Mengangkat kisah suka duka anak seorang nelayan suku bajau yang tinggal di wilayah Selangan, Bontang Lestari, karya garapan siswa SMA IT Daarul Hikmah Boarding School (DHBS) meraih predikat film terbaik di tingkat nasional.
Bambang, Bontang
Bontang patut berbangga memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. Lewat film dokumenter inspiratif yang digarap oleh tiga siswa SMA IT DHBS, mereka berhasil meraih prestasi membanggakan di ajang Festival Film Dokumenter Pelajar Tingkat Nasional 2017.
Festival Film Dokumenter Pelajar Tingkat Nasional 2017 ini merupakan perlombaan pembuatan film pendek yang diikuti oleh berbagai sekolah dari seluruh daerah di Indonesia. Festival yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman itu mengambil tema tentang kelautan.
Bermodalkan ilmu dan kemampuan yang dimiliki saat mengikuti ekstrakulikuler sinematografi di sekolah mereka, ketiga siswa SMA IT DHBS yakni Muhammad Tamam Attaqie, Raihan Rizki Muhtadiin serta Rizki Fitrarrijal dibantu Pembina ekstrakulikuler Yuni Listiani memutuskan ikut mengirimkan proposal film mereka ke panitia pelaksana. Dari banyaknya proposal yang dikirim dari berbagai sekolah se-Indonesia, panitia menyaring menjadi 20 proposal terbaik. Salah satu proposal terbaik itu yakni dari SMA IT DHBS.
Usai dinyatakan masuk 20 besar, mereka bertiga beserta sang pembina diundang untuk mengikuti workshop pra produksi pada 7-13 September 2017 lalu di Jakarta. Selama mengikuti workshop, mereka mendapatkan banyak ilmu yang nantinya menjadi bekal mereka dalam menggarap film pendek ini di Bontang.
Dikerjakan oleh Muhammad Tamam Attaqie sebagai kameramen, Raihan Rizki Muhtadiin sebagai penulis naskah, dan Rizki Fitrarrijal sebagai editor, film dokumenter dengan judul “Pelaut Terakhir” pun berhasil mereka garap selama kurang lebih satu bulan. Mengambil tema kisah anak nelayan, film berdurasi 13:24 menit itu menceritakan tentang suka duka anak seorang nelayan suku bajau yang tinggal di wilayah Selangan, salah satu perkampungan di atas laut di Kelurahan Bontang Lestari yang jauh dari hiruk pikuk kota berbasi industrial ini. Anak tersebut bernama Ardiyono, salah satu siswa kelas VIII SMP Negeri 3 yang setiap harinya harus berangkat sekolah dari rumahnya menggunakan kapal ketinting.
Dalam film tersebut dikisahkan, Ardiyono gigih dalam menuntut ilmu meski ditengah kondisi ekonomi keluarga yang minim. Di sisi lain, sang ayah yang berprofesi sebagai pelaut mengaku tak ingin jika kelak anaknya juga berprofesi sama dengannya. Sehingga sang ayah harus mendorong anaknya untuk rajin bersekolah.
Usai film tersebut selesai digarap, selanjutnya ketiga siswa SMA IT DHBS ini pun mengirimkan hasil karya mereka ke panitia. Alhasil, film mereka pun dinobatkan sebagai film terbaik bersama dengan 9 film lainnya. Yang hebatnya, film dari SMA IT DHBS ini merupakan satu-satunya film dari Kaltim yang berhasil meraih predikat terbaik nasional. Mereka pun diundang kembali ke Jakarta untuk menerima penganugerahan yang diserahkan langsung pada 5 Desember 2017 lalu oleh Kemendikbud RI.
“Meski dengan keterbatasan alat, namun Alhmadulillah kami bisa meraih hasil yang membanggakan. Lelah selama proses pembuatan film ini terbayarkan dengan tontonan yang bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi orang banyak,” kata Yuli yang juga sebagai Kepala SMA IT DHBS.
Di balik suksesnya pembuatan film ini, berbagai kesulitan pun kerap dialami ketiga siswa ini. Muhammad Tamam Attaqie misalnya, dia yang bertugas sebagai kameramen mengaku mengalami beberapa kesulitan selama proses mengambil gambar. Seperti hanya diperbolehkan menggunakan satu kamera saja, serta harus bolak-balik ke Selangan untuk mengabadikan momen selama disana.
“Terkadang seminggu sekali ke Selangan, terkadang tiga kali,” kata siswa kelas XI IPS 1 itu.
Beruntung selama ingin ke Selangan, dia dan tim diantar menggunakan speedboat milik Badak LNG, sehingga tak mengeluarkan biaya untuk ongkos transportasi. Di sisi lain, tambahan video tentang profil Bontang juga mereka mendapat bantuan dari Humas Pemkot Bontang.
Lain halnya dengan Raihan Rizki Muhtadiin, sang penulis naskah film ini mengaku kesulitannya dalam proses mengerjakan film ini selain jam terbang yang kurang, juga mengalami kebingungan saat mencari ide-ide dan tatanan yang bagus. Selain memakan waktu banyak, naskah yang dia buat juga belum tentu dipakai. “Naskah film ini sebelumnya sudah tiga kali direvisi,” kata siswa XI IPA 1 itu.
Terkahir Rizki Fitrarrijal, editor film ini mengaku selama membuat film ini kesulitan yang dihadapi yakni saat harus memilih bagian mana yang pas untuk diambil, dan bagian mana yang tidak pas untuk diambil. Jika masih ada bagian yang tidak pas, maka tim pun harus kembali ke Selangan untuk mengambil ulang video. “Untuk mengetahui pas atau tidak, tentu semua video harus dilihat satu-satu. Butuh lima hari baru film ini selesai diedit,” pungkasnya. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: