Survei yang dilakukan lembaga riset asal Kanada Fraser Institute menyimpulkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tak menarik di mata investor di sektor perminyakan global. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Irak, Libya, dan Venezuela yang juga merupakan negara-negara produsen minyak.
Kesimpulan tersebut tertuang dalam laporan bertajuk “Global Petroleum Survey 2018”.Dalam laporan tersebut, Fraser Institute melakukan penilaian Indeks Persepsi Kebijakan (PPI) terhadap 80 yurisdiksi atau negara yang porsi produksi minyaknya menguasai 68 persen produksi minyak global. Semakin tinggi PPI, semakin menarik suatu negara di mata investor.
Survei ini melibatkan 256 responden dari kalangan manajer hingga eksekutif di industri perminyakan global. Beberapa indikator yang digunakan, antara lain kebijakan fiskal, kepastian administrasi, kualitas infrastruktur,hambatan dagang dan stabilitas politik.
Dari 11 negara pemilik cadangan minyak terbesar, Indonesia yang memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 21,92 miliar barel setara minyak (bboe) menduduki peringkat ke-8 dengan skor PPI 47,16.
Posisi Indonesia berada di bawah Texas AS yang menduduki peringkat pertama dengan skor PPI 100. Kemudian, Rusia mengekor di peringkat ke-2 dengan skor PPI 75,38. Setelah itu, Alberta Kanada (67,83), Mesir (59,11), Mozambique (57,92), Aljazair (57,73), dan Nigeria (53,15). Posisi Indonesia berada di atas Irak (38,48), Libya (35,09), dan Venezuela (0).
Tanpa memperhitungkan cadangan, Indonesia menduduki peringkat 71 dengan skor 47,16. Posisi ini naik dari tahun lalu pada peringkat 92 dari 97 yurisdiksi yang dinilai dengan skor PPI 35,02.
Capaian tersebut membuat Indonesia berada pada peringkat ke-10 negara yang tak menarik di mata investor minyak bumi. Sementara, posisi pertama diduduki oleh Venezuela. Disusul oleh Yaman, Tasmania, Victoria, Libya, Irak, Ekuador, New South Wales, dan Bolivia.
Berdasarkan survei, salah satu penyebab Indonesia tak menarik di mata investor adalah ketidakpastian regulasi.
“Indonesia menggonta-ganti peraturan pemerintah dan menteri yang terkait dengan industri minyak dan gas secara reguler, yang menghalau investasi. Aksi baru-baru ini yang terkait bonus tanda tangan pada perpanjangan kontrak bagi hasil adalah salah satu contohnya,” demikian testimoni responden yang dikutip dari laporan Fraser Institute, Rabu (9/1).
Selain itu, testimoni lain juga menyatakan proses penyusunan regulasi di Indonesia tidak pasti dan bias.
“Sistem kontrak bagi hasil dengan skema gross split yang diterapkan Indonesia dirancang sangat buruk dan tak menarik bagi investor,” ujar testimoni lain.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi menilai survey Fraser Institute tidak valid berdasarkan lima hal.
Pertama, terkait testimoni yang menyatakan kontrak migas gross split dirancang secara buruk dan menghambat investasi. Pada kenyataannya, lanjut Agung, lelang blok migas Indonesia pada 2018 terdapat 9 blok migas yang laku dengan skema gross split. Bahkan, Thailand yang dalam survei Fraser 2018 peringkatnya lebih baik dari Indonesia, tahun lalu hanya ada 2 blok migas yang laku.
“Tahun 2017 dan 2018 terdapat 36 blok migas dengan skema gross split dan 14 diantaranya merupakan hasil lelang. Sebaliknya tahun 2015 dan 2016 tak ada lelang blok migas yang laku satupun dengan skema cost recovery. Artinya investor merespon bahwa kontrak migas gross split lebih baik,” ungkap Agung dalam keterangan tertulis.
Kedua, Agung menyatakan proses penyusunan peraturan terkait kontrak migas gross split sudah melibatkan para investor. Bahkan perubahan peraturan gross split juga dilakukan untuk mengakomodir investor dengan tetap menjaga keuntugan negara lebih baik dalam jangka panjang.
Perubahan tersebut, antara lain terkait pembebasan pajak saat eksplorasi, penambahan split kontraktor tidak lagi dibatasi atau bisa lebih dari 5 persen, penemuan cadangan pada lapangan komersial dapat tambahan split 3 persen, dan lapangan migas frontier onshore dapat tambahan split 4 persen. Tak hanya itu, blok migas nonkonvesional seperti CBM dan shale gas dapat tambahan split menjadi 16 persen..
“Sebelumnya investor tidak dapat itu, tapi kita akomodir masukan investor selama keuntungan negara jangka panjang tetap terjaga, dan investasi menjadi lebih bergairah,” kata dia.
Ketiga, Agung mengakui bonus tanda tangan dalam kontrak migas gross split lebih besar dibandingkan era kontrak bagi hasil dengan skema pengembalian biaya operasi (cost recovery), dan komitmen kerja pasti investasinya juga jauh lebih besar. Namun, hal itu bertujuan agar penerimaan negara lebih baik, dan jaminan investasi kontraktor agar pencarian cadangan dan produksi migas bisa lebih besar.
“Dari total 36 kontrak migas gross split, bonus tandatangan untuk Pemerintah sebesar Rp13,4 triliun. Sedangkan komitmen investasi kontraktor sebesar Rp31,5 triliun yang digunakan untuk pencarian cadangan migas baru dan peningkatna produksi,” ujarnya.
Keempat, survei Fraser 2018 dilakukan pada periode Mei hingga Agustus 2018, sehingga Agung menilai informasinya kemungkinan kurang maksimal. Terlepas dari itu, angka PPI Indonesia menanjak.
Terakhir, invetasi migas pada 2018 tercatat sebesar US$12,5 miliar atau menanjak dari tahun sebelumnya yang sebesarUS$ 11 miliar.
“Artinya secara kuantitatif dilihat dari berbagai aspek, iklim investasi migas lebih baik dan progresif,” tutup Agung. (sfr/agi)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post