang sama di depan hukum.
“Kecuali kalau pelakunya dewasa, saya tidak pedulikan lagi. Pasti ada bujuk rayu dan iming-iming,” ujarnya.
Selain pembentukan KPAID, Adji juga menyebut perlu dibentuk Tim Reaksi
Cepat Perlindungan Anak. Sehingga penanganan untuk setiap kasus menyangkut anak dapat dilakukan dengan cepat. Kehadiran KPAID dan tim reaksi cepat ini pun bisa menekan angka kasus-kasus berkaitan perlindungan anak di daerah.
“Asalkan pimpinan daerahnya juga konsisten. Bisa jadi penasehat dan mendukung semua kegiatan yang ada. Jangan dilepas begitu saja,” tambah Adji.
Namun begitu dia juga mengingatkan pada KPAID di daerah bila nantinya dibentuk. Agar tidak sekadar menunggu adanya laporan kasus perlindungan anak. Melainkan juga mesti proaktif dalam melakukan sosialisasi. Di antaranya aktif mendatangi sekolah-sekolah dan menciptakan duta-duta di masyarakat yang peduli terhadap masalah perlindungan anak. “Bila sudah seperti itu tentu bisa meringankan polisi saat menangani kasus-kasus anak,” pungkasnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: