Oleh: Dahlan Iskan
Akan menjadi seperti apakah jazirah Korea kelak? Setalah Utara dan Selatan berhenti bermusuhan? Bersatukah mereka? Seperti Jerman? Atau adakah persatuan model baru?
Belum ada pembicaraan ke arah sana. Tapi minggu lalu sudah mulai ada dua langkah nyata.
- Pengeras suara di perbatasan sudah dicopoti.
- Waktu Korea Utara sudah disamakan dengan jam di Korea Selatan. Selama ini waktu di Korut lebih cepat dari Korsel. Setengah jam. Seperti asal beda.
Memang lucu sekali. Di perbatasan kedua negara itu, masing-masing pihak pasang pengeras suara. Di sepanjang perbatasan. Berderet sejauh 250 km. Sejak puluhan tahun lalu. Corongnya dihadapkan ke wilayah lawan. Itulah pengeras suara untuk saling promosi. Eh, saling menyerang. Atau saling membalas serangan.
Tapi ada baiknya juga pengeras suara itu. Setidaknya perangnya hanya perang suara. Tidak sampai seperti Julia Perez dan Dewi Persik.
Saya pernah ke perbatasan itu. Di Panmunjom. Dari arah selatan. Banyak yang saya anggap lucu di situ. Perangnya tidak hanya dalam bentuk hallo-hallo. Tapi juga saling sebarkan pamlet. Kadang pakai balon-balon terbang. Disebarkan saat arah angin lagi menuju negara lawan.
Di perbatasan itu juga dibangun satu gedung. Separo memakai tanah Korea Utara. Separonya lagi di atas tanah Korea Selatan. Di dalam gedung itu ada ruang pertemuan. Ada pula meja rapatnya. Letak meja itu harus di tengah persis. Separo meja ada di wilayah utara. Separonya lagi di wilayah Selatan.
Kalau dua pihak lagi baikan mereka bikin rapat. Delegasi Utara duduk di meja bagian utara. Begitu juga sebaliknya.
Saya pernah mengintip ke dalam ruang rapat ini. Saat lagi tidak ada kegiatan. Dan memang selalu tidak ada kegiatan. Mereka gencatan senjata di tahun 1953. Sejak itu baru ada tiga atau empat kali rapat.
Resminya, status kedua negara itu memang masih dalam perang. Hanya saja lagi genjatan senjata. Inilah gencatan senjata terlama: 65 tahun. Perang tidak. Damai pun tak.
Kalau keduanya lagi baikan gedung itu berguna. Tapi ‘wawuhan’ itu biasanya hanya sebentar. Lalu “jotakan” lagi. Wawuh terlama terjadi 10 tahun lalu. Sampai Korsel diijinkan bangun pabrik-pabrik di wilayah khusus di Korut di dekat perbatasan. Tapi ternyata jotakan lagi. Pabrik-pabrik pun harus ditutup.
Sampailah Korut tiba-tiba dipimpin anak muda tambun itu: Kim Jong-un. Yang istrinya cantik sekali itu. Dan kelihatan pinter itu. Dan modern modis itu.
Mula-mula si Tambun galak banget. Pamannya sendiri sampai dieksekusi mati. Kekuatan nuklirnya dibangun. Beberapa kali ujicoba: gagal. Bahkan gunung ujicobanya runtuh. Tamat. Menyerah. Kebetulan ekonomi negaranya kian parah. Rakyatnya sangat miskin. Pekerjaan utamanya seperti hanya baris-berbaris. Atau kibar-kibarkan bendera. Atau menyeru: Hidup Kim Jong-un! Pemimpin Besar Kita!
Maka adegan di perbatasan 26 April lalu itu sangat mengharukan. Kim Jong-un bertemu langsung Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Dia langkahi garis perbatasan dengan ekspresi damai. Dia salami Presiden Korsel, musuhnya itu. Keduanya berangkulan.
Presiden Korsel menepuk-nepukkan dua tangannya di bagian belakang pinggang lawannya. Kim Jong-un menepuk-nepukkan kedua tangannya di punggung atas lawannya itu. Lalu mengangkat tangan mereka dalam keadaan saling tergenggam.
Saat berjalan menuju ruang pertemuan pun mereka terus bergandengan tangan. Lalu membicarakan perdamaian abadi. Pembangunan jazirah Korea. Dan merencanakan masa depan yang cerah.
Kim Jong-un sekolah di Perancis. Atau Swiss. Dengan nama yang disamarkan. Dia tahu. Dia mengalami. Dia menghayati. Bertahun-tahun. Bagaimana seharusnya rakyat hidup. Bagaimana negara harus makmur. Gambaran kemakmuran Swiss ada di kepalanya.
Kim Jong-un tampil ke puncak karena terpaksa. Ayahnya meninggal saat umurnya belum 30 tahun. Keadaan negara sudah seperti itu: tahu sendirilah.
Tuluskah rencana damai Kim Jong-un? Setidaknya dia sudah mencopoti pengeras suara itu.(dis)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: