JawaPos.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan obat dengan kandungan etilena glikol (EG) atau dietilena glikol (DEG) melebihi batas sebagai penyebab acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut misterius pada anak. Itu berdasar serangkaian pemeriksaan laboratorium patologi.
Kemarin (24/10) Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin serta Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito untuk mengetahui perkembangan penanganan penyakit itu.
Dalam kesempatan itu, Kemenkes memaparkan telah melakukan berbagai upaya untuk mengetahui penyebab penyakit tersebut.
Budi menjelaskan, jumlah kasus AKI naik sejak Agustus lalu –meski sebenarnya mulai ada laporan sejak Januari. Sejak ada lonjakan kasus, Kemenkes melakukan review dengan cara patologi atau mengetahui bagaimana penyakit tersebut terjadi. ”Jadi, kami lakukan (penelitian) laboratorium patologi,” ujarnya setelah bertemu presiden. Ada kecurigaan bahwa AKI disebabkan virus, bakteri, atau parasit.
Tes patologi berlangsung sampai September. Tes itu dilakukan terhadap pasien yang teridentifikasi memiliki gejala serupa. Awalnya leptospira dan Covid-19 diduga sebagai biangnya. Namun, hasilnya kecil sekali disebabkan virus atau bakteri.
Pada 5 Oktober Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan surat yang isinya peringatan kasus di Gambia, Afrika. Ada sedikit titik terang. Sebab, WHO menyebut ada dugaan anak-anak di Gambia meninggal karena AKI setelah minum obat yang mengandung EG atau DEG. ”Sesudah itu kami berkomunikasi dengan WHO dan pemerintah Gambia,” ujar Budi.
Kemenkes lalu melakukan analisis toksikologi untuk melihat dampak buruk dari zat kimia yang masuk dalam tubuh. Setelah pengujian pada darah sepuluh anak yang terpapar AKI, diketahui ada tujuh yang mengandung EG dan DEG. Kemenkes juga memeriksa pasien yang meninggal dengan cara biopsi atau pengambilan sampel, yakni ginjalnya. ”Setelah kami cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri-ciri yang disebabkan zat kimia ini,” kata Budi.
Upaya lainnya, Kemenkes mendatangi rumah pasien yang memiliki gejala AKI. Itu dilakukan untuk melihat obat apa yang digunakan atau pernah diminum. ”Di rumah pasien ditemukan sebagian besar obat-obatan yang mengandung senyawa itu,” bebernya.
Dengan beberapa langkah yang sudah dilakukan Kemenkes, Budi menyimpulkan bahwa obat yang mengandung EG dan DEG menjadi biangnya. EG dan DEG merupakan cemaran dari propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.
Sebenarnya cemaran EG dan DEG tidak bisa dinolkan. Namun, sesuai dengan Farmakope dan standar baku nasional, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG adalah 0,5 mg/kg berat badan per hari.
Beberapa waktu lalu Kemenkes melarang penggunaan seluruh obat yang berbentuk sirup. Menurut Budi, larangan itu efektif. Sebab, ada penurunan jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit.
Kepala BPOM Penny K. Lukito menambahkan, pihaknya telah melakukan pengujian obat-obatan yang diduga ada cemaran EG dan DEG. Selanjutnya, BPOM juga sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan ditindaklanjuti ke ranah pidana. Artinya, ada tindakan yang menyebabkan cemaran EG dan DEG lebih dari ambang batas.
Bahkan, Penny menyebut kandungan EG dan DEG sangat tinggi dan bisa mengakibatkan kerusakan ginjal akut. ”Jadi, kedeputian IV bidang penindakan sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut bekerja sama dengan kepolisian,” tegasnya. Penyelidikan yang merujuk pada pidana pun segera dilakukan.
Penny menyatakan, BPOM mengambil sampel secara rutin. Saat registrasi produk obat, bahan baku yang digunakan harus dilaporkan. Pelaku usaha juga harus menguji sampel secara mandiri. ”Nah, khusus untuk cemaran EG dan DEG, sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji,” ujar dia.
BPOM sudah meminta penarikan obat yang mengandung EG dan DEG yang tidak sesuai dengan batas aman. Itu dilakukan produsen dan dilaporkan ke BPOM.
Sehari sebelumnya, BPOM merilis tiga merek obat sirup yang terdapat cemaran EG atau DEG yang melebihi ambang batas. Obat tersebut adalah Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Drop, dan Unibebi Demam Syrup.
Sementara itu, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan, tim gabungan telah bekerja untuk mendalami hasil laboratorium terhadap berbagai obat yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak. Termasuk juga urine, darah, dan sampel obat. ”Semua sampel dari Kemenkes,” katanya.
Penyidik kasus tersebut gabungan dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipid Narkoba), Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus), dan Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) serta Pusat Laboratorium Forensik (Pulabfor) Polri. ”Kasus dalam status penyelidikan,” ucapnya.
Di bagian lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendesak adanya investigasi menyeluruh terhadap kasus yang merenggut nyawa 141 anak tersebut. Dengan begitu, dapat diketahui penyebab serta tidak ada korban lagi. ”Dan dapat dijatuhkan sanksi tegas apabila ada kelalaian atau pelanggaran dalam kasus ini,” ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA Rini Handayani. (jawapos)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post