Baru Enam Bulan, P2PA Catat 14 Kasus
SANGATTA – Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) cukup memprihatinkan. Pasalnya, data yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) setempat, ternyata cukup mengejutkan. Karena baru berjalan enam bulan saja, kasus kekerasan terhadap anak di Kutim sudah mencapai 14 kasus. Sementara jika digabung dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dan termasuk anak sebagai pelaku tindak pidana, hingga pertengahan tahun ini, sebanyak 34 kasus sudah ditangani.
Kepala Dinas P2PA Kutim, dr Aisyah, jumlah keseluruhan kasus kekerasan perempuan dan anak yang telah ditangani hingga pertengahan tahun ini memang cukup tinggi dan memprihatinkan. Jika dibandingkan dengan angka penanganan kasus kekerasan terhadap anak selama tahun 2016 lalu, yang jumlahnya hanya 20 kasus.
“Khusus untuk anak yang jadi korban kekerasan saja dalam enam bulan terakhir ada 14 kasus. Sedangkan yang terlibat dalam kasus tindak pidana dan menjadi pelakunya, kini sudah berjumlah 10 kasus. Jadi bisa dibilang sudah sangatlah mengkhawatirkan. Sebab bisa dikatakan jika anak di Kutim tidak terlindungi haknya baik secara sosial, mental dan fisik,” jelas Aisyah.
Dia mengatakan, perlu adanya perhatian khusus dan kesadaran dari semua pihak, mengapa angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kutim terus meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pemerintah kabupaten saja yang perlu mengambil tindakan tegas, namun masyarakat dan keluarga secara luas juga mempunyai tanggung jawab besar dan berperan penting dalam upaya mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sehingga angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kutim bisa ditekan serendah mungkin dan jika bisa tidak terjadi.
“Jadi perlu perhatian dan kepedulian semua pihak,” ujarnya.
Lebih jauh dikatakan Aisyah, perlunya penguatan pada keluarga terutama pengetahuan agama serta kontrol sosial oleh masyarakat terhadap pergaulan generasi muda saat ini. Keluarga dan masyarakat harus peduli terhadap pergaulan dan tumbuh kembang anak. Belum lagi era digital yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada anak untuk bisa mengakses internet melalui telepon pintar (smart phone) dan gadget. Dimana internet mampu menyuguhkan eksploitasi seksual dan kekerasan secara tidak terbendung.
“Jika tidak ada pendampingan dan bimbingan langsung dari orang tua maka anak pasti akan salah memahami dan salah dalam mengaplikasikannya. Belum lagi dalam lingkungan keluarga tidak ada anggota keluarga yang bisa dijadikan panutan dan contoh tauladan. Karenanya semua pihak, mulai keluarga, masyarakat hingga pemerintah kabupaten perlu mengambil peran dan tanggung jawab untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak, mulai saat ini,” pesan Aisyah. (aj)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: